Kuliah Daring dan Kisah Mahasiswa ”Fakir Kuota”
Perkuliahan yang sepenuhnya dilakukan secara daring selama pandemi Covid-19, membuat banyak mahasiswa jadi "fakir kuota" internet.
Selama pandemi Covid-19, semua perkuliahan digelar secara virtual. Artinya, untuk mengikuti kuliah, mahasiswa harus punya kuota internet. Nah, bagaimana dengan mahasiswa yang sedang "fakir kuota" atau tinggal di daerah yang susah sinyal? Yuk kita simak kisah mereka.
Rena Syahdisa Langguta, mahasiswi Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sejak akhir Maret 2020 memilih pulang ke kampungnya di Desa Toyade, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Dari kampungnya, ia mengikuti perkuliahan yang cukup menyedot kuota internetnya.
Biasanya cukup isi paket internet Rp 50.000 sebulan, sekarang tidak cukup. Minimal harus isi Rp 100.000
“Biasanya cukup isi paket internet Rp 50.000 sebulan, sekarang tidak cukup. Minimal harus isi Rp 100.000,” tutur Rena yang merupakan mahasiswa beasiswa bidikmisi.
Pada saat-saat tertentu, ia menjadi "fakir kuota" alias kehabisan pulsa. “Lagi enak-enak ikut kuliah, eh sinyal tiba-tiba hilang. Mau unduh materi kuliah gagal terus. Saya harus ke kota Poso kalau mau unduh materi dan mengirim tugas ke dosen. Masalahnya dalam pandemi begini saya takut ke kota karena harus naik angkot,” tambahnya.
Javas Alfreda Belva Yoga, mahasiswa Program Studi Matematika Fakultas MIPA Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta juga merasakan kuliah daring membuat pulsanya tekor. Untuk ikut kuliah dengan aplikasi Zoom atau Google Meet, per mata kuliah setidaknya ia perlu kuota 400 MB. Padahal dia harus mengikuti delapan mata kuliah.
Memang tidak setiap hari kuliah tetapi ia juga harus mengunduh materi, mencari bahan kuliah untuk membuat tugas dan keperluan lain berkait pembelajaran. “Paling tidak saya harus mengisi pulsa internet Rp 100.000 per bulan," ujar Javas yang kini tinggal di kampungnya di Desa Semanding, Kecamatan Gombong Kabupaten Gombong, Jawa Tengah.
Naik genting
Javas juga menghadapi persoalan lain selain tekor kuota. Rumahnya yang agak pelosok tidak bersahabat dengan sinyal internet. Saking seringnya susah sinyal, ia dan adik-adiknya yang mahasiswa dan pelajar harus naik ke atap rumah dan menaruh telepon selulernya di sana. Nah, ia berselancar di internet dengan laptop di bawah atap itu.
“Kalau enggak begitu mana bisa dapat sinyal," kata Javas saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (28/4/2020). Kadang ia harus keluar rumah dan berjalan hingga 50-an meter dari rumah untuk mendapat sinyal yang lebih baik.
Novi Berlianti, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, juga merasakan betapa kuliah virtual membuat kantongnya yang tipis jadi makin tipis. Ia mengaku dalam sehari bisa menghabiskan kuota internet 1-2 GB untuk mengikuti perkuliahan daring.
Ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 180.000 per bulan sejak Maret ketika kuliah digelar secara daring. Padahal, sebelumnya ia hanya mengeluarkan uang Rp 50.000/bulan untuk kuota internet karena ia bisa memanfaatkan wifi kampus. "Saya beli paket dari provider berbeda. Lagi cari paket yang tepat. Bulan lalu sampai beli tiga kali dengan harga Rp 60.000 bisa dapat 15 GB. Untuk April ini saya coba ganti provider, beli Rp 100.000 dapat 10 GB + unlimited," kata Novi di rumah orangtuanya di Klaten, Jawa Tengah.
"Saya beli paket dari provider berbeda. Lagi cari paket yang tepat. Bulan lalu sampai beli tiga kali dengan harga Rp 60.000 bisa dapat 15 GB. Untuk April ini saya coba ganti provider, beli Rp 100.000 dapat 10 GB + unlimited," katanya.
Apa yang dialami Novi, dialami pula oleh Halizha Alifa Irda Wahyudi, mahasiswi Jurusan Sosiologi UNY. Kantongnya nyaris jebol lantaran kebanyakan beli kuota internet. Halizha, yang biasa dipanggil Icha mengeluarkan uang Rp 240.000 per bulan untuk membeli paket internet. “Kadang-kadang aku harus mencari bahan dengan membuka YouTube, itu perlu berapa giga coba?" katanya.
Gregorius Marshall Dwidya Nanda (21), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, sejak kuliah dilakukan secara daring di kampusnya pada 17 Maret 2020, kebutuhan data paket internet selama kuliah daring melonjak. “Minggu-minggu pertama kuliah online itu langsung boros, aku harus lihat video dan download jurnal. Jadi, kemarin terakhir aku beli paket 16 GB dengan harga Rp 100.000 dan itu habis 14GB untuk kuliah dua minggu,” ujarnya.
Marshall pun meminta agar orangtuanya memasang fasilitas wifi Indihome di rumah setelah dua minggu kuliah daring. Beruntung, permintaannya terkabul dan keluarganya cukup membayar sekitar Rp 280.000 per bulan. Ia akhirnya bisa belajar dengan tenang hingga masa kuliah daring berakhir pada 1 Mei 2020.
Wanda Nur Hanifah (18), mahasiswa Akademi Keperawatan PELNI Jakarta, juga merasakan borosnya pengeluarkan untuk membeli paket kuota. Mahasiswa yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini biasanya menggunakan paket internet Indosat Unlimited 7GB seharga Rp 82.000. Namun, paket yang harusnya bertahan selama sebulan justru bisa hampir kurang dari dua minggu.
Semenjak kuliah online, paketnya nggak sampai sebulan. Pemakaian kuota jadi boros banget
“Semenjak kuliah online, paketnya nggak sampai sebulan. Pemakaian kuota jadi boros banget. Apalagi kalau lewat Zoom itu kuotanya banyak banget kesedot karena kuliah bisa satu setengah jam. Aku juga butuh untuk cari-cari bahan kuliah di internet,” ujarnya.
Mengingat Wanda tidak bisa mengakses fasilitas wifi kampus dan tidak memeroleh kabar lanjutan mengenai subsidi pulsa kampus, ia akhirnya meminta orangtua memasang wifi Indihome di rumah dengan biaya langganan sekitar Rp 350.000 per bulan. Wanda kini bisa berkuliah tanpa rasa khawatir setelah wifi terpasang pekan lalu. Kuliah daring di kampus itu akan berlangsung hingga 29 Mei 2020.
Subsidi kampus
Tidak semua mahasiswa yang "fakir kuota" bisa meminta orangtua masing-masing untuk memasang wifi di rumah. Itu artinya, mereka benar-benar terancam untuk tidak bisa ikut kuliah virtual. Survei Kemendikbud tentang pembelajaran dari rumah yang dijalani 237.193 mahasiswa menunjukkan, sekitar 32 persen mahasiswa mengeluhkan kuota mereka yang tidak cukup untuk mengikuti kuliah daring. Rata-rata uang yang mereka keluarkan untuk membeli paket internet pada bulan ini sekitar Rp 100.000.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam, mengatakan, berdasarkan Surat edaran Dirjen Dikti tanggal 31 Maret, Kemendikbud mendorong perguruan tinggi untuk membantu mahasiswa yang membutuhkan sesuai kemampuannya. Dikti juga meminta internet provider untuk membantu meringankan beban mahasiswa selama kuliah daring dengan memberikan paket yang harganya ramah di kantong mahasiswa.
Beberapa kampus sejauh ini telah memberikan subsidi paket pulsa kepada mahasiswa. Hal itu antara lain dilakukan UNY, UNS, Undip, dan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. UNY, misalnya, memberikan bantuan paket internet kepada 29.000 mahasiswanya dengan sebesar 20 GB.
Rektor UNY Sutrisna Wibawa menyatakan mahasiswa cukup mendaftarkan nomor telepon selelurnya link UNY. “Kami beri bantuan lewat semua provider dengan besaran sama, 20 GB. Biayanya memang besar tapi ya tak apa, demi bantu mahasiswa,” kata Sutrisna, Jumat (24/4) lalu. Ia meminta mahasiswa yang belum mendapat kiriman pulsa dari provider untuk melapor ke kampus lewat link UNY.
UNS memberikan bantuan uang pulsa Rp 50.000 per bulan kepada masing-masing. Syaratnya mahasiswa mendaftar terlebih dahulu. Bantuan serupa dengan nilai yang sama diberikan oleh Undip kepada mahasiswa penerima beasiswa bidik misi dan mahasiswa yang membayar dengan pola uang kuliah tunggal golongan 1 dan 2 (membayar uang kuliah lebih rendah).
Pimpinan kampus Undip kemudian menambah subsidi kuota internet sebesar 10 GB untuk mahasiswa bidikmisi bagi mahasiswa golongan 1, 2, dan 3 yang belum mendapat subsidi sebelumnya.
Unpad sejak akhir Maret lalu hingga tiga bulan ke depan juga membagikan uang subsidi paket internet sebesar Rp 100.000 per bulan bagi mahasiswa kurang mampu.
Para mahasiswa "fakir kuota" bersyukur dengan bantuan paket internet dari kampus. Ini seperti doa yang terkabul. "Alhamdulilah,” ujar Javas yang mendapat subisidi paket internet 10 GB.
Icha juga bersyukur ia kahirnya mendapat subsidi paket kuota internet dari kampus. Buat dia, mengeluarkan uang pribadi di atas Rp 200.000 per bulan untuk beli paket internet, sangat memberatkan.
Rena yang mengetahui kampusnya memberikan subsidi paket internet, segera mendaftarkan diri. Semula ia mengira berita tentang subsidi paket internet dari kampus sebagai berita hoaks.
"Ternyata kabar itu benar. Bersyukur sekali dapat tambahan pulsa," katanya riang. Ketika bercerita, ia sedang menunggu pengisian pulsa dari kampusnya, UNY.
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan subsidi paket internet diberikan dan sampai kapan perkuliahan virtual akan dilakukan? Jawabannya belum ada yang pasti, karena pandeminya sendiri belum berakhir.