Sejumlah anak muda memilih menjadi wirausaha sosial untuk membantu masyarakat di sekitarnya.
Oleh
Soelastri Soekirno/ Elsa Emiria Leba
·6 menit baca
Membuat usaha tak melulu untuk mencari keuntungan. Bisa mengubah keadaan bumi dan manusia menjadi lebih baik dan nyaman menjadi tujuan lebih penting bagi anak-anak muda yang memilih berwirausaha sosial. Inilah antara lain mereka. Kharolin Hilda Amazona (26) membantu perekonomian warga lewat menganyam. Rafa Jafar (17) membuat drop box sampah elektronik seperti telepon seluler atau baterai untuk meminimalkan efek limbah beracun. Sementara Audrey Maximillian (27) dan Audy Christopher Herli (28) membuat Riliv, aplikasi layanan psikologi. Abang-adik itu akhir Maret 2020 lalu masuk Forbes Asia 30 Under 30 bidang Healthcare and Science.
Kharolin mendirikan Menganyam Pesisir di Yogyakarta tahun 2018 guna membantu perekonomian warga dengan memanfaatkan kearifan lokal, menganyam pandan laut yang banyak terdapat di Dusun Kanigoro, Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Ia mengajari para ibu di sana untuk menganyam, lalu membeli hasil anyaman peserta pelatihan. Menganyam Pesisir kemudian mengolahnya menjadi tas, anting, dan jepit rambut. Produk tersebut dijual melalui Instagram.
Menurut Kharolin, niat awal mendirikan Menganyam Pesisir muncul ketika dia melihat langsung masalah kemiskinan, pendidikan rendah, hingga ketidaksetaraan jender bagi perempuan di Kanigoro. Kondisi itu diperparah oleh masalah kekeringan dan pantai berkarang sehingga warga sulit melaut.
”Saya riset pada Maret 2017. Mayoritas warga desa lulusan SD yang bekerja sebagai petani singkong atau jagung. Banyak pemuda keluar desa untuk mencari kerja, sedangkan perempuan yang tak menikah muda dianggap beban. Namun, di wilayah sekitar dusun itu ada banyak tanaman pandan laut,” ujar Kharolin ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (4/4/2020).
Melalui Menganyam Pesisir, Kharolin bersama teman-temannya melatih ibu-ibu setempat mebuat slongsong atau lembaran anyaman daun pandan laut. Akan tetapi, mereka menghadapi tantangan pendanaan sehingga harus memutar otak. ”Awalnya aku mau mengundang penganyam mengajar ke dusun, tetapi biayanya Rp 14 juta. Aku masih minus Rp 4 juta. Akhirnya aku mengambil les menganyam untuk mengajari ibu-ibu. Aku bisa hemat, cukup keluar uang les Rp 1,4 juta,” katanya.
Ibu-ibu di Dusun Kanigoro berlatih membuat slongsong serta membuat hiasan berupa rumbai dan pom-pom selama enam bulan pertama sejak Agustus 2018. Mereka juga belajar cara promosi produk dan membuat laporan keuangan. Saat ini ada sekitar 10 ibu berada di bawah asuhan Menganyam Pesisir.
Satu orang baru bisa menghasilkan 4-6 lembar dalam sebulan. Menganyam Pesisir akan membelinya seharga Rp 30.000-Rp 50.000 per lembar, lebih mahal tiga kali lipat dari harga normal sehingga mereka mendapat penghasilan bersih Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan per orang. ”Uang itu untuk kebutuhan rumah tangga atau jajan anak. Masih sebatas itu,” ujar Kharolin.
Menganyam Pesisir juga membantu memberdayakan ibu perajin slongsong daun pandan laut di Dusun Gumulan, Bantul. Meskipun sedikit, mereka membeli slongsong dengan harga di atas harga pasar, yaitu Rp 16.000-Rp 20.000 per lembar. Ia mengakui, ekspansi usaha masih terbatas karena kapasitas ibu-ibu terbatas, kualitas produksi belum memadai, dan biaya produksi tinggi. Mereka butuh bantuan insentif permodalan agar kewirausahaan sosial ini berjalan.
Limbah beracun
Prihatin melihat banyaknya limbah berbahaya di rumah warga membuat Rafa Jafar menulis buku E-Waste: Sampah Elektronik pada tahun 2015. Waktu itu, ia berusia 12 tahun. Tak cukup hanya menulis buku, Rafa yang dibantu ibundanya, Farahdibha Tenrilemba, juga sering mengampanyekan bahaya limbah beracun dari barang elektronik yang biasa dipakai masyarakat.
”Orang sering ganti telepon seluler. Lalu telepon yang tak dipakai lagi itu tetap tersimpan di rumah karena enggak tahu mau diapain. Padahal, itu limbah yang sebenarnya beracun,” kata Rafa pada Senin (6/4/2020) di Jakarta. Sementara banyak orang belum menyadari bahaya seperti timbal yang ada dalam peralatan elektronik bekas.
Tak mudah mengedukasi orang. Dalam enam tahun, saya mengumpulkan 2 ton limbah elektronik.
Selain terus mengedukasi masyarakat baik sendirian maupun bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Rafa juga membuat kotak penampung (drop box) limbah elektronik di banyak tempat di Jakarta, Denpasar, Palembang, Bogor, Bandung, dan kota lain. Selama enam tahun memasang drop box, warga yang membuang sampah elektronik terus naik.
”Tak mudah mengedukasi orang. Dalam enam tahun, saya mengumpulkan 2 ton limbah elektronik,” kata siswa kelas XI SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, itu.
Limbah itu ia bawa ke perusahaan pengolah limbah elektronik yang sudah bersertifikat. Ia berharap kelak perusahaan elektronik mau kembali menampung limbah dagangannya, seperti yang terjadi di Jepang dan Amerika Serikat. ”Perlu perjuangan panjang, tetapi, ya, harus dilakukan,” kata Rafa.
Mengubah stigma
Berawal dari gencarnya stigma bahwa mereka yang berkonsultasi kepada psikolog itu sakit jiwa, Audrey Maximillian Herli dan Audy Christopher Herli membuat aplikasi layanan konsultasi psikologi secara daring bernama Riliv pada 2015. Audrey, CEO Riliv yang alumnus Jurusan Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya, melihat tingginya kebutuhan orang untuk curhat karena stres dan bingung.
”Saya sering lihat banyak orang curhat di media sosial, tetapi mengalami perundungan (di-bully), tetapi kalau konsultasi ke psikolog dibilang sakit jiwa. Padahal, makin banyak orang punya masalah kesehatan jiwa akibat tekanan hidup dan lainnya. Saya pikir perlu ada aplikasi untuk konsultasi psikologi,” ujar Audrey, atau yang biasa dipanggil Maxi itu.
Ia dan Audy yang lulusan Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya, Malang, waktu itu bersama Fachrian Anugerah, alumnus Jurusan Sistem Informasi Universitas Airlangga, merumuskan aplikasi daring. Fachrian sekarang sudah mundur dari Riliv.
Keberadaan aplikasi daring itu, selain mudah dan murah, karena bisa diakses dari telepon seluler, juga bersifat personal sehingga menghindarkan pemakainya terkena stigma sedang sakit jiwa. Pada awal pendirian, layanan konsultasi yang diasuh mahasiswa Psikologi Unair itu belum banyak diketahui orang. Maklum. hal baru. Akan tetapi, berkat pemberitaan media massa dan sering hadir di banyak kesempatan, Riliv mulai dikenal. ”Awalnya kami baru menjadi pendengar curhat dulu, tetapi kemudian mengajak psikolog untuk bergabung,” ujar Maxi.
Dalam perjalanan, Riliv bekerja sama dengan psikolog senior di Himpunan Psikolog Indonesia Cabang Surabaya. Kini, bahkan psikolog dari Kalimantan dan Jakarta ikut melayani konsultasi bersama usah rintisan (start up) tersebut. Saat ini, Riliv sudah memiliki 200.000 pelanggan dari sejumlah kota di Indonesia. Maxi dan 10 anggota timnya mulai membuat fitur baru berupa meditasi dan lagu untuk relaksasi.
”Di tengah wabah korona, banyak orang stres karena harus terus berada di rumah. Nah, layanan itu banyak diakses. Tampaknya membantu warga yang harus bekerja dari rumah,” tutur Maxi. Pihaknya juga memberikan akses gratis bagi tenaga kesehatan, dokter, dan perawat agar mereka bisa melepas stres dengan bermeditasi dari layanan itu.
Usaha Riliv untuk ikut membuat kehidupan warga menjadi nyaman terus berlanjut dengan adanya fitur musik penyemangat untuk memulai hari, misalnya. Maxi dan Audy bersama tim yang sebagian besar lulusan Fakultas Psikologi Unair terus mengembangkan layanan baru untuk mencegah munculnya gangguan kejiwaan pada warga. Bagaimanapun, lebih baik mencegah daripada mengobati.