Ketua BPI: Akibat Covid-19, Industri Film Mesti Siap Memasuki Paceklik
Ketua Badan Perfilaman Indonesia Chand Parwez memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun akibat wabah Covid-19. Para insan film berusaha saling menyemangati pada masa-masa sulit seperti ini.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·5 menit baca
KOMPAS/Dokumentasi Starvision Plus
Ketua BPI Chand Parwez Servia.
Pertumbuhan film Indonesia yang berkembang pesat pda awal tahun ini harus terganggu karena wabah Covid-19. Sejumlah produksi film dihentikan demi mengikuti anjuran dari pemerintah untuk menjaga jarak sosial. Jadwal shooting dan pemutaran film harus diatur ulang. Gedung-gedung bioskop, seperti Cinema XXI dan CGV, terpaksa menghentikan kegiatan mereka sementara di DKI Jakarta demi mengurangi penyebaran virus. Sutradara, produser, rumah produksi, dan jaringan bioskop harus putar otak agar tidak rugi.
Awalnya diprediksi, sepanjang 2020 sebanyak 60 juta orang akan menyaksikan film Indonesia. Geliat perfilman Indonesia sudah terasa sejak awal tahun. Berdasarkan data per tanggal 20 Maret 2020 yang diambil dari filmindonesia.or.id, film nasional telah ditonton oleh lebih dari 12 juta orang. Milea: Suara dari Dilan menjadi film dengan peringkat teratas dengan jumlah 3.122.263 penonton. Selajutnya, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini, dengan jumlah penonton 2.256.908 dan Akhir Kisah Cinta Si Doel dengan jumlah penonton 1.155.859.
Kompas, Jumat (27/3/2020), mewawancarai Ketua Badan Perfilman (BPI) Indonesia yang juga pengusaha, produser film, dan pemilik rumah produksi PT Kharisma Starvision Plus, Chand Parwez Servia. Ia menegaskan bahwa wabah Covid-19 membuat industri film Indonesia yang sedang tumbuh terganggu. Namun, semua pihak perlu mengambil hikmah dari wabah ini.
Selagi produksi industri film berhenti sementara akibat Covid-19, pelaku industri film Indonesia bisa memanfaatkan waktu untuk merumuskan kembali sistem film nasional dan memikirkan bagaimana memberantas pembajakan film yang massif. Harapannya, begitu wabah Covid-19 berlalu, industri film nasional bisa kembali tumbuh dengan arah yang jelas dan dapat memberi keuntungan untuk semua pelaku dalam industri ini. Berikut penuturan Chand Parwez:
Sejauh mana pukulan wabah Covid-19 terhadap industri film Indonesia?
Film memang bukan kebutuhan primer. Bisa dikatakan, ini merupakan kebutuhan sekunder, atau bahkan tersier. Begitu ada wabah Covid-19, mulanya kami menanggapi dengan sikap optimistis bahwa ini akan berlalu. Kami juga tetap waspada dengan menerapkan prosedur standar operasi di kantor, di tempat shooting, hingga saat pemutaran film di bioskop. Seiring berjalannya waktu, muncul imbauan dari pemerintah yang sporadis dan cenderung ambigu. Contohnya saja kebijakan (apakah akan) lockdown (atau tidak), teapi ada sejumlah daerah yang menerapkan lockdown. Ini tentu saja menciptakan paranoid dan kepanikan di tengah masyarakat.
SCREEN CAPTURE YOUTUBE/OFFICIAL TRAILER: MAX PICTURES
Salah satu adegan film Milea: Suara dari Dilan. Film yang diputar pada Februari 2020 ini mencetak kesuksesan di pasar dengan meraup lebih dari 3 juta penonton.
Dampaknya terhadap industri film nyata. Produksi yang sudah berjalan kemudian harus dihentikan. Kru film yang sudah keluar kota harus ditarik kembali untuk mengurangi risiko (terpapar/memapar virus korona baru). Film-film yang sudah beredar kemudian dihentikan. Akhirnya, di tengah ketidakpastian ini, kami mengambil sikap untuk mementingkan keselamatan daripada ekonomi.
Dampak atau akibat yang ditimbulkan akan seburuk apa? Berapa potensi kerugian akibat Covid-19?
Tahun ini film sedang tumbuh sehat. Kami memperkirakan penonton film Indonesia pada 2020 sampai 60 juta. Pada Januari dan Februari saja pertumbuhan film sangat bagus. Banyak film-film yang berhasil di tengah berbagai persoalan, seperti banjir awal tahun.
Dengan munculnya Covid-19, persiapan produksi, produksi, dan pemutaran film otomatis terganggu. Film Yowis Ben3 yang seharusnya diproduksi di Malang, Jawa Timur, misalnya, harus dihentikan. Kru film harus dikembalikan ke Jakarta dengan naik pesawat untuk mengurangi risiko keselamatan. Tentu saja ini menambah biaya produksi. Kalau dulu kita bisa memproduksi film murah dengan biaya sekitar Rp 1 miliar, sekarang biaya produksi film Rp 5 miliar-Rp 40 miliar per judul film. Dalam setahun ada produksi 125-130 judul film.
Saya memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun dan tidak akan cepat pulih.
Di PT Kharisma Starvision Plus saja, kami menyiapkan 8-9 judul film tahun ini. Beberapa sedang persiapan produksi, beberapa sedang produksi, ada yang masuk proses editing, ada yang siap dipasarkan juga. Tetapi, dengan wabah ini, belum ada satu judul pun yang keluar. Menjelang Lebaran yang kami perkirakan akan mendatangkan banyak penonton juga kemungkinan minat tidak terlalu tinggi. Saya memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun, dan tidak akan cepat pulih. Kemungkinan, kita hanya bisa menyelamatkan maksimal 25 persen dari keseluruhan produksi film nasional.
Dibandingkan dengan situasi sulit sebelumnya, seperti pada 1998, bagaimana kondisi film nasional saat ini? Strategi jangka pendek dan menengah yang disiapkan untuk mengatasi situasi?
Situasi 1998 tidak ada apa-apanya dengan situasi sekarang. Pada 1998, film Indonesia sedang runtuh karena tidak bisa bersaing dengan film-film asing. Dulu kita takut untuk bersanding dengan film Hollywood. Kalau sekarang justru kita sudah punya pasar yang menjanjikan. Kita punya keberanian untuk memainkan film Indonesia berbarengan dengan film-film Hollywood. Selain itu, zaman dulu bioskop tidak banyak. Sekarang bisokop di mana-mana. Dengan kondisi film yang sedang naik ini, kita sebenarnya sedang semangat untuk memproduksi dan memasarkan film.
Tetapi, situasi itu harus berubah karena Covid-19. Dengan kondisi ini, di mana tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan, seharusnya ini dijadikan momentum untuk berbenah dan memikirkan ulang bagaimana pembajakan film bisa dihentikan agar bisnis film digital yang sekarang sedang berkembang bisa berjalan dengan sehat dan memberi keuntungan kepada pihak-pihak yang terlibat.
Beberapa waktu lalu, pemerintah menutup website streaming film illegal. Tetapi, ditutup satu muncul lagi di website lainnya. Kita harus memikirkan ulang bagaimana akses terhadap pembacakan itu bisa dihentikan. Dengan situasi sekarang ini, kita punya banyak waktu untuk membereskan semua masalah yang ada agar nanti begitu wabah berlalu, kita bisa segera bangkit.
Apa modal (termasuk modal sosial) yang dimiliki industri ini untuk bertahan?
Modalnya hanya semangat saja. Saat ini kami hanya bisa saling menyemangati. Kami siap untuk ikat pinggang untuk mengurangi biaya produksi dan berpikir kreatif agar begitu situasi membaik, kami bisa sergera pulih lagi. Kami sudah siap apabila harus menghadapi paceklik panjang karena kami percaya setelah paceklik akan ada musim panen. Kita harus menganggap situasi yang ada sekarang ini untuk evaluasi dan intropeksi diri. Kita harus menyiapkan yang lebih baik agar nantinya begitu situasi sulit teratasi, kita punya pikiran bernas untuk membangun perfilman nasional.