Hingga kini, representasi perempuan dengan jabatan tinggi di dunia kerja masih minim. Para perempuan diharapkan menghadapi berbagai tantangan untuk maju di dunia kerja.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Sudah menjadi cerita lama bahwa representasi perempuan dengan jabatan tinggi di dunia kerja masih minim. Jabatan tinggi di dunia masih didominasi laki-laki meskipun perempuan memiliki kemampuan yang setara.
Studi mengenai perempuan di tempat kerja oleh McKinsey & Company dan Lean In pada 2019 menyebutkan jumlah perempuan dalam pucuk kepemimpinan senior tumbuh selama lima tahun terakhir. Namun, jumlah mereka tetap minim di semua level. Di level manajer, misalnya, cakupan perempuan mencapai 38 persen dan laki-laki sebesar 62 persen.
Namun, ketika beberapa perempuan berhasil menduduki posisi penting, itu belum berarti tantangan mereka sudah selesai. Rupanya, perempuan tetap diperlakukan sebagai makhluk yang lebih inferior.
President ASEAN International Advocacy and Consultancy Shaanti Shamdasani menceritakan, sebagai konsultan perdagangan internasional, dirinya memiliki pengalaman menarik ketika menjadi pemimpin negosiasi dari ASEAN dalam sebuah rapat di Bengaluru, India. Budaya setempat adalah memberikan kalung bunga kepada orang dengan kedudukan paling tinggi.
”Rapat pada waktu itu diikuti oleh pejabat level SOM (setara direktur jenderal) dari tujuh negara. Saya satu-satunya perempuan dengan tubuh pendek dan kecil. Ketika turun dari bus, mereka memberikan bunga kepada laki-laki yang berbaju paling bagus,” kata Shaanti dalam diskusi bertajuk ”Lead-her-Ship: Breaking Stigma and Thriving for Success” di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Shaanti melanjutkan, insiden tersebut membuat panik pejabat yang menerima bunga itu. Mereka akhirnya mengalungkan bunga itu kepadanya. Shaanti, yang juga berasal dari India, menyapa mereka dengan bahasa India sehingga membuat para penyambut tamu lebih kaget.
Cerita miris serupa pernah dialami Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim. Silvia baru menyadari dan merasakan langsung perbedaan menjadi perempuan di dunia kerja yang didominasi laki-laki ketika bekerja di Jakarta.
”Saya ingat, dulu awal kalau rapat ke instansi-instansi bersama tim, yang disalami terlebih dulu adalah anggota tim saya. Kemudian mereka baru menunjuk ke arah saya sebagai direktur,” tutur Silvia.
Shaanti dan Silvia adalah contoh perempuan yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam bidang tertentu yang kerap didominasi laki-laki, seperti diplomasi dan konstruksi. Representasi perempuan yang masih sedikit dalam bidang-bidang itu membuat diskriminasi tanpa sadar terus terjadi.
Kendala perempuan
Perempuan mengalami berbagai tantangan untuk maju di dunia kerja. McKinsey & Company dan Lean In pada 2019 mencatat, untuk setiap 100 laki-laki, sebanyak 72 perempuan yang dipromosikan atau dipekerjakan sebagai manajer. Perempuan ”tersangkut” pada entry level.
Menurut Shaanti, tantangan utama perempuan, terutama perempuan Indonesia, untuk maju dalam karier adalah kurangnya rasa percaya diri. Padahal, perempuan memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan laki-laki.
”Sering kali rapat di tingkat internasional ada celah untuk orang Indonesia masuk. Tetapi, ibarat bola sudah di depan, tetapi tidak ditendang. Rasa kepercayaan diri ini yang harus dibantu,” tuturnya.
Shaanti melanjutkan, kurangnya rasa percaya diri membuat perempuan tidak berani mengambil risiko. Ditambah lagi, perempuan kerap menggunakan banyak pertimbangan ketika berpikir sehingga membatasi pengambilan keputusan.
Dalam buku Lean In: Women, Work, and the Will to Lead oleh Sheryl Sandberg, terdapat sejumlah tantangan internal yang membatasi perempuan. Perempuan kurang berambisi, enggan berbicara, dan merasa khawatir untuk sukses akibat tekanan sistem sosial.
Lebih berani
Menurut Shaanti, perempuan harus berani untuk bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Perempuan yang pandai berbahasa Indonesia ini lahir dari keluarga berada, tetapi mulai merasa risi dengan kenyamanan yang ada setelah bekerja.
”India adalah sebuah negara dengan budaya yang konservatif. Lulus SMA, perempuan harus mencari jodoh. Saya mulai berpikir, bagaimana kalau saya mendapatkan suami yang ndablek. Akhirnya saya memutuskan ’kabur’ dari rumah dengan menyewa apartemen untuk bisa mandiri,” ujarnya.
Shaanti justru merasa bahagia dengan pilihan itu karena berhasil hidup sendiri. Alih-alih marah, orangtuanya justru mendukung keputusan itu. Shaanti pun berhasil dalam kariernya.
Senior Vice President of Operations and Product Management Blibli.com Lisa Widodo menambahkan, sebagai seorang perempuan di industri digital, dirinya berusaha tetap fokus ketika bekerja. ”Yang saya pelajari adalah tetap fokus pada apa yang ingin dicapai, tidak usah didramakan,” ujarnya.
Lisa menjelaskan, perempuan memiliki lebih banyak kompetensi kepemimpinan yang bersifat lebih feminin di dunia kerja, seperti kesetiaan, fleksibel, sabar, dan intuitif. Namun, sikap itu semestinya tidak menjadi halangan. Untuk itu, perempuan harus pintar-pintar mengontrol dan menggunakan kemampuan itu ketika bekerja.
Silvi menuturkan, perempuan perlu pandai melihat kesempatan yang terbuka di dunia kerja. Perempuan juga perlu menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara terbuka agar atasan mengetahui hal tersebut.
”Kita harus tahu apa yang ingin kita kejar, dan itu hal yang baik. Saya pernah ditawari mantan atasan di Singapura untuk menjadi ketua panitia dalam sebuah kegiatan. Saya sukses melakukannya dan keberhasilan itu menjadi bagian dalam membangun karier,” ujarnya.
Lembaga konsultan Korn Ferry pada 2016 menyebutkan, keberadaan perempuan sebenarnya berdampak positif terhadap perusahaan. Perempuan mencatat skor lebih tinggi di hampir semua kompetensi kecerdasan emosional ketimbang laki-laki. Selain itu, perempuan mengungguli laki-laki dalam mengelola orang, seperti dalam pelatihan, pemberian nasihat, dan pengelolaan konflik.