"City Pop" di Belantara Jazz
Perhelatan Jakarta International Java Jazz Festival 2020 berhasil memanjakan pengunjung setianya, sekaligus meraup penonton baru. Deretan penampil yang mengikuti zaman adalah faktor penting.
Bila mengibaratkan jazz sebagai induk, genre ini sudah punya banyak keturunan. Salah satu di antaranya adalah city pop, atau sering juga disebut sebagai urban pop. Perhelatan Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 memberi banyak ruang bagi “cucu jazz” ini.
Kerumunan terlihat di MLD Spot Hall—satu dari 11 panggung di festival—pada Sabtu (29/2/2020) hampir tengah malam. Penampilnya saat itu adalah grup beranggota empat pria yang menamakan dirinya Prep. Tom Havelock, vokalisnya, tampil kasual dengan kemeja longgar warna pastel berdasar rata. Pantalonnya pun longgar berwarna terakota.
Gaya berpakaian sedemikian sepertinya sedang menggejala. Banyak penonton di arena JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, tempat festival tahunan itu berlangsung, berdandan serupa. Gaya berdandan santai itu pas saja dengan nuansa ringan nan ngepop dari musik yang dimainkan Prep.
Musik racikan Prep adalah perpaduan antara corak R & B, funk, soul, dan sejumput jazz. Corak vokal Tom yang tipis dan minim cengkok berjalin manis dengan kocokan gitar yang berkarakter clean. Irama dari pola drum dan betotan bas yang dalam memberikan groove yang nikmat untuk sekadar menganggukkan kepala, atau sedikit memantulkan badan.
Dalam sebuah wawancara dengan media Asialive365.com pada 2018 silam, Tom terang-terangan menyebut gaya bermusik mereka adalah city pop. Pada tahun itu, band asal London, Inggris ini sedang tur di beberapa negara Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Indonesia.
Menurutku, saat ini adalah momen bagi city pop. Tren ini terjadi di beberapa tempat berbeda sekaligus. Musik kami seperti tersambung dengan orang-orang di Asia
“Menurutku, saat ini adalah momen bagi city pop. Tren ini terjadi di beberapa tempat berbeda sekaligus. Musik kami seperti tersambung dengan orang-orang di Asia. Mungkin bunyi yang lembut dan menenangkan ini sesuai dengan cuacanya,” kata Tom, yang membentuk band ini bareng Lylwelyn ap Myrddin (keyboard), Dan Radclyffe (gitar), dan Guillaume Jambel (drum) pada 2015.
Penampilan di Java Jazz Festival (JJF) 2020 ini menjadi yang ketiga kali bagi mereka di Indonesia. Sebelumnya, mereka pernah manggung di ajang Kampoeng Jazz di Bandung pada April 2017, dan di Hard Rock Café, Jakarta, November 2018. Jadi, tak terlalu mengherankan kalau pengunjung JJF malam itu sudah akrab dengan tembang macam “Cheapest Flight”, “Line by Line”, “Rachel”, dan “Cold Fire”.
Penonton banyak yang nyanyi bareng. Mereka bahkan meminta tambah ketika band ini telah memungkasi daftar lagunya—sesuatu yang jarang terjadi di JJF. Karena menjadi penampil terakhir di Sabtu malam itu, Prep boleh memberi encore. Mereka memainkan lagu “Who’s Got You Singing Again”, yang dirilis 2016.
Irama latin
Warna musik serupa juga disuguhkan penyanyi Omar Apollo pada Minggu (1/3/2020). Penampilan penyanyi kelahiran 20 Mei 1997 di Indiana, AS ini dilabeli promotor festival, Java Festival Production sebagai special show. Artinya, penonton harus membeli tiket lagi seharga Rp 250.000 per orang untuk menonton aksi Omar.
Meski harus merogoh kocek lebih dalam, penonton Omar Apollo terbilang banyak. Kursi di aula BNI Hall, salah satu yang terbesar di arena festival itu, hampir seluruhnya terisi. Penonton jejeritan histeris begitu Omar meluncur dari sisi kanan panggung dengan jas berlumur warna perak berkilauan, dan sepatu bot sewarna.
Lagu pertamanya, “Ashamed” sangat kental bergaya funk. Sontak, aroma disko menguar di dalam ruang, ketika hujan sangat deras menderu di luar. Nada bas yang lebih catchy muncul di lagu kedua, “Kickback”.
Dua lagu yang seolah mengundang pendengar bergoyang itu tak membuat penonton merapat berdiri ke depan barikade panggung. Mereka menikmati 14 lagu dari kursi masing-masing. Ada yang menggoyangkan badan, ada yang tetap asyik berangkulan. Bebas saja.
Terlahir dari pasangan imigran asal Guadalajara, Meksiko, Omar menyisipkan nuansa musik latin, pada beberapa lagunya. Sehingga, rasa city pop besutan dia, sedikit berbeda dengan racikan Prep. Pilihan nada instrumen bas dan pukulan drum pada lagu “Frio”, misalnya, menyiratkan irama latin yang umumnya ritmis itu.
Entah apakah musikku nyambung dengan atmosfer festival jazz di sini. Tapi, aku cukup akrab dengan jazz
Pada lagu kondang “So Good” yang dimainkan menjelang akhir setnya, warna klasik disko mendominasi. Omar mengaku banyak mendengar lagu-lagu dari The Bee Gees dan Michael Jackson ketika menulis lagu yang ia keluarkan pada 2019 itu. Prince juga jadi salah satu rujukannya.
“Entah apakah musikku nyambung dengan atmosfer festival jazz di sini. Tapi, aku cukup akrab dengan jazz. Ada beberapa akor jazz yang aku pakai di laguku,” kata Omar tiga jam sebelum pentas. Penonton sepertinya suka; tak jadi soal apakah suka musiknya, atau sekaligus mengagumi personanya yang rupawan, semampai, dan jago dansa itu.
Muncul lagi
City pop sebenarnya bukan barang baru. Banyak kalangan yang mempercayai gaya ini dipopulerkan oleh musisi Jepang Tatsuro Yamashita dan Haruomi Hosono pada awal dekade 1980-an. Musik besutan mereka terdiri atas unsur R&B, soul, soft rock, funk, boogie, dengan jazz bernuansa tropis—ringan dan santai.
Istilah city pop merujuk pada musik modern di era itu yang banyak didengarkan kaum muda perkotaan. Pada 1980-an, kaum muda Jepang sedang menikmati kebangkitan ekonomi. Pembangunan kota besar membuat banyak anak muda bermigrasi ke kota. Mereka butuh musik enak untuk dinikmati.
Indonesia tak asing bagi genre ini. Pemusik pada dekade itu, banyak yang memainkannya. Fariz RM, misalnya, pernah memimpin band bernama Transs, yang album satu-satunya, Hotel San Vincente, berkiblat pada city pop. Candra Darusman bersama bandnya Chasiero juga segendang sepenabuhan. Gaya ini dilanjutkan oleh band Maliq & D’Essentials sejak 2010 hingga hari ini.
Corak ini “tiba-tiba” tenar lagi sejak sekitar tiga tahun terakhir, seiring dengan kebangkitan tren budaya pop dari dekade 1980-an. Album piringan hitam Tatsuro Yamashita mendadak jadi buruan. Sejumlah label rekaman merilis kembali piringan hitam Fariz RM, Candra Darusman, dan Transs. Disc jockey dan pemandu lagu banyak memutarkan tembang pop 80-an di lantai dansa dan ruang karaoke. Penikmatnya tak cuma om dan tante, tapi justru kaum muda masa kini.
Histeria itu ditangkap penyelenggara JJF. Hasilnya, penyelenggara bisa meraup penonton baru, sekaligus merawat pengunjung setianya. Penonton baru berbondong-bondong menyimak penampil seperti Prep, Omar Apollo, Bruno Major, Free Nationals, dan Jay Som. Dari dalam negeri ada Rizky Febian, Ardhito Pramono, Isyana Sarasvati, maupun Marion Jola.
Seorang penonton bernama Acun, misalnya, datang untuk menonton Free Nationals, Bruno Major, dan Isyana. Ini adalah JJF kedua bagi mahasiswa Politenik Negeri Malang ini. Musim hujan tak menyurutkan hasratnya. “Nggak apa hujan, aku bawa jas hujan. Deretan artis tahun ini sepertinya lebih seru dibandingkan sebelumnya,” ujar dia.
Sementara Raihan, mahasiswa Universitas Bina Nusantara, Jakarta, tetap datang ke JJF meski mengaku nggak terlalu suka jazz. Dia mau menonton Bruno Major, dan beberapa musisi baru lainnya. “Jarang banget, kan, menonton mereka di Indonesia,” ujarnya. (*)