Kemenangan "Parasite" dan Desakan “Hallyu” ke Hollywood
Kemenangan Parasite di ajang Oscar tampaknya menegaskan bahwa gelombang Korea atau hallyu belum reda. Bahkan, mungkin ini babak baru hallyu. Jika dulu K-pop, hallyu baru mungkin sedang dipicu K-movie.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Perhelatan Academy Awards ke-92 dipuncaki dengan drama menohok; seperti halnya cerita di film Parasite, yang justru terpilih sebagai kampiun. Segerombolan orang Korea Selatan, dipimpin pria berambut acak-acakan dalam setelan serba hitam, menggondol empat piala emas dari “rumah” industri perfilman Hollywood yang mapan itu.
Parasite adalah film drama—sebagian menganggapnya komedi satir—yang menggambarkan konfrontasi antarkelas sosial di Korea Selatan. Dalam film berdurasi 132 menit itu, ada adegan keluarga yang rumahnya sering kebanjiran menginvasi rumah orang kaya, dengan muslihat tertentu. Si Keluarga Miskin itu “mencuri” makanan dan minuman terbaik yang dimiliki Si Keluarga Mapan.
Kisah yang ditulis sutradara Bong Joon-ho (50), yang rambutnya acak-acakan itu, seolah mewujud di panggung megah Dolby Theatre, Los Angeles, AS, tempat perhelatan Academy Awards ke-92, pada Minggu (9/2/2020) malam atau Senin pagi waktu Indonesia. Bedanya dengan film, yang “dicuri” bukan makanan, melainkan Piala Oscar. Para hadirin, kaum mapan di industri perfilman Hollywood, berdiri dan bertepuk tangan riuh.
Pada kategori puncak Film Terbaik atau The Best Picture, Parasite bersaing dengan delapan nomine lain; The Irishman, 1917, Little Women, Ford v Ferrari, Jojo Rabbit, Once Upon a Time in Hollywood, Joker, dan Marriage Story. Kedelapan film itu berbahasa Inggris. Pemenangnya justru yang berbahasa Korea.
Parasite juga memenangi kategori film internasional terbaik (laga film berbahasa non-Inggris), skenario orisinal terbaik, dan penyutradaraan terbaik bagi Bong Joon-ho. Dia canggung mengungguli sutradara kawakan Martin Scorsese (The Irishman), yang film-filmnya dia pelajari di bangku kuliah. Secara keseluruhan, film ini telah menyabet 198 penghargaan dari berbagai festival.
“Kami tak membuat film untuk mewakili negara. Namun ini adalah Piala Oscar pertama bagi Korea Selatan,” kata Bong dalam sambutannya setelah menerima piala kategori skenario orisinal terbaik. “Jika Amerika Serikat punya Hollywood, Korea punya Chungmuro. Piala ini kupersembahkan bagi sineas di Chungmuro,” lanjut Bong.
Chungmuro adalah nama jalan sepanjang hampir dua kilometer di Seoul. Seperti dilansir di situs koran The Korean Times, banyak perusahaan film beralamat di jalan itu. Film Chun-hyang Story dan Madame Freedom dari dekade 1950-an disebut-sebut membangkitkan demam sinema Korea, atau lebih dikenal dengan Era Chungmuro.
Era itu merebak setelah perang di semenanjung Korea bubar (1953). “(Setelah perang), warga Korea Selatan memang masih miskin, tetapi ada ledakan energi besar yang menyelimuti seluruh bangsa, seiring bertumbuhnya modernisasi dan amerikanisasi,” tulis Lee Hyo-won, aktris Korea di The Korean Times.
Sokongan bagi sineas
Era Chungmuro berlangsung selama sekitar dua dekade. Industri sinema sempat menyurut lantaran bersaing dengan drama televisi. Kebangkitan sinema Korea muncul lagi di dekade 1980-an. Arsip siaran pers dari Kedutaan Besar Republik Korea Selatan untuk Indonesia tentang gelombang Korea atau hallyu yang dirilis tahun 2015 menyebutkan, suntikan energi baru datang dari sineas muda yang berani mendobrak stereotipe lama dalam pembuatan film.
Pemerintah sepertinya punya peran penting dalam memunculkan sineas-sineas pendobrak stereotipe itu. Melalui Badan Film Korea bentukan pemerintah, sineas independen bisa mendapat suntikan dana hingga satu juta dolar AS untuk membiayai produksi film cerita panjang atau pendek, maupun dokumenter.
Badan itu membantu mencarikan distributor internasional untuk memasarkan film. Di dalam negeri, bioskop-bioskop alternatif juga mendapat subsidi supaya konsisten memutarkan film berkualitas. Mereka juga mencetak pekerja film lewat Korean Academy of Film Arts. Bong Joon-ho adalah salah satu lulusannya.
Hasilnya, selain memproduksi drama televisi populer dan film komersial, Korea juga tenar di kancah film arthouse, atau film “nyeni”. Di awal dekade 2000, tak sulit mendapati film besutan sineas Korea di festival internasional bereputasi bagus, seperti Cannes, Venesia, dan Berlin.
Film Chunhyangjeon besutan Im Kwon-taek adalah film dari Korea pertama yang berlaga di Festival Film Cannes pada tahun 2000. Nama sutradara Kim Ki-duk juga tak asing di festival itu. Kim membawa pulang penghargaan Un Certain Regards dari Cannes pada 2011. Penghargaan tertinggi dari Cannes, Palme d’Or, diterima Bong Joon-ho lewat Parasite tahun lalu.
Segala rupa prestasi itu turut mendongkrak jumlah penonton domestik di “negeri ginseng” tersebut. Situs Statista mencatat, jumlah penonton di Korea Selatan sepanjang 2018 mencapai 200 juta orang, sementara jumlah penduduk seluruh negara 51 juta orang. Menonton di bioskop telah menjadi gaya hidup, umumnya yang berusia 15 sampai 34 tahun. Bandingkan dengan jumlah total penonton film bioskop Indonesia yang tahun lalu baru sanggup menembus angka 50 juta. Padahal penduduk Indonesia lebih dari 260 juta orang.
Negara tersebut punya 483 bioskop dengan 2.937 layar. Perusahaan CJ ENM adalah produser dan distributor terbesar. Jaringan bioskop CGV, anak perusahaannya, berhasil menembus pasar gemuk di China sejak 2009, dan kini mengoperasikan 366 bioskop di enam negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Lotte Cinema punya bioskop di 60 negara.
Kedigdayaan industri film Korea terbangun sejalan dengan keberhasilan negeri itu mengintegrasikan industri budaya pop mereka mulai musik (K-pop), kuliner (K-food), kosmetik/kecantikan (K-style), hingga pariwisata. Dari situ tercipta gelombang Korea atau hallyu yang menyapu dunia terutama dua dekade terakhir. Lokomotif gelombang itu terutama adalah K-pop dan mungkin sebentar lagi K-movie.
Kemenangan Parasite di ajang Oscar kemarin dan penampilan boyband K-Pop BTS di panggung Grammy Awards Januari silam sekadar menegaskan bahwa gelombang Korea masih berlanjut, bahkan mungkin tengah memasuki babak baru. Bahkan gelombang Korea kini mendesak tepat ke jantung industri film dunia yang berpusat di Hollywood, AS yang sebelumnya cenderung menganggap remeh K-pop dan produk budaya pop Korea lainnya.
“Kini saya punya pandangan berbeda terhadap Hollywood. Mereka (Hollywood) jadi lebih terbuka (open-minded),” kata produser film dari Korea Jonathan Kim kepada Variety, menyikapi kemenangan Parasite.
Ajang Piala Oscar mencatat sejarah baru dengan memberikan piala paling bergengsi kepada Parasite. Mungkin itu bukan pilihan, tetapi suatu keputusan yang sulit dielakkan. (BSW)