Kebiasaan membaca harus terus dipelihara, terutama di kalangan anak muda. Pilihan buku fisik maupun buku digital tak masalah, asalkan masih mau membaca.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Membaca mestinya sudah jadi budaya orang-orang di negara maju. Apalagi, sudah terbukti banyak manfaat dari kebiasaan membaca yang baik. Salah satu yang terpenting, dengan membaca tidak mudah termakan informasi palsu alias hoaks karena kita memiliki wawasan yang luas.
Di era digital ini, akses terhadap buku-buku bacaan semakin mudah, dengan hadirnya buku digital yang bisa dibaca secara gratis maupun berbayar. Penerbit buku maupun toko buku sudah melirik potensi buku digital, dengan menghadirkan buku-buku digital maupun toko buku digital. Bahkan, perpustakaan digital juga sudah menjamur, bisa jadi pilihan buat kamu yang malas menghabiskan waktu menuju perpustakaan di daerahmu atau di kampus.
Sayangnya, pilihan membaca buku yang semakin mudah, yakni buku fisik maupun buku digital, belumlah menjanjikan peningkatan peringkat minat baca orang-orang Indonesia di tingkat dunia. Salah satunya terlihat dari hasil survei World’s Most Literate Nations yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU). Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei minat bacanya. Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Di tengah pembahasan minat baca atau budaya literasi bangsa Indonesia yang belum seperti diharapkan, kebiasaan membaca tetaplah tumbuh di kalangan anak-anak muda. Para mahasiswa, misalnya, tak lepas dari kewajiban membaca, karena tuntutan untuk sukses kuliah. Bagi mereka yang ingin mendapat nilai bagus, banyak membaca memberi manfaat untuk peningkatan diri dan eksistensi sebagai kaum intelektual muda.
Meskipun era digital menawarkan pilihan untuk membaca secara praktis dengan hadirnya e-book, nyatanya belum tentu semua generasi milenial hingga alpha lebih menikmati membaca buku digital. Sebenarnya, tak masalah ada yang suka membaca buku digital ataupun buku fisik, banyak yang menikmati aktivitas membaca sebagai hobi yang tidak lepas dari rutinitas hidup.
Bedu Hafidz, mahasiswa semester VI Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Bandar Lampung, mengaku terbiasa membaca buku secara digital ataupun buku fisik.
”Membaca itu menjadi kegiatan rutin saya yang menyenangkan. Saya juga mau menularkan kesukaan membaca ke anak-anak kecil di kampung saya. Soalnya, saya melihat banyak anak yang jarang belajar dan baca buku. Akhirnya di tahun 2015, saya dirikan Taman Bacaan Masyarakat Bstaredu,” ujar Bedu yang aktif dalam kegiatan pendidikan dan lingkungan hidup hingga tingkat nasional.
Menurut Bedu, dia menikmati saat membaca buku fisik maupun digital, bergantung dari isi bacaan yang ditujunya. ”Kalau harus milih, jujur lebih suka buku fisik, ya. Soalnya kalau fisik, bisa dicoret-coret jika ada kata-kata atau kutipan yang unik,” kata Bedu.
Bedu mengaku lebih banyak membaca novel atau biografi orang terkenal dari internet atau buku digital yang bisa diunduh secara gratis. Di sisi lain, dia tetap berburu buku fisik di toko buku.
”Saya suka membaca dengan genre romantis karena kata-kata di dalamnya membuat saya tertarik menulis kembali yang biasanya saya tuangkan dalam bentuk puisi dan prosa,” kata Bedu.
Bedu yang hobi membaca ini merasa senang karena virus membaca yang disebarkannya di taman bacaan sudah mulai menuai hasil. Dia mulai dengan mendongeng kepada anak-anak kecil usia dini hingga SD agar lama-lama suka membaca dan berimajinasi. Sampai sekarang pengunjung di taman baca yang didirikan Bedu semakin ramai.
Mudah dan gratis
Lebih menikmati membaca buku fisik juga dirasakan Nurul Amanah, mahasiswa semester VIII Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Gadis yang hobi baca novel ini mengatakan, dengan membaca buku fisik, dirinya bisa lebih fokus untuk menyelesaikan bacaan.
Nurul beralasan membaca buku digital melalui gawai atau komputer bisa membuatnya tergoda untuk membuka-buka laman atau hiburan lain. Alhasil, niat mau membaca buku bisa berakhir dengan berselancar di internet untuk melihat hal-hal yang tidak dibutuhkan.
”Kalau baca buku digital, paling lama tahan 30 menit. Aku enggak kuat matanya kalau lama menatap layar. Jadinya, lebih suka baca buku fisik aja. Satu novel bisa sehari habis,” ujar Nurul.
Bagi Nurul, ada sensasi yang berbeda jika tetap setia membaca buku fisik. Dirinya jadi punya waktu untuk pergi ke toko buku dan memilih buku-buku yang menarik hatinya. Jika sedang tidak ada uang, dia memilih perpustakaan kampus untuk meminjam buku fisik.
”Jadi ada alasan untuk jalan-jalan kalau mau cari buku fisik. Kalau cuma di gawai jadi cepat bosan, enggak tahan baca lama. Beda di toko buku, bisa sampai lupa waktu,” tutur Nurul yang baru menyelesaikan novel berjudul Limbah Dosa karya Mira W ini.
Dunia internet yang menawarkan informasi dan buku digital yang berlimpah begitu dinikmati Habibah Auni, mahasiswa semester VIII Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Gadis yang akrab disapa Bibah ini bisa menghabiskan waktu 4-5 jam tiap hari untuk membaca buku nonfiksi, seperti politik, peningkatan diri, dan buku berbau sosial lainnya.
”Aku suka baca karena seru dan supaya tahu banyak hal. Paling senang, sih, baca jurnal-jurnal ilmiah yang lebih mudah diakses dari internet. Kalau topiknya asyik, wah, membacanya jadi seru juga,” ujar Bibah yang juga hobi menulis.
Bibah mengaku lebih suka membaca buku digital karena lebih mudah mencari buku, termasuk buku langka atau buku lama yang sudah tidak terbit lagi. Dia memanfaatkan layanan internet gratis di kampus dan tempat lain untuk mengunduh buku digital atau jurnal yang ingin dibacanya.
”Jadi, baca buku bisa gratis alias enggak mengeluarkan duit,” ujar Bibah tersenyum. Biasanya, sih, mahasiswa akan merasa terbantu dengan buku digital yang bisa diunduh gratis.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Penerbit Indonesia Rosidayati Rozalina mengatakan, dari survei Ikapi, sekitar 85 persen masyarakat masih lebih suka membaca buku fisik. Bisnis penerbitan buku digital memang ada, tetapi angka penjualannya masih sekitar 2 persen dari total penjualan penerbitan buku fisik.
”Sampai saat ini, buku digital atau e-book itu masih pilihan, belum menggantikan buku fisik. Apalagi kebiasaan membaca buku itu, kan, emosional dan tiap orang punya referensi masing-masing. Yang penting, akses pada buku bacaan, baik yang fisik maupun digital, tetap terbuka dan orang tetap punya minat baca tinggi,” ujar Rosidayati.
Apa pun pilihan sarana untuk membaca sah-sah saja. Setiap jenis buku tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan. Semua bergantung pada kenyamanan kita dalam membaca.