Anak-anak muda sekarang senang memakai lagi celana cutbray, jaket kedodoran, dan main sepatu roda. Mode tahun 1980-an itu mereka anggap keren.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Masih ingat film fiksi Olga dan Sepatu Roda di tahun 1991? Generasi X dan Y awal, mungkin segera ingat film itu karena saat itu sepatu roda sedang naik daun di Indonesia. Olahraga sepatu roda yang dimulai di Belanda pada abad ke-17 awalnya dibawa masuk ke Indonesia oleh keluarga kaya Belanda dan Indonesia yang bekerja pada Belanda.
Demam sepatu roda merebak sekitar tahun 1960-an di kalangan anak muda Jakarta, Surabaya, dan Makassar hingga puncaknya tahun 1990-an. Setelah itu sepi.
Sepatu roda mulai muncul lagi sekitar awal 2016 di Bandung. Karena susah mencari sepatu roda, mereka memodifikasi sepatu biasa yang dipasangi plat dan roda di bagian sol sehingga menjadi sepatu roda. Marina Tasha yang membentuk komunitas sepatu roda Rad Supersonic di Jakarta, juga memakai sepatu roda modifikasi karena waktu mulai main sepatu roda tahun 2018, tidak ada yang jual sepatu roda.
“Sepatu modifikasi itu sebenarnya kurang nyaman di kaki. Apa boleh buat, yang penting bisa main sepatu roda aja,” kata Tasha. Belakangan Tasha jualan sepatu roda dan suku cadang atau aksesorisnya yang diimpor dari Amerika Serikat dan Australia.
Olahraga sepatu roda itu membuatnya ketagihan. “Seperti main-main aja. Bisa sambil joget-joget. Enggak terasa capek, tahu-tahu sudah mandi keringat karena kan semua anggota badan harus bergerak,” ujarnya.
Rucira Dewinta juga merasa sepatu roda lebih menyenangkan karena ia bisa berolahraga tapi seperti main-main. Awalnya, tahun lalu, Rucira iseng-iseng mencoba sepatu roda dan ternyata cocok. Kini ia seperti tak bisa lepas dari sepatu roda. “Harus dicoba sendiri sih. Enak kok dan pasti akan ketagihan. Apalagi kalau ramai-ramai mainnya. Seru aja,” ujarnya.
Sepatu roda bukan sarana olahraga semata tetapi bagi Baron Martanegara lebih seperti sarana untuk joget-joget disko. Ia sudah main sepatu roda sejak SD sampai SMA pada 1990-an lalu berhenti ketika masuk kuliah. “Baru mulai main lagi tahun ini karena kangen aja, mengingatkan zaman dulu. Saya senang sepatu roda karena pada dasarnya senang nge-dance. Jadi bisa disalurkan di atas sepatu roda,” katanya.
Sebelum main sepatu roda, Tasha menyarankan sebaiknya belajar teknik-teknik dasarnya terlebih dahulu demi keamanan saja. Ia dulu juga belajar pada salah satu mantan atlet sepatu roda pada era 1980-an yang kini tinggal di Bandung. Untuk bisa menguasai teknik dasarnya, setidaknya dibutuhkan 5-8 kali pertemuan.
Tantangan yang dihadapi pecinta sepatu roda bukan hanya sepatu rodanya tetapi yang lebih penting adalah tempat berlatih atau bermainnya. Tasha dan komunitasnya kerap kesulitan mencari tempat berlatih karena banyak tempat publik seperti Lapangan Banteng dan Gelora Bung Karno yang melarang sepatu roda masuk. “Kita harus curi-curi main. Kalau diusir, pindah lagi. Saya tidak paham juga. Padahal kita lebih banyak gerakan dance-nya. Bukan ngebut-ngebutan,” kata Tasha.
Nyaman
Munculnya komunitas sepatu roda seiring dengan fenomena “Back to 80’s and 90’s” yang beberapa tahun terakhir melanda anak muda kekinian. Anak muda zaman now tiba-tiba senang pernak-pernik gaya hidup tahun 80-an dan 90-an. Armando Kurniawan (24), mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, misalnya, merasa nyaman dan percaya dengan pakaian dari era 80-an dan 90-an seperti pakaian bergaya kuno tapi rapi dan elegan. Sehari-hari Ado sering mengenakan kombinasi celana cutbray, kacamata photochrome, kemeja santai, dan sepatu pantofel.
Berawal dari melihat foto-foto ayah dan ibunya zaman dulu, Ado merasa cocok memakai pakaian dengan konsep jadul. “Gua merasa ini gua banget dan itu yang bikin gua nyaman, gua nggak perlu repot menyesuaikan dengan orang lain,” ujarnya.
Belakangan ini ia mencoba menularkan selera jadulnya kepada orang lain. Bersama teman-temannya ia menjalankan bisnis leisure shirt alias kemeja santai dari era 1980-an dan 1990-an yang sekarang naik daun lagi.
“Model bajunya unik, itu yang membuat gua pengen cari tahu lebih dalam baju-baju yang sering gua pakai,” kata Ado. Kacamata tua peninggalan kakeknya menjadi barang favorit dari sejumlah koleksi pakaian dan aksesoris yang bernuansa 1980-an.
Bagi Aviliani (22), mahasiswa Program Studi Statistika Universitas Padjdjaran yang sehari-hari bekerja sebagai penyiar Radio di Ardan Radio 105.9 FM, ada tantangan dan kesenangan tersendiri dalam mencocokkan warna-warna yang bertabrakan menjadi kombinasi unik. Berpakaian jadul membuat Aviliani seakan kembali ke tahun-tahun di mana orang asyik berinteraksi tanpa gawai.
“Model pakaian seperti itu biasanya saya dapat dari pakaian bekas orangtua. Jadi bisa hemat karena tidak perlu beli,” kata Avi.
Celana model high waist, jaket kedodoran dengan dalaman tanktop, ditambah sepatu boots biasanya menjadi pilihan gaya Avi sehari-hari. Terkesan sederhana namun jika dikombinasikan dengan warna-warna terang dapat menjadi perpaduan yang lucu. Meski model gaya berpakaian jadul tidak digemari semua kalangan muda, Avi tetap menganggap fenomena ini menarik. Apalagi ia juga suka dengan musik-musik era 1980-an dan 1990-an seperti, Bee Gees, Mariah Carey, Destiny Child, Faris RM, dan Sheila Majid.
Sebagai penyiar radio, Avi mengungkapkan, banyak anak muda yang mendengarkan lagu-lagu jadul dan menyanyikannya kembali seperti, lagu "I Aint Got You" (Mariah Carey) dan "Don’t Look Back In Anger" (Oasis).
Bahkan, kini lagu-lagu jadul dari Ebiet G Ade dan Diana Nasution digemari lagu setelah dinyanyikan dengan versi kekinian. (*)