Ruang untuk Saling Bercerita
Novel ”Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dari Marchella FP tak cuma jadi viral dan banyak diperbincangkan, tetapi dianggap mewadahi kegundahan dan kecemasan kaum milenial. Seperti apa kisahnya sampai ada yang menangis?
”Lari sekencang-kencangnya kemana pun kamu mau…Tapi masalahmu tidak akan pergi. Dia ada di sana, di belakangmu. Sampai kamu berani, berbalik arah dan hadapi”.
Sepintas kutipan tadi mirip nasihat. Marchella FP, penulisnya, membuat ilustrasi yang memperlihatkan seseorang sedang berjalan di atas jalan berliku. Pada titik terjauh bayangannya tetap berada di belakangnya karena cahaya tampak dari depan. Pada halaman berwarna peach muda itu tertulislah kalimat dalam tulisan tangan tadi.
Sesungguhnya kutipan ini hanya satu bagian dari buku berjudul Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) sejak Oktober 2018. Pada saat pre-order, novel grafis ini telah terjual sekitar 5.500 eksemplar. Ketika benar-benar diluncurkan 27 Oktober 2018 terjual sebanyak 2.000 eksemplar dalam waktu 1 jam saja. Kini buku dengan ketebalan 200 halaman ini, menurut Editor Senior KPG Candra Gautama, telah dicetak sebanyak 12 kali dengan sekitar 130.000 eksemplar!
Kita boleh beranggapan ini pencapaian mustahil sekaligus ajaib dari seorang penulis muda bernama Marchella FP, yang kiprahnya ”nyaris tak terdengar” dalam dunia tulis-menulis. Barangkali juga banyak yang memandang remeh pada NKCTHI yang cuma berisi kutipan-kutipan ringkas dan pertama-tama tujuannya mencukupi halaman Instagram alias instagramable.
”Jangan salah, Marchella telah menjadi juru bicara dari generasinya, yang butuh juga didengarkan,” kata Candra.
Pertanyaannya, mengapa NKCTHI bisa begitu viral di media sosial, bahkan juga sesudah dibukukan dan kemudian difilmkan? Fenomena apa yang terjadi pada generasi milenial dan generasi Z sehingga buku tetap menjadi tujuan akhir?
Selama dua tahun pertama Marchella mencari tahu lewat media sosial, sosok dan jeritan hati generasi milenial. Lewat Instagram, ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menjadi tempat curhat begitu banyak orang. ”Dalam sehari bisa terima 4.000-7.000 curhatan. Semua yang tadinya tampak bahagia ternyata banyak kisah kelam di baliknya,” kata Marchella, Kamis (26/12/2019) di Jakarta.
Dalam setahun, katanya, telah terbentuk komunitas digital yang kemudian ia satukan dalam akun bernama @nkcthi alias nanti kita cerita tentang hari ini, yang kemudian menjadi judul novel grafisnya. “Akhir 2017 menuju 2018 digital community lewat akun @nkcthi terbentuk, di sini aku menampung banyak cerita dari generasi milenial,” katanya.
Sesungguhnya, niatan awal membentuk komunitas digital itu, kata Marchella, untuk menjajaki masalah-masalah yang dihadapi kaum milenial dan generasi Z, yang selalu dicap generasi gundah-gulana, cemas, dan tanpa tujuan hidup yang pasti. Ia kemudian mendapatkan fakta-fakta tentang perpisahan, kenangan, kegagalan, tumbuh, patah, dan kehilangan, tentang menunggu, bertahan, perubahan, dan semua tentang ketakutan hidup.
Marchella bahkan pernah harus menerima curhatan dari seseorang yang siap melakukan aksi bunuh diri di belahan dunia lain. ”Pada saat cerita, ia sedang membawa pisau dan siap bunuh diri. Aku cuma menjadi pendengarnya sambil sesekali kasi pandanganku,” ujar Marchella yang juga menulis novel Kamu Terlalu Banyak Bercanda ini.
Sebuah buku
Tujuan dari seluruh risetnya, tutur Marchella, untuk menerbitkan sebuah buku yang dibutuhkan oleh generasinya sendiri. ”Ini benar-benar bukan test market, tapi tes minat,” kata perempuan kelahiran 1990 ini. Ia kemudian menyimpulkan, generasi milenial bukan butuh petuah-petuah dari orang-orang yang dianggap punya otoritas, termasuk orang suci. ”Mereka butuh teman dan ruang bercerita, ya, buku itu yang bisa jadi legacy,” ujarnya.
Berdasarkan riset dan komunitas digital yang ia bentuk, meluncurlah kemudian NKCTHI, yang ”hanya” berupa kutipan-kutipan singkat dan gambar-gambar naifistik yang disusun Marchella sendiri. Hebatnya, kutipan-kutipan itu bisa membuat para pembaca meneteskan air mata sembari mendengarkan lagu-lagu yang dipilihkan Marchella dalam playlist Spotify.
Bagi kebanyakan orang, perilaku kaum milenial yang menangis ”cuma” karena membaca kutipan-kutipan pendek dan mendengarkan musik itu bisa jadi tak masuk logika. ”Ya itu karena mereka membaca kisahnya sendiri,” kata Candra Gautama. Setiap kalimat yang ditulis Marchella dalam NKCTHI memiliki relasi yang amat intim dengan orang-orang yang tergabung dalam komunitas digital.
Intinya, ujar Candra, tetaplah sebuah buku. ”Buku itu sifatnya monumental content, tidak sekadar wujud fisik. Dan inilah kunci kultur buku tetap bertahan di dunia arus digital sekarang ini,” tambah Candra.
Fakta-fakta lain menunjukkan, dalam berbagai perhelatan writers festival yang membuka open call kepada para penulis, generasi milenial selalu menyerbunya. Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival akhir November 2019 lalu tak kurang mendapatkan kiriman 5.000 puisi, yang sebagian besar dikirim generasi milenial. Penggagas Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, HE Benyamin, mengatakan, tujuan para pengirim puisi tidak berhenti pada sebuah buku.
”Mereka membutuhkan ruang bercerita secara leluasa. Hal seperti ini sulit didapat di tengah badai digital yang penuh kekerasan,” katanya.
Kurator Bali International Literary Festival, Warih Wisatsana, menambahkan hal serupa. Buku memang boleh jadi wujud fisik yang akan mewadahi karya-karya para penulis. Tetapi sesungguhnya, katanya, buku lebih mengarah kepada intellectual content, di mana banyak orang bisa mendapatkan arah hidup.
”Intellectual content itu seolah abadi dalam sebuah buku,” ujar Warih.
Publik memang bisa mendapatkan konten-konten serupa lewat media seperti internet. Tetapi, kata Warih, pengetahuan yang bisa dipercaya itu hanya terdapat pada buku. ”Itu karena karya dalam buku terkurasi, baik itu oleh kurator atau para editor di sejumlah penerbitan,” lanjutnya. Ketika melakukan open call puisi, Bali International Literary Symposium yang diselenggarakan Oktober 2019 tak kurang menerima ribuan puisi. ”Dan sebagian besar dari generasi milenial,” tambah Warih.
Peristiwa yang serupa terjadi pula dalam Bengkulu Writers Festival yang diselenggarakan pada September 2019 di Kota Bengkulu. Penulis muda belia seperti Tessa Nova Rahmanda untuk pertama kali berani mengirimkan ”curhatannya” untuk dikurasi. Para kurator yang dipimpin penyair Kurnia Effendi kemudian memilih puisi: //Jiwa dari jiwa/Hasrat bergema/Nurani dan fikiran/Saling berbisikan/Seraya berkata,”Wahai gulita malam temanilah bayang-bayang mimpi di alam.”//.
Karya Tessa, yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA ini, menjadi salah satu dari puluhan puisi yang lolos dari kurasi tim kurator. ”Tujuanku bukan masuk buku. Tetapi hanya ingin sampaikan unek-unek aja. Kalau lolos buku, alhamdulillah,” kata Tessa.
Jika para penyelenggara writers festival kebanyakan menerima kiriman karya secara pasif, Marchella secara sadar mengelola energi kaum milenial untuk kemudian ia bukukan. Pada bukulah mereka bisa becermin, menemukan kembali wajahnya yang barangkali telah lelah bertualang menuju bintang-bintang. Pada bukulah mereka menemukan kembali tangan, kaki, pikiran, perasaan, dan seluruh indera dalam dirinya, kembali menginjak tanah dan menyentuh masalah yang ada di hadapan mereka. Kembali pada realitas konkret, intinya….