Kehebatan Komika Ubah Keresahan Jadi Tawa di Panggung Stand Up Comedy
Kalau cinta bermula dari mata lalu turun ke hati, nah materi "stand up" bermula dari keresahan yang diturunkan ke komedi. Kata orang-orang sih, kalau kita sudah bisa mentertawakan keresahan, kesedihan, dan kegagalan, niscaya kita tergolong orang-orang yang kuat.
Kursi di dalam Auditorium 1 bioskop CGV di Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (14/12/2019) malam penuh terisi. Empat ratusan orang di sana bukan hendak menonton film box office keluaran teranyar, tapi mereka ingin nonton lima aksi komika yang mengisi pentas komedi bertajuk Perempuan Berhak III.
Seperti judulnya, semua komika di sini adalah perempuan, yaitu Gamila Arief, Jessica Farolan, Ligwina Hananto, Musdalifah Basri, dan Priska Baru Segu. Ini adalah pentas ketiga seri ini, setelah yang pertama digelar pada 2014 dan 2017.
Acara dimulai sekitar lima belas menit dari jadwal semestinya, yaitu pukul 20.00. Najwa Shihab, si presenter itu, muncul membuka acara. Dia tidak melawak, apalagi baca berita. Dia membaca peraturan bagi penonton—antara lain dilarang merekam video sepanjang pentunjukan. Walau judul acaranya Perempuan Berhak III, Najwa tidak pakai hak, tapi sepatu kets.
Komika pertama yang tampil adalah Priska Baru Segu. Dia mengaku beragama Katolik tapi bekerja sebagai
membuka penampilannya dengan kalimat tegas, “Saya adalah Katolik garis keras.” Ucapan perempuan asal Ende, Nusa Tenggara Timur itu menegaskan bahwa dia akan mengusung topik cukup serius: toleransi.
Tawa sudah terdengar sejak kalimat awal itu. Priska mengisahkan pengalamannya bekerja sebagai penjaga toko hijab. Premis ini sudah kocak karena menyilangkan identitasnya yang “ke gereja seminggu tiga kali” dengan sikap profesionalnya sebagai penjaga toko.
“Makin hari melihat hijab rasanya makin indah. Ini taruhannya iman,” kata dia. Namun dia tak goyah, walau akhirnya keluar juga dari toko itu.
Komika berikutnya adalah Jessica Farolan, yang mengaku lebih “senior” dibanding rekan-rekan sepanggungnya kala itu. Ia antara lain mengusung isu seksualitas. Ia membeberkan penelitian ilmiah bahwa kromosom laki-lakilah yang bisa menentukan jenis kelamin anak.
Namun, seringkali perempuan yang dianggap bersalah jika tidak bisa memberi keturunan berjenis kelamin laki-laki. Paparan ini juga menimbulkan tawa penonton yang seluruhnya berusia di atas 21 tahun, sesuai peraturan pertunjukan.
Isu-isu yang berkaitan dengan perempuan itulah yang mengemuka. Rasa-rasanya, isu tersebut terbilang serius dan kompleks. Namun dengan canda, pesannya tersampaikan. Gamila Arief, misalnya, menuturkan patah hati sebenar-benarnya bukanlah ketika ditinggal pasangan, melainkan pembantu.
Mereka adalah para perempuan dari berbagai latar belakang; ada ibu rumah tangga, pekerja lajang, maupun pengantin baru. Masing-masing membawa perenungannya dalam setiap peran yang mereka jalani, bisa hal sederhana, sampai yang rumit. Setiap cerita menyisipkan komedi untuk ditertawakan bersama.
Keresahan sebagai sumber tawa sudah dipanggungkan sejak lama. Kelompok lawak legendaris Srimulat, misalnya, bermula dari kondisi seperti ini. Herry Gendut Janarto dalam buku Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi menyebutkan, pendirinya Raden Ayu Srimulat adalah keturunan bangsawan.
Perempuan kelahiran 1908 itu resah dengan kultur feodal yang diterapkan keluarganya. Dia memutuskan kabur dari rumah setelah tak tahan dengan hal itu, juga kecenderungan poligami di kalangan penggede masa itu. Kesenian, termasuk di dalamnya lawak yang kelak jadi suguhan utama kelompok Srimulat adalah pelariannya.
Warung kopi
Perhelatan Perempuan Berhak adalah panggung komedi tunggal yang terbilang besar. Bagaimana tidak, lokasinya saja ada di pusat perbelanjaan di jantung kota Jakarta, yang Sabtu itu sedang dijejali orang yang berbelanja menjelang liburan akhir tahun. Harga karcisnya berkisar antara Rp 150.000 sampai Rp 350.000 per orang. Semua tiket ludes terjual.
Panggung besar seperti makin marak sejak beberapa komika senior seperti Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Ernest Prakasa memulainya dengan pentas tunggal.
Di luar panggung-panggung besar dan pertunjukan di televisi, stand up comedy juga berdenyut lucu sejumlah kafe kecil. Komika Mo Sidik, misalnya, membuka tempat bernama Ketawa Comedy Club di daerah Cipete, Jakarta Selatan sejak September silam. Tempat yang berlokasi di pom bensin itu sering jadi ajang uji materi para komika. Hampir setiap hari selalu ada pertunjukan.
Komika Yudha Ilham asal Jakarta Timur naik panggung, atau istilahnya open mic di tempat itu, Jumat (13/12/2019) malam. Dia tampil bareng tiga kawan lainnya yang tergabung dalam 4 Sekawin, yaitu Falah Akbar, Ibnu Navis, dan Muhammad Faizal.
Komedi dari empat orang itu juga berpangkal dari keresahan. “Gue, tuh, benci banget sama pengendara motor yang suka lawan arah di Kramat Jati. Beda banget gitu sama orang zaman dulu. Kalau orang zaman dulu ngelawan penjajah, zaman sekarang hobinya lawan arah,” ucap Yudha di depan belasan penonton.
Yudha adalah komika yang pernah ikut ajang Stand Up Comedy Indonesia besutan Kompas TV. “Tapi nggak ada yang tahu, kan?” ucapnya getir.
Tak cuma komika yang berpengalaman, di acara itu juga tampil, untuk pertama kalinya, mahasiswa bernama panggung Kokong. Dia adalah juru kamera dan penyunting video bawaan Yudha.
Di Ciputat, Tangerang Selatan open mic juga biasa digelar di kafe Insomniak setiap Senin malam di depan pengunjung kafe. Motornya adalah sejumlah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah yang bikin komunitas stand up.
Senin (16/12/2019) malam, ada tujuh komika yang unjuk lucu. Gaya mereka cukup khas merepresentasikan latar belakang mahasiswa UIN yang mendalami agama Islam. Setiap lawakan selalu dibuka dengan sapaan “Assalamualaikum”. Kalau komedinya menyerempet hal-hal tabu atau mengandung umpatan, mereka segera berucap “Astagfirullahal azim”. Wajah mereka pun tampak menyesal.
Materi mereka tidak jauh-jauh dari pengalaman hidup di pesantren, soal cinta, soal ustadz, soal keluarga, atau soal kemahiran berbahasa Arab. Salah seorang komika yang juga mahasiswa sastra Arab, misalnya, menuturkan pentingnya belajar bahasa Arab.
Kenapa? “Karena kalau bahasa Arab-nya fasih pasti masuk surga. Kalau nggak bisa bahasa Arab, les dulu di neraka.” Penonton yang jumlahnya 20 lebih tertawa terbahak-bahak.
Adapula komika yang menceritakan ayahnya yang baru terkena serangan stroke. “Jadi belum lama ini dia ngerasa tangannya mati rasa. Dia panik dong. Setelah diperiksa, eh ternyata tangannya kedudukan emak gua,” ocehnya.
Mulud Hidayat, salah satu komika mahasiswa UIN, mengatakan, biasanya komika memilih materi dari pengalaman sehari-hari. “Bisa dari keresahan-keresahan saya saja, kayak tadi soal pengalaman di pesantren, atau nama-nama aneh orang Indonesia,” ucapnya.
Fitrah Maulana, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta yang juga komika, menambahkan, “untuk persiapan materi, biasanya mengalir aja kalau lihat kejadian lucu bisa jadi bahan. Buka sosial media, apa yang lagi rame dibahas itu juga terkadang menjadi bahan materi lawakan baru.”
Yang penting setiap materi perlu dijajal dulu di acara open mic. Dari situ, komika bisa tahu materi lawakan seperti apa yang bisa jadi kompor gas. Biasanya sesama anggota komuntas stand up comedy, akan memberikan masukan.
“Gue banyak dapet ilmu tentang stand up comedy, bagaimana olah vokal, bagaimana supaya pede ngomong di depan banyak orang,” ujar Fitrah.
Dari open mic itulah materi otentik para komika lahir. Lawakan itu kemudian bergulir ke panggung yang lebih besar, maupun ke pertunjukan di televisi—dengan segala batasannya.
Ya kayak cinta gitu, mengalir terus ke tempat yang jauh. (BSW/*)