Sekali Lagi, Hati-hati dengan Jari Kamu!
Berekspresi lewat media sosial sah-sah saja. Tapi, kita mesti tetap waspada. Apa yang warganet unggah bisa membuat orang marah.
Pekan lalu, kita dikagetkan oleh kasus yang menimpa youtuber Rius Vernandes dan Elwiyana Monica. Gara-gara unggahannya soal foto menu makanan di pesawat Garuda yang ditulis dengan tangan, mereka berdua dilaporkan ke polisi oleh Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia Persero (Tbk). Mereka dituduh mencemarkan nama baik Garuda Indonesia, maskapai kebanggaan bangsa. Untung kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak perlu masuk ke ranah hukum.
Berkaca pada kasus itu, kita harus berhati-hati ketika mengekspresikan diri di dunia maya. Pasalnya, apa yang kita unggah bisa memicu masalah. Situasi makin rumit setelah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diberlakukan. Beberapa kali UU itu dipakai untuk menyeret warganet ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Kita boleh tidak senang dengan UU ITE. Faktanya, UU itu ada. Pertanyaannya, sejauh mana warganet tahu soal UU itu? Yuk, kita dengar pengakuan beberapa teman mahasiswa dan vloger.
Mega Laura Lubis, mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, selama ini aktif menggunakan media sosial mulai Twitter, Snapgram, dan Whatsapp. Namun, ia mengaku tidak paham dengan UU ITE. ”Saya tidak pernah membaca UU itu,” ucapnya.
Agar tidak tersandung masalah, Mega hanya berpegang para prinsip: jangan menyebarkan hoaks dan menebar kebencian. ”Itu saja pegangan saya supaya aman bermedsos,” katanya.
Mahasiswi lain, Nadya Elianna Bunyamin, mahasiswi Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, memilih berhati-hati mengunggah konten di media sosial. Ia mengatakan, ”Soalnya, ketika kita nggak bermaksud menyinggung pun, kita bisa diperkarakan.”
Berkaca pada kasus youtuber Rius Vernandes dan Elwiyana Monica, Nadya berpikir, jika ingin komplain kepada sebuah perusahaan, sebaiknya disampaikan langsung saja tanpa mengunggahnya terlebih dahulu di media sosial. Pasalnya, berita buruk tentang suatu merek atau perusahaan akan lebih cepat menyebar daripada berita baik.
Suara vloger dan youtuber
Itu tadi suara mahasiswa, bagaimana dengan suara para youtuber atau vloger? Motovlogger Gany Rahman (24) mengaku belajar soal rambu-rambu menjadi youtuber sambil jalan dan sampai kini ia belum memahami sepenuhnya UU ITE. ”Pada awal jadi vloger sekitar dua tahun lalu, aku belum mengerti rambu-rambunya, jadi aku belajar sambil jalan. Bisa dikata, jika ada kasus, itu benar-benar menjadi media belajar kami,” ujar pemuda yang akrab dipanggil Gany itu, Senin (22/7/2019), di Jakarta.
Untuk menghindarkan diri dari jeratan hukum, Gany menyatakan, butuh belajar tentang batasan atau rambu-rambu ”bermain” di media sosial, apalagi itu berkait erat dengan profesi yang ia pilih. ”Masalahnya kepada siapa saya belajar literasi tentang batasan dan UU ITE itu yang belum nemu. Kalau ada tempat belajarnya, pasti saya dan teman-teman motovlogger datang ke sana,” ujar Gany.
Beruntung di saat literasi tentang rambu-rambu berbicara di media sosial masih minim, ia bisa belajar sambil jalan dan belajar dari kasus yang dialami orang lain. Apalagi, Gany bergabung dengan komunitas motovlogger yang saling peduli. Mereka sering berkumpul untuk mendiskusikan karyanya, terutama yang berpotensi melanggar asas kepatutan dan UU ITE.
”Vloger senior sampai yunior datang ke pertemuan itu. Di situ kami saling mengingatkan atau membahas karya vloger yang mau atau sudah diunggah ke Youtube,” ujar pemilik nama lengkap Muhammad Rahman Ghaniyyu ini.
Jika ada vloger memakai kata-kata kurang pantas, teman-teman sesama vloger memberikan masukan agar yang bersangkutan merevisi karya yang berpotensi terkena jerat UU ITE. Perkumpulan itu selain menjadi ajang bertukar informasi juga jadi kesempatan saling belajar antarmereka. Gany dan teman-teman vloger lain yang belum lama berkarya mendapatkan banyak pengetahuan, terutama tentang cara menyampaikan pendapatnya di vloger.
Sebagai vloger, Gany kerap mendapat tugas menulis pendapatnya tentang sebuah produk otomotif. Pada prinsipnya alumnus Jurusan Manajemen dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Pembangunan Jaya Tangerang ini selalu mengutamakan fakta dari si produk itu. Mau tak mau ia harus merasakan dan melihat secara langsung kondisi produk.
”Saya enggak mau menyatakan apa kata orang, jadi memang harus ngecek langsung. Satu hal yang saya harus jaga, menyampaikan apa adanya saat harus menilai sebuah produk,” kata Gany.
Ia sadar betul setiap produk ada plus minusnya, tetapi ia tetap harus menyampaikan kondisi plus dan minus itu di sesi yang ia unggah. Hanya saja, Gany memilih untuk tetap menggunakan kata-kata sopan yang tak menyinggung perasaan pihak lain, tetapi pesannya tetap kena ke sasaran.
Literasi
Senada dengan Gany, Koordinator Gerakan #BijakBersosmed Enda Nasution mengakui masyarakat kini lebih banyak belajar dari kasus yang terjadi. Padahal, interaksi manusia saat ini telah beralih ke dunia maya seperti media sosial. Akun media sosial seseorang tidak bisa dianggap sebagai benda mati. Karena itu, perlu kesadaran untuk berinteraksi secara baik dengan sebuah akun di media sosial.
”Kami mengajak supaya bijak bermedsos dilakukan mulai dari diri sendiri. Bijak ini dalam arti yang luas agar pengguna medsos menjaga etika di ranah sosial dan juga jangan melanggar hukum. Ada UU ITE yang perlu dipahami. Namun, di sisi lain masih ada pasal karet seperti soal pencemaran nama baik,” ujar Enda.
Pengetahuan tentang bermedsos yang bijak, lanjutnya, masih didapat dari pelajaran secara tidak langsung dari kasus-kasus yang mencuat. ”Ada kebutuhan supaya bekal untuk memahami bijak bermedsos ini bisa dilakukan dengan sengaja lewat dunia pendidikan. Dunia sekarang ini berubah dengan interaksi di dunia maya. Namun, belum banyak yang memahami bagaimana menggunakan dengan baik, layaknya berinteraksi dengan sesama,” tutur Enda.
Ia menyebut merespons informasi secara emosional dapat membuat seseorang bereaksi tidak bijak, misal dengan kata-kata kasar dan memaki, di media sosial. ”Untuk mengajak bijak bermedsos memang mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan. Namun, gerakan bijak bermedsos tetap harus disebarkan sebagai bagian dari literasi digital,” ujar Enda.
Gerakan Bijak Bersosmed memberikan panduan praktis dalam menggunakan media sosial. Gerakan ini mengajak warganet untuk menggali lebih banyak manfaat dari media sosial lewat praktik-praktik media sosial yang positif dan produktif lewat prinsip THINK (True, Helpful, Illegal, Necessary, Kind). Gerakan ini mengajarkan etika bermedia sosial, tantangan di media sosial, dan ajakan untuk mengenal UU ITE yang dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami awam.
Ada ajakan untuk ikut deklarasi secara daring yang isinya antara lain ajakan kepada generasi digital berjanji untuk menghormati setiap hak pengguna media sosial untuk berbeda pendapat, menghargai perbedaan tanpa kehilangan rasa kekeluargaan, persatuan dan kesatuan. Warganet juga diminta menolak segala bentuk diskriminasi, penyebaran kebencian, penghinaan dan pelecehan terhadap siapa pun, terutama yang sengaja disebarkan untuk memecah belah persaudaraan kita. Selain itu, warganet mesti sekuat tenaga menyebarkan hal-hal positif dan optimistis.
Menurut Enda, di era sekarang memang mudah menyampaikan pendapat, kritik, atau pandangan lewat media sosial. Namun, kita mesti mengontrol diri dan melakukannya secara bijak. Dalam menyampaikan kritik di medsos, misalnya, Enda mengingatkan ada risiko, sama halnya di dunia nyata. Silakan sampaikan pendapat atau kebenaran sepanjang didukung fakta.