Siapa bilang kue tradisional sudah tersingkir dan tak dikenal oleh para milenial? Coba lihat betapa ramai media sosial, terutama Instagram, oleh unggahan kue tradisional yang lagi tren. Bentuk dan warna kue tradisional itu cantik dalam kemasan keren yang mudah dibawa dan rasanya enak. Generasi milenial pun melirik dan mulai menyukai produk itu.
Kue yang sedang naik daun di antaranya kue ijo dan bakpia kukus Tugu Jogja. Para milenial sudah akrab dengan dua produk itu. Anak muda Jakarta biasa memesan kue ijo lewat layanan ojek daring atau membelinya di mal. ”Aroma kue Ijo harum, warna hijaunya juga cantik. Rasanya kenyal dan pas kalau di-cocolin ke parutan kelapa muda,” ujar Arda, pemuda yang bekerja di sebuah kantor akuntan di Jakarta Pusat.
Selain suka kue Ijo, ia juga senang kue ongol. Bukan hanya rasa kue yang membuatnya suka, kemasan yang mudah dibawa menjadi pertimbangan ia membelinya. ”Mudah dibawa, masukinaja ke ransel, beres deh,” katanya lagi.
Kaum milenial lain, Selvia, warga Jakarta yang pekan lalu mengunjungi Yogyakarta, tampak menenteng tas berisi bakpia kukus Tugu Jogja. ”Ini tadi pesan lewat ojek daring. Kemasan kuenya lucu,” ucap cewek yang baru lulus kuliah ini.
Kue Ijo diproduksi di Jakarta sejak empat tahun lalu oleh toko Fin’s Recipe. Pemilik usaha ini, Darian Djohan, sejak kecil memang suka kue tradisional yang sering dibuat sang ibu, Finny Karolina.
Sebenarnya kue ijo merupakan modifikasi dari kue lumpang khas Sumatera Selatan, tetapi menurut Darian, pada Senin (13/5/2019), kue lumpang ada unsur santan dan minyaknya. ”Rasanya terasa enek, kemudian ibu saya memodifikasinya. Membuat kue yang sama, tapi tidak pakai santan dan minyak,” ujarnya.
Prihatin
Darian menyatakan, keinginan menjual kue berangkat dari keprihatinannya melihat anak muda yang lebih suka makanan asal Korea, Jepang, dan negara lain yang belakangan banyak dijual di Tanah Air. ”Padahal, kita punya makanan yang enak-enak. Kue tradisionalnya beragam dan rasanya enak. Dari situ, saya mencoba membuka usaha menjual kue ijo yang dibuat ibu saya,” kata lelaki yang sebenarnya punya usaha di bidang alat berat itu.
Perjalanan Darian memulai usaha tidak mudah. Yang pertama kali ia lakukan adalah belajar membuat kue itu dari ibunya sebab tak mungkin meminta orangtua yang sudah berusia di atas 65 tahun berada di dapur untuk membuat kue ijo. Selain itu, ia juga perlu membuat resep standar kue ijo. ”Ibu saya, kan, bilangnya garam sekian sambil tangannya ambil garam. Nah, itu berapa sekiannya he-he.., saya kemudian mengukurnya dengan timbangan dan gelas ukur untuk semua bahan supaya resepnya baku,” kata Darian yang pernah kuliah ilmu pemasaran dan sumber daya manusia di Australia ini.
Ia perlu waktu tiga sampai empat bulan untuk membuat resep standar sehingga bisa membuat kue ijo seperti buatan ibunya. Tak terhitung berapa ratus bahan yang harus ia buang demi menemukan formula campuran bahan dan kombinasi rasa yang ia inginkan.
Kemampuan membuat kue sudah ia miliki, tetapi itu belum cukup. Darian harus memikirkan kemasan yang cantik dan memudahkan orang menyantap kue ijo. Bagi dia, percuma kuenya enak, tapi berkemasan kurang bagus dan tak membuat orang mudah mengonsumsinya. Dari pengalaman perjalanan ke banyak negara, ia berpikir, makanan boleh enak, tetapi jika kemasannya tak membuat orang mudah membawa dan memakannya, hal itu belum ia anggap baik.
Ia pun memikirkan tempat yang cocok untuk tempat kue ijo dan kemasan bagian luar yang cantik. ”Saya melibatkan desainer muda untuk memikirkan packaging yang fungsional dan bagus. Inilah hasilnya, kami buatkan tempat kuenya dengan garpu kecil supaya mudah mengambil kue ijo lalu dicocolkan ke parutan kelapa muda,” ujarnya.
Darian mulai menjual kue ijo pada 22 Desember 2014 di Pluit, Jakarta Utara. Ia sengaja memulainya pada Hari Ibu untuk mengingat jasa ibunya. Ia juga memakai nama depan ibunya, Fin, sebagai nama toko. Dari hanya mengenalkan kue ijo kepada kerabat, teman, dan saudara yang pernah merasakan kue ijo buatan sang ibu, Darian kemudian mendapatkan cara pemasaran cepat.
Orang mulai mengunggah foto kue buatannya di Facebook, Path, Instagram, dan mengabarkan via Whatsapp kepada kenalannya. ”Sejak itu, pesanan mulai mengalir karena di kemasan saya tulis nomor telepon untuk order, media sosial yang bisa dihubungi untuk pemesanan. Dari tiga boks, puluhan, hingga sekarang ratusan boks pesanan datang setiap hari,” ujar Darian. Kue ijo bahkan sudah menjadi oleh-oleh khas Indonesia yang dibawa ke banyak negara, seperti Jepang, Taiwan, Australia, dan kota-kota di Eropa.
Selama empat tahun berusaha, ia terus memperbaiki layanan kepada pelanggan dengan cara membuka toko dan menjual kue tradisional buatannya di supermarket Food Hall dan menitipkan kuenya di Bandara Soekarno-Hatta. Tidak hanya memproduksi kue ijo, Darian kini sudah punya varian kue lain seperti kue ongol-ongol, kue pulut, agar, dan kue kacang yang tersedia di 12 toko di Jakarta.
Bakpia kukus
Bakpia kukus Tugu Jogja yang merupakan modifikasi dari bakpia panggang, makanan khas Yogyakarta, sejak tiga bulan lalu juga lagi ngehip banget. Toko-toko penjual bakpia kukus yang punya varian rasa, isi kacang hijau (original), kacang merah, keju dan cokelat itu selalu diserbu pembeli. Di toko penjual bakpia kukus Tugu Jogja yang baru dibuka di Jalan Solo-Yogyakarta pekan lalu, puluhan dus bakpia kukus yang baru ditata langsung ludes oleh turis lokal yang akan pulang ke Jakarta.
”Kemasannya lucu banget, tapi aku belum tahu kayak apa rasanya,” kata Vina. Ia membeli dua boks bakpia untuk teman di kantornya. Kemasan bakpia kukus memang sangat Jogja. Selain di bagian luar, setiap kue bakpia dibungkus plastik bergambar blangkon (tutup kepala khas Jawa untuk laki-laki).
Kejelian para pembuat kue tradisional memodifikasi dan membuat kemasan bagus, mudah dibawa membuat anak muda menyukainya. Dengan cara itulah, mereka lalu mengenal makanan tradisional yang agak terlupakan jajanan ala mancanegara. (TRI)