Hip Hip Hura, Sebuah Pelajaran tentang Indonesia dari Chrisye
Penyanyi Chrisye telah meninggalkan kita semua sebelas tahun lalu. Namun sederet tembang yang pernah dipopulerkannya masih terus hidup. Pada Sabtu (8/12/2018), paguyuban Swara Gembira memanggungkan lagi lagu-lagu populer itu. Acara bertajuk Hip-hip Hura itu bukanlah ajang nostalgia belaka. Acara itu adalah parade kebudayaan Indonesia.
Tengok saja panggung yang terletak di arena dalam ruang Livespace di daerah SCBD, Jakarta Selatan itu. Lantai panggung itu terlapisi kain songket, produk budaya melayu, berkelir dasar merah. Kain keemasan menghiasi undakan empat tingkat di atas panggung. Mungkin benangnya tidak terbuat dari emas betulan, tapi yang penting berkilauan.
Para awak panggung berseragam kemeja putih lengan panjang, dasi hitam, celana panjang hitam, serta berpeci. Ini tentu amat berbeda dengan awak panggung di acara kebanyakan yang umumnya berpakaian hitam-hitam. Namun sebenarnya, ada alasan logis kenapa kru panggung sebaiknya berpakaian hitam. Nanti akan dijelaskan alasannya.
Pintu arena dibuka pukul 19.00. Penonton langsung mulai berdatangan. Mereka umumnya adalah kaum muda yang berpakaian necis seperti mau datang ke pesta dansa. Tak apalah. Malam itu adalah malam minggu, malamnya kaum muda, di tanggal yang—semestinya masih—muda. Hanya sedikit terlihat pengunjung yang sudah ubanan.
Komposisi penonton berdasarkan usia itu cukup menarik dicermati. Chrisye, kelahiran 1949, mulai aktif bermusik di dekade 1970-an dan meraih popularitas sejak 1980-an. Dengan fakta itu, lumrah saja andaikata penontonnya lebih banyak dari golongan om dan tante. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Perlu diketahui pula bahwa sebagian anak muda Jakarta sedang menyukai lagu-lagu Indonesia dari dekade 1980-an, atau yang lebih tua lagi. Acara disko yang memutarkan lagu-lagu lawas Indonesia sedang menjamur. Nama-nama pemutar lagu lama, seperti Diskopantera, Disko Ria, maupun Pemuda Sinarmas jadi magnet sejumlah perhelatan musik anak muda.
Pergelaran Hip-hip Hura kali ini menyuguhkan sederet penampil yang tergolong muda, seperti Kunto Aji, Vira Talisa, grup hip-hop Onar, band punk Marjinal, juga Fauzan Lubis sang vokalis band Sisitipsi. Penggagas acaranya, yang juga pendiri Swara Gembira, Muhammad Khoirun Nassar, bahkan disebut istri Chrisye, Damayanti Noor, lebih muda dari putra bungsu mereka.
Kelautan
Acaranya dimulai jam 20.00, sesuai jadwal. Sajian pembuka adalah penampilan dari Arief Fauzan dan Sigit Ezra dari duo Irama Pantai Selatan. Malam itu mereka tidak cuma berduaan. Ada Dick Pertinho Sebastian yang selalu bersila memainkan perkusi, dan Fadli Tri Cahyadi yang bermain bas.
Arief dan Sigit sama-sama memainkan ukulele. Biasanya, kostum panggung mereka adalah kemeja kasual warna-warni bermotif cerah, yang cocok dipakai bersantai di pantai. Malam itu, keempatnya pakai pakaian adat Sumba, lengkap dengan topi anyamannya.
Penyelenggara menempatkan duo ini sebagai pemanasan, atau bisa disebut juga hidangan pembuka. Di sinilah “pelajaran” tentang Indonesia dimulai. Arief, sebagai vokalis utama menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia. Tema lagunya pun menggambarkan hal-hal yang khas Indonesia.
Tembang ciptaan sendiri, “Matahari Selatan”, misalnya, berkisah tentang romantika pasangan nelayan. Ada juga lagu “Es Kelapa Muda” yang sangat bernuansa maritim. Mereka seperti memenuhi janji yang diterakan pada nama panggungnya, yang bernuansa kelautan. Tak lupa, mereka menyebut Ibu Susi sebagai menteri idola di lagu “Mengarungi Laut Indonesia”.
Set Irama Pantai Selatan lumayan panjang, sekitar satu jam. Arief dan Sigit juga memainkan lagu Indonesia lawas, di antaranya “Markonah” si pedagang nasi uduk, yang dipopulerkan Adikarso, juga “Kisah Pasar Baru”. Dari dekade 1950-an. Satu lagu lainnya, “Pancasila” adalah lagu yang ditulis Sigit berbahasa Sumba.
“Kita semua harus bersatu, man, jangan terbelah-belah kayak sekarang. Seni mempersatukan kita semua,” tukas Arief. Duo yang dibentuk pada 2017 ini menutup penampilan mereka dengan memainkan lagu nasional “Rayuan Pulau Kelapa.” Penonton, yang sebagian besar mengenakan pakaian bernuansa tradisional ikutan bernyanyi.
Gerak dan lagu
Sajian sesungguhnya Hip-hip Hura dimulai pukul 21.00 dengan memutarkan rekaman—lagi-lagi—lagu nasional, “Bagimu Negeri” lewat pengeras suara. Lagu yang dipopulerkan Chrisye pertama yang muncul adalah “Lilin-lilin Kecil” yang dimainkan band yang mengiringi penari-penari cilik dari sanggar Sanggita Kencana.
Selepas itu, nuansa pesta dansa-dansi mulai terasa. Belasan penari dewasa dari kelompok Kinarya GSP berlenggak-lenggok diiringi lagu “Hip-hip Hura”. Keriaan itu seketika dipupuskan dengan sajian tembang berikutnya yang lebih kontemplatif, yaitu “Jurang Pemisah” dan “Sendiri”.
Dua lagu tadi dibawakan dengan baik oleh Fauzan Lubis yang bergaya bak raja jawa. Penampilannya memukau. Gerak tubuhnya terlihat padu dengan penari latar, tanpa kehilangan kualitas vokalnya. Hanya saja, rasanya agak janggal menempatkan dua lagu sendu itu setelah lagu ceria, yang justru jadi nafas perhelatan ini.
Acara ini punya benang merahnya. Seluruh penampil tak cuma bernyanyi. Ada nuansa teatrikal yang berusaha ditampilkan sesuai nafas lagu. Pada lagu “Mesin Kota”, Reza Chandrika, dikenal sebagai penyiar radio dan pembawa acara berperan sebagai tukang becak. Ia betul-betul menggenjot becak sungguhan di panggung.
Becak adalah salah satu properti yang diusung ke panggung. Mike dari band Marjinal yang tampil bersama komunitas Taring Babi membawa dua skuter antik di panggung sebagai penguat suasana lagu “Resesi”. Kesan ugal-ugalan jadi cukup terasa.
Sayangnya, tenaga yang dikerahkan awak panggung mengangkat skuter itu tak sebanding dengan durasi pemakaiannya. Lagu keluaran tahun 1983 itu berdurasi tak lebih dari lima menit. Sementara waktu yang diperlukan untuk mengangkat skuter ke panggung juga sekitar lima menit.
Selama menaikkan properti itu, panggung dibuat gelap. Tidak ada materi isian yang bisa mengalihkan perhatian penonton. Jadilah penonton terpaksa ikut menyaksikan kerja keras mereka. Apalagi, para awak itu memakai seragam putih, sehingga gerak-geriknya terlihat cukup kentara walau lampu panggung dimatikan.
Kondisi itu cukup sering berulang. Terlebih lagi, perlengkapan yang dipakai bisa dibilang berukuran besar. Selain skuter ada kereta kencana yang dipakai trio Kamila untuk lagu “Cinta Dia”, dan “Nona Lisa”. Lumayanlah, kereta itu mejeng sekitar lima belas menit di panggung setelah berusaha dinaikkan sekitar lima menit.
Oi, nama panggilan Khoirun meminta maaf apabila penonton merasa kurang nyaman dengan transisi antarpenampil itu. “Gedung ini tidak memiliki area yang cukup besar untuk pergantian properti. Namun kami tetap berusaha menampilkan yang terbaik bagi penonton,” kata dia.
Bisa jadi, unsur keindonesiaan yang hendak ditonjolkan di acara itu tak cuma mencakupi pakaian, dan bahasa, tetapi juga etos kerja keras dan bergotong-royong. Jika memang demikian, upaya Swara Gembira mengenalkan sosok Chrisye dan unsur keindonesiaan kepada kawula muda terbilang berhasil. Tak ada salahnya menantikan persembahan Swara Gembira berikutnya.