Denim yang Tak Ada Matinya
Perjalanan denim membelah zaman tak pernah berhenti. Sejak dikenal masyarakat luas pada tahun 1853, kain dengan warna biru tua itu tetap bertahan. Denim tak hanya dibuat celana panjang yang dikenal dengan nama jins, tetapi juga menjadi bahan mode lain. Juga tidak hanya disukai kalangan pria, tetapi juga kaum perempuan.
Di Wall of Fade 2018 awal bulan ini di Jakarta, denim tampil dalam bentuk jins, jaket, ”outer”, rompi, dan tas yang ”ditemani” aksesori pendukung berupa dompet atau gantungan kunci buatan tangan yang unik serta kaus kaki warna-warni.
Zaman memang sudah berbeda. Aneka mode dari bahan dasar denim tak hanya melulu tampil dengan model klasik plus aksesori abadi berupa kemeja bermotif kotak-kotak dari kain flanel, serta sepatu bot yang memberi kesan gagah.
Tampilan jins dari denim era kini mulai ditambah pernik-pernik yang selama ini tak begitu populer bagi cowok. Anak muda zaman now pun menyukainya.
Ardi (25), pekerja di salah satu anak perusahaan milik PT Astra, misalnya, Minggu (2/12/2018), asyik memilih kaus kaki warna- warni di sebuah gerai dalam ajang tahunan yang digelar komunitas penggemar denim, Darahku Biru, itu.
Ia tertarik ke kaus kaki warna merah bermotif garis-garis. ”Lucu sih, tetapi kalau dipakai buat ngantor, aku masih kurang pede. Paling buat pas main bareng teman aja, nongkrong di kafe atau mal, okelah,” kata Ardi yang akhirnya membeli tiga kaus kaki karena ada promo pada hari terakhir pameran. Dia membeli tiga pasang kaus kaki harganya Rp 100.000. Jauh lebih murah jika hanya membeli sepasang saja, harganya tetap Rp 50.000.
Memakai kaus kaki warna-warni bermotif garis, bahkan bunga, memang sedang tren di kalangan para cowok Ibu Kota. Padahal, zaman baheula, cowok hanya mau pakai kaus kaki senada dengan warna sepatu dan celana panjang yang ia pakai. Apalagi dulu, warna kaus kaki cowok hitam, coklat, dan biru.
Zaman berubah, mereka kini malah berani pamer kaus kaki dengan cara sengaja menggulung celana panjangnya hingga di atas mata kaki supaya celana kaki ngejreng-nya kelihatan. Ada pula yang memilih memakai kaus kaki hanya dengan sepatu sandal. Tujuannya jelas, biar kaus kaki warna terang bisa dilihat orang.
Padahal, zaman baheula, cowok hanya mau pakai kaus kaki senada dengan warna sepatu dan celana panjang yang dipakai.
Gerai jins Elhaus milik Edo juga punya mode denim baru, yakni jaket dan rompi dari denim. Memang, jaket dibuat dari bahan kombinasi antara denim dan bahan lain, misalnya kanvas dan katun biasa.
Model jaketnya berbeda dengan jaket jins pada umumnya yang panjangnya hanya sampai batas pinggang. Elhaus memilih membuat jaket sepanjang ujung paha dengan kantong besar di beberapa tempat. Ada pula jaket dengan kantong besar plus kantong tambahan yang ditutup kain memanjang. Sementara rompi dengan banyak kantong besar dan kecil. Jaket dan rompi menjadi favorit pembeli karena menurut mereka cocok untuk kerja di lapangan.
Selain jaket, ada pula kemeja model cuban (kerah rebah) lengan pendek dengan aneka motif. ”Kami bekerja sama dengan seniman asal Surabaya namanya Dwiki Ka. Ia membuat ilustrasi kayak gini, misalnya, lalu kami cetak jadi motif kemeja. Lumayan laris sih dan cocok buat kuliah atau kerja,” ujar Edo.
Barang-barang produk Elhaus dibanderol dengan harga Rp Rp 680.000 (kemeja) hingga Rp 840.000 (jaket).
Buatan tangan
Di bagian lain, Double Hammer Co milik Arnold Marihot Marten Sihite (22) menyuguhkan karya berbeda dengan gerai lain. Pemuda asal Bontang, Kalimantan Timur, yang tengah kuliah di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, kini menggandeng kawan kuliahnya, Rafael Danendra GW dan Leon Canavarro, untuk mengurus toko miliknya. Mereka menjual jins yang dipadukan dengan label jins, kancing, gantungan kunci, dan dompet buatan tangan.
Semua kerajinan tersebut karya Cethoel, seniman asal Salatiga, Jawa Tengah. Ia membuat semua benda dari kulit sapi hanya dengan tangan dengan teknik tatah.
Keruan saja, para cowok menyerbu gerai milik Arnold. Maklum, benda-benda seni itu unik dan tak ada di tempat lain.
Wajar apabila harganya mahal. Label yang dipasang di bagian belakang celana, misalnya, dijual Rp 250.000. Gantungan kunci Rp 300.000, sedangkan dompet besar dengan tali menjuntai untuk dipasang di tempat gesper harganya Rp 7,5 juta.
Arnold dan kawan-kawan hanya menjual satu set kancing jins berukir dari logam secara paketan dengan sebuah celana jins dengan berat 23 ons.
”Untuk orang asing harganya 350 dollar AS dan Rp 3,5 juta untuk orang Indonesia,” kata Arnold yang memang penggila jins ini.
Cethoel juga memasangkan label jins secara gratis bagi pembeli. Perlu waktu hampir sejam untuk memasang label itu karena ia hanya memakai tangan dibantu jarum dan gunting. ”Biar kuat dan awet, jahitan di bagian ujung label harus dobel,” kata Cethoel sembari memperlihatkan teknik jahitnya.
”Biar kuat dan awet, jahitan di bagian ujung label harus dobel,” kata Cethoel.
Tak hanya pengunjung lokal yang mengerubungi Cethoel, Rudi Karrer si penggila jins dari Swiss terkagum-kagum melihat karya seni unik tersebut. Ia lantas membeli paket satu set jins ditambah label.
Usaha pembuatan jins yang dirintis Arnold baru berjalan 2 tahun. Usaha yang bermula dari tantangan Cethoel agar selagi muda ia membuat sesuatu yang berbeda dengan orang lain itu akhirnya ia wujudkan sembari kuliah.
”Kebetulan saya memang penggemar jins sebab cocok untuk ke lapangan, apalagi saya anak geologi yang kerap harus guling-guling di lapangan. Tetapi, biar berbeda dengan jins lain, saya berkolaborasi dengan Om Cethoel,” urai Arnold.
Tampilan jins dari denim yang awalnya jadi baju pekerja tambang, lalu pada tahun 1990 menjelma sebagai mode papan atas di tangan desainer rumah mode Armani, Calvin Klein, kini makin keren karena sentuhan anak muda Tanah Air yang kreatif itu.