Komunitas Artzheimer, Siapa Pun Bisa Berkarya Seni
Anak muda selalu ingin menyalurkan energi kreatif mereka. Sayang, tidak semua lingkungan, baik desa maupun kota, menyediakan wadah untuk mereka. Tanpa adanya wadah kreatif, bakat mereka akhirnya redup dan lenyap. Sungguh kerugian besar.
Berangkat dari hal itulah, Sigit Purnomo, yang lulusan program studi Seni Rupa Murni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mendirikan Komunitas Artzheimer Pamekasan, Madura. Dia adalah guru Seni Rupa di SMP Negeri 2 Pamekasan.
”Dua tahun lalu, saya resah karena kegiatan seni, terutama seni rupa, sangat kurang. Padahal, anak-anak muda di Pamekasan punya aneka bakat seni,” kata Sigit di Pamekasan, Oktober lalu.
Dia dan beberapa temannya sering nongkrong di alun-alun Pamekasan memperhatikan aktivitas anak muda. Mereka berbincang apa saja. Kegiatan itu menarik kalangan lain, seperti sesama guru, seniman, akademisi, dan mahasiswa, ikut berkumpul.
Mereka pun mulai rutin berkumpul tiap dua minggu sekali. Dari situ muncul pembicaraan menyediakan wadah seni, terutama seni rupa, bagi anak muda. Boleh seni apa saja, misalnya grafiti, mural, lukis, sketsa, gambar, dan kriya.
”Siapa pun boleh bergabung, termasuk mereka yang mengaku tak punya bakat seni. Mungkin mereka punya keahlian yang nanti kami perlukan, misalnya, keterampilan berbicara di depan publik, menulis, menyusun proposal, menata panggung, mengajar, menyusun rangkaian lampu dan listrik, dan seterusnya,” ujar Sigit, yang dianggap sebagai sesepuh dalam komunitas tersebut.
Komunitas tersebut berhasil menarik minat anak-anak muda yang selama ini tidak punya wadah untuk mengembangkan potensi seni mereka. Mereka kini punya tempat untuk belajar, berkarya, berkreasi, bertemu dengan sesama peminat seni, dan memamerkan karyanya, serta bersenang-senang bersama. Mereka juga belajar menerima kritik, saran, dan masukan.
Seorang seniman dan mereka yang ingin berkecimpung di dunia kesenian mutlak harus mau dan senang membaca agar potensi mereka terus berkembang. Tidak bisa hanya mengandalkan bakat semata tanpa tambahan ilmu, baik ilmu yang terkait maupun tidak. ”Jadi, saya juga sering mengajak mereka membaca terutama yang terkait dengan seni karena seni sama seperti ilmu lainnya selalu ada perkembangan, pengetahuan, dan teknik baru,” kata Sigit.
Mereka juga belajar untuk berkreasi dengan bahan seadanya atau bahan pengganti. Alasannya, material bagus sering kali berharga mahal dan susah didapat di kota kecil.
Tantangan dan kendala seperti itu justru membuat mereka makin kreatif dan berkarya dengan bahan lain yang ada. Kalau hanya mengeluh karena tidak punya material bagus, mereka tidak akan menghasilkan apa pun. Berkarya dengan bahan minimalis mungkin saja menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih mahal.
Selain itu, mereka juga belajar untuk menghargai dan menilai karya mereka dengan benar. Misalnya, tidak boleh memasang harga terlalu murah untuk karya mereka hanya agar cepat laku.
”Dalam suatu karya terkandung ide, gagasan, kreasi, waktu, dan tenaga. Itu semua jelas bukan harga murah. Kami juga mengajarkan agar hati-hati dan melindungi karya dari pembajakan dan menghasilkan karya yang mungkin mirip dengan karya orang lain agar tidak dituduh membajak,” ujar Sigit.
Pameran bersama
Anak-anak muda komunitas itu tidak semua menetap di Pamekasan. Sebagai mahasiswa mereka studi di sejumlah kampus, seperti Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Univesitas Malang, ISI Yogyakarta, Universitas Jember, Universitas Madura, ISI Surakarta, Institut Pertanian Bogor, Universitas Islam Madura, dan Institut Agama Islam Negeri Pamekasan. Biasanya mereka berkumpul kala libur semester kemudian menggelar pameran bersama atau aktivitas lain, seperti beramai-ramai membuat sketsa.
Sebagai komunitas, mereka sering menampilkan karya di ajang seperti Visual Senja serta di Wihara Avalokistevara dan Gedung Dewan Kesenian di Pamekasan. Namun, secara individu, anggotanya pernah berpameran di kota lain. Mereka juga giat mengikuti kegiatan lomba dalam berbagai tema.
Dimas Andhika Putra, anggota komunitas yang juga mahasiswa Unesa, menuturkan, dia selalu ikut kegiatan pameran, lokakarya, dan pertemuan komunitas. Meski studi di kampus berbeda, mereka selalu berkomunikasi. Saling memberi tahu akan ada kegiatan tertentu atau lomba yang dapat mereka ikuti.
”Kami berkomunikasi via grup dan saling memberi tahu kapan selesai kuliah sehingga kami bisa menyusun rencana akan menggelar kegiatan apa kala libur bersama tiap semester. Sebagai seniman, tak lengkap jika tak ikut pameran,” ujar Dimas yang fokus sebagai animator, melukis, grafiti, dan kini menggeluti bidang kriya logam di Pendidikan Seni Rupa Unesa.
Dari komunitas itu, dia mendapat banyak hal, mulai dari ide dalam berkarya, pengalaman, berteman, sampai berbagai ilmu dan pemahaman yang tak ada di ruang kuliah. Dia juga bersyukur komunitas itu membuatnya tahu banyak buku.
”Di komunitas ini tidak hanya mereka yang kuliah seni.
Banyak juga yang kuliahnya berbeda, seperti hukum dan ilmu agama. Mereka juga bisa menghasilkan karya bagus,” ujar Dimas memuji.