Bisnis Sosial Kaum Milenial
Kaum muda yang menjalankan bisnis bukanlah hal aneh. Namun, belakangan ada tren baru yang berkembang. Generasi milenial ini berbisnis tak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga berpikir tentang manfaat bisnis mereka untuk kehidupan sosial sekitarnya.
Salah seorang anak muda yang berbisnis sambil memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya adalah Azalea Ayuningtyas. Dia adalah satu dari enam pendiri usaha Du’Anyam. Usaha yang berdiri sejak 2014 itu memasarkan produk kerajinan anyaman daun lontar yang dikerjakan para ibu di sejumlah desa di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
”Sebelumnya, ibu-ibu di sana hidup dalam kondisi serba kurang. Mereka kekurangan pendapatan, rata-rata per bulan tak lebih dari Rp 300.000. Mereka tak punya sumber pendapatan lain dan tak punya akses pemasaran,” tutur Ayu saat berbicara di konferensi wirausaha sosial se-Asia yang dihelat DBS Foundation di gedung bergengsi Marina One, Singapura, Kamis (18/10/2018).
Selain Du’Anyam, ada beberapa unit wirausaha Indonesia yang diundang ke konferensi itu, antara lain GandengTangan, Temu, Wanderlust, Nara Kreatif, Waste 4 Change, dan Agrisocio.
Du’Anyam sejak awal memancangkan tekad membantu perekonomian perempuan di Flores. Sokongan itu diupayakan melalui badan usaha, bukan badan amal yang bergantung kepada donor. Supaya bantuannya bisa berkesinambungan, aspek keuntungan komersialnya dipikirkan betul.
”Dalam tiga tahun pertama, kami berupaya mencapai kondisi keuangan yang stabil supaya bisa terus memberikan pendapatan bagi ibu-ibu. Baru di tahun keempat usaha ini mendatangkan keuntungan,” kata lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat, ini.
Kini, produk kerajinan anyaman itu dipasarkan ke hotel dan resor berbintang di kota besar, juga masuk ke mal bergengsi di Jakarta. Produksinya dikerjakan 500 petenun di 22 desa. Dalam presentasinya, Ayu mengemukakan, pendapatan para ibu kini meningkat 40 persen dan mereka pun bisa punya tabungan 55 persen lebih banyak daripada sebelumnya.
Sudah terbayang, kan, model bisnis yang dijalankan Du’Anyam? Mereka tak berhenti pada mencari keuntungan finansial semata. Mereka juga mengupayakan produk ramah lingkungan dan memberikan dampak baik bagi masyarakat. Mungkin cakupan dampaknya tak seberapa luas. Namun, ada penerima manfaat yang merasakannya.
Wirausaha lain yang mencuri perhatian di perhelatan itu adalah GandengTangan. Sebagai pembicara utama, Euleen Goh, Chairperson DBS Foundation, menyebut GandengTangan dan Mycotech, keduanya usaha rintisan dari Indonesia, sebagai model usaha yang membawa kebaikan bagi masyarakat dan lingkungan.
Demi usaha kecil
GandengTangan adalah situs berbasis internet yang mempertemukan pengusaha kecil dengan pemberi pinjaman. Mereka menampilkan beberapa usaha kecil yang membutuhkan pinjaman modal usaha, lengkap dengan nilainya. Calon pemberi pinjaman ”berpatungan” memilih usaha mana yang hendak dibantu.
Jezzie Setiawan (30) merintis GandengTangan sejak 2015 bersama Darul Syahdanul (30). Hingga kini, ada sekitar 1.200 unit usaha yang meminjam dana dan 11.500 pemberi pinjaman. Dana yang tersalurkan mencapai Rp 5 miliar.
”Target kami pada 2020 nanti ada 100.000 usaha yang terbantu,” kata Jezzie, yang keluar dari bank demi mengurusi rintisan ini.
Usaha rintisan itu lahir dari keresahan mereka atas data yang menyebutkan tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Penyebab kemiskinan itu adalah rendahnya tingkat pendidikan. Awalnya, mereka hendak mengajar gratis. Namun, mereka mendapati bahwa akar permasalahannya adalah urusan ekonomi. Padahal, usaha perdagangan mikro begitu menggeliat.
”Banyak pengusaha mikro itu yang butuh pinjaman modal tak terlalu besar. Mereka mampu, kok, mengembalikan pinjaman itu dalam waktu relatif cepat,” kata Jezzie. Penggunaan teknologi digital dipilih karena dianggap sudah diakrabi berbagai lapisan masyarakat.
Beberapa usaha yang terbantu oleh GandengTangan adalah pemilik toko kelontong, industri camilan rumahan, pedagang pulsa, usaha kantin sekolah dasar, juga kelompok ibu-ibu penganyam di bawah Du’Anyam. Pinjamannya dibatasi tak lebih dari Rp 10 juta dengan masa pengembalian paling lama enam bulan.
Mereka merekrut ”agen” yang disebut GT Trust untuk mencari calon peminjam dana. Selain itu, agen ini juga memberikan pendampingan setiap bulan kepada peminjam dalam urusan pembukuan, juga menjadi ”teman curhat” bagi pengusaha kecil ini. Kebanyakan agen ini adalah ibu rumah tangga. Ada 25 agen yang mereka pekerjakan di seantero Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Sebagai badan usaha—di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan—mereka juga mencari profit. Keuntungan didapat dari biaya admin senilai 3-5 persen dari setiap transaksi. Namun, bukan profit yang membuat Jezzie dan Darul bahagia. Mereka senang ketika mendapati usaha peminjam dana bisa berkembang.
”Ada Ibu Juhartini yang meminjam Rp 3 juta untuk usaha snack ’cistik’ (cheese stick) di garasi rumahnya. ’Cistik’-nya enak, tetapi belum dikemas menarik,” ujarnya.
Pinjaman itu untuk memperbaiki packaging. Setelah dikemas bagus, permintaan bertambah, dari semula kapasitas produksinya 7 kilogram per hari menjadi 25 kilogram. ”Sekarang dia bisa mempekerjakan enam orang dari semula satu orang saja,” kata Darul.
Lapangan kerja
Teknologi digital juga dimanfaatkan Maral Dipodiputro dalam usaha sosial yang ia kerjakan. Sejak akhir 2015, Maral mengembangkan aplikasi berbasis situs bernama Temu. Itu adalah pasar tenaga kerja yang mempertemukan pencari kerja dengan calon majikan. Aplikasi itu dikhususkan bagi lulusan SMA/SMK dan penyedia lowongan kerja dengan keterampilan tertentu, seperti kasir, petugas satpam, pramuniaga, dan operator customer service.
”Tahun 2015 itu aku sering main ke kampung-kampung di beberapa tempat di Jakarta. Aku mengamati keseharian warga sekitar. Aku lihat mereka yang lulusan SMA atau SMK butuh penghasilan tetap. Sementara di satu sisi banyak perusahaan yang kesulitan cari pekerja low skill,” tutur mantan pekerja di firma hukum korporasi ini.
Maral kemudian merancang Temu untuk menjawab kesenjangan itu. Pencari kerja mengisi formulir data di situs. Isian itu juga berfungsi sebagai riwayat hidup yang akan dibaca perusahaan penyedia lowongan. Sebelumnya Maral sering mendapati lulusan SMA/SMK kurang lihai menyusun daftar riwayat hidup/curriculum vitae.
Situs itu ”mengudara” sejak Agustus 2017. Hingga saat ini sudah terdaftar sekitar 60.000 pencari kerja dan 10.000 lowongan kerja. Kantor PT Temu Sejahtera Visi Utama sebagai induk Temu juga mempekerjakan delapan lulusan SMK dari sembilan karyawannya.
Selain itu, Temu merekrut 30 Rekan Temu, semacam agen pencari kerja di lima wilayah Jakarta. Para agen ini mencari dan memastikan kualitas pencari kerja.
Wirausaha sosial terbilang makin marak dalam empat tahun terakhir. Romy Cahyadi, CEO Interstellar, lembaga inkubasi usaha rintisan, mengamati banyak usaha berwawasan sosial itu memanfaatkan tatar internet atau internet of things.
”Pelaku usahanya sebagian besar berusia 25-40 tahun dengan pembagian jender yang seimbang. Model wirausaha sosial semacam ini berprospek bagus. Dari sisi pelaku, Indonesia masih sarat permasalahan sosial, misalnya di ranah ketenagakerjaan, pertanian, dan pendidikan,” kata Romy.