Kisah Seru Selama KKN Mahasiswa
Banyak kisah yang dialami para mahasiswa yang mengikuti kuliah kerja nyata (KKN). Ada yang kekurangan air, sulit makan, menghadapi anak-anak sekolah yang duduk di atas meja, sampai merasakan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
KKN merupakan wujud pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Program ini biasanya bertempat di daerah dan berlangsung selama satu sampai dua bulan.
Selama KKN berlangsung, para mahasiswa pasti mendapat banyak pengalaman. Mereka yang tinggal di daerah kekeringan, sulit mendapat air bersih sehingga jika ingin mandi harus menumpang di desa lain. Selain itu, mereka juga harus beradaptasi dengan menu dan rasa makanan yang itu-itu saja.
Di balik semua kekurangan itu mereka juga menemukan berbagai hal menyenangkan. Dari mulai bertemu penduduk yang luar biasa ramah, bersosialisasi dengan mayarakat, serta pelajaran baru yang tidak ada di buku.
Coba saja simak pengalaman Irvan Aristo Simanjorang, mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang selama 55 hari mengikuti KKN di Desa Galo-galo, Pulau Morotai, Morotai Selatan, Maluku Utara.
Di desa wisata itu , Irvan mengusung lima program wajib dan lima program bantu. Sesuai jurusan kuliahnya, dia ingin membantu mengembangkan wisata di desa tersebut. Dia prihatin tiada fasilitas apa pun yang menandai desa tersebut ditetapkan sebagai desa wisata.
"Salah satu kegiatan kami, mengajak penduduk desa membuat penanda desa wisata seperti papan nama jalan, penunjuk arah ke lokasi wisata, dan membangun beberapa gazebo di pantai," ujar Irvan di Yogyakarta, Selasa (27/9/2018).
Dia bercerita, desa itu memiliki pantai dengan air lautnya yang bersih, jernih, serta biru. Satu-satunya desa di Pulau Morotai itu dapat dikelilingi dalam waktu dua sampai tiga jam.
Begitu dapat suguhan telur, rasanya bahagia banget. Enak luar biasa,
Minggu pertama datang ke desa itu, Irvan senang karena setiap hari bisa berjalan di pantai, berenang di laut, makan ikan bakar serta menikmati kelapa muda. Namun, memasuki minggu kedua, para peserta KKN mulai bosan dengan semua itu.
"Begitu dapat suguhan telur, rasanya bahagia banget. Enak luar biasa," ujar Irvan geli.
Dia juga sangat terkesan para penduduk desa pulau antusias menyambut dan menerima mereka. Karena tidak ada penginapan semua peserta tinggal di rumah penduduk. Satu rumah menampung dua atau tiga peserta KKN.
Di desa itu tidak ada listrik. Sinyal pun susah. Kalau pun ada hanya di satu spot di pantai tetapi tidak bisa untuk mengirim data, hanya bisa menelepon dan mengirim pesan pendek (SMS). Alhasil, mereka semua nyaris terputus dengan dunia luar.
"Beberapa rumah punya generator diesel kecil buat penerangan tetapi biasanya hanya mampu menyalakan lampu selama dua jam, pukul 18.00 hingga 20.00. Desa baru akan terang saat bulan purnama tiba," ujar Irvan.
Berbeda lagi dengan pengalaman Saras Desca Lestari, mahasiswa Jurusan Komunikasi, FISIP, Universitas Singa Perbangsa, Karawang. Dia KKN di Desa Tegal Waru, Kecamatan Kuta Langgeng, Karawang, Jawa Barat. Desa itu biasanya memiliki air melimpah tetapi pada musim kemarau mengalami kekeringan.
"Panas banget, penuh debu di mana-mana dan air terbatas. Kalau mau mandi, kami ramai-ramai naik motor ke rumah warga desa yang lokasinya di bawah karena di situ air masih banyak. Setiap Minggu kami malah sampai berkunjung ke desa tetangga tempat KKN lainnya untuk menumpang mandi. Sambil jalan-jalan kami cari air. Balik ke desa penginapan lagi, sudah penuh debu lagi badan ini," kata Saras.
Dia kesulitan makanan karena penduduk desa senang masakan asin. Namun, dia lega di desanya ada sinyal yang kuat. "Di desa yang lain air melimpah tetapi tidak ada sinyal. Sebaliknya di desa kami air susah, tetapi sinyalnya juara, haha," ucap Saras.
Dia mengusung program public speaking untuk anak SD. Saras mendongeng dan mengajak anak-anak berani berbicara di muka umum.
Cerita seru juga dialami Alda Awwalil Hasani, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang KKN di dua desa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dia mengajar di Desa Beringhurung yang berpenduduk warga transmigran dari Jawa dan Desa Sekohong yang populasinya warga suku Dayak Ngaju.
"Ketika mengajar Bahasa Indonesia, murid-murid merengek ingin belajar yang lain. Mereka ingin belajar matematika. Namun, setelah mengerjakan 10 soal, mereka bosan," kata Alda.
Dia juga takjub karena saat istirahat murid kelas 2 SD semua bertengger di jendela ventilasi. Naik bangku lantas ke meja dan memanjat lemari untuk sampai tempat mereka bertengger. Malah murid-murid kelas 5 SD kalau bosan duduk di bangku, ramai-ramai duduk di meja.
"Saya kaget dan bingung mereka seenaknya begitu. Kadang malah ada yang bosan lama di sekolah dan ingin pulang saja. Padahal, saat itu baru pukul 09.00 hahaha," imbuh Alda mengenang.
Alda mengajarkan aparat desa cara membuat surat legal misalnya nota kesepahaman, dan peraturan desa. "Ilmu saya akhirnya terpakai juga," ucap Alda senang.
Gempa
Pengalaman tak kalah seru dialami Abdi Nadiem, mahasiswa Fakultas Hukum, UGM Yogyakarta Dia KKN ke Desa Bagik Polak, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Setelah tujuh minggu bertugas, para peserta bersiap mengadakan upacara perpisahan dengan penduduk desa pada 6 September 2018. Sehari sebelumnya, rangkaian acara perpisahan diisi dengan jalan sehat, aneka lomba, pesta kembang api dan menerbangkan lampion. Hari itu semua berlangsung meriah dan gembira.
Sebagian dari kami memutuskan pergi ke desa yang terkena gempa. Lumayan jauh dari desa kami dan kami membawa bantuan seadanya
Apa daya pada sore hari gempa melanda. Walau lokasi gempa ada di Lombok Utara dan Lombok Timur, Lombok Barat tetap terkena dampaknya. "Sebagian dari kami memutuskan pergi ke desa yang terkena gempa. Lumayan jauh dari desa kami dan kami membawa bantuan seadanya. Walau sempat nyasar, kami sampai di Desa Obel-obel yang terkena dampak paling parah. Di situ listrik mati, sinyal putus, dan sulit air," ujar Abdi.
Dia berkisah, Obel-obel semula bukan tujuan pejabat datang. Tim KKN itu yang menjadi tim pertama yang masuk desa dan memberi bantuan. Namun, desa itu yang akhirnya didatangi Presiden Joko Widodo.
Setelah beberapa hari membantu di Desa Obel-obel, mereka kembali ke Desa Bagik Polak untuk acara perpisahan yang tertunda. Malang tak dapat ditolak, terjadi lagi gempa. Penduduk desa pun berhamburan ke lapangan.
"Saya lari ke lapangan, ternyata teman-teman tak semuanya ada di situ. Saya pun berlarian kelililing desa mencari teman-teman. Ada yang tak percaya ada gempa susulan. Malah ada yang terus saja asyik mandi dan tidak mau buru-buru ke luar. Saya berteriak menyuruh dia bergegas sembari lanjut berlari mencari teman yang lain," ujar Abdi yang menjadi koordinator KKN Lombok Barat.
Saat hampir semua sudah berkumpul di lapangan, peserta yang tadi asyik mandi, baru selesai dan berjalan ke lapangan sembari mengeringkan rambut dengan handuk.
"Dia malah bertanya, ada apa sih? Astaga, saya basah kuyup habis berlari ke sana ke mari dia malah tak sadar ada gempa," ujar Abdi geleng-geleng.
Langsung kaki saya lemas karena kaget, takut, panik, bingung. Saya bicara pelan-pelan kepada semua peserta dan sembari bergandengan tangan kami naik ke bukit
Tak lama kemudian, mereka diajak Kepala Desa Bagik Polak mengungsi ke daerah yang lebih tinggi karena ada berita akan terjadi tsunami yang mencapai desa tetangga. "Langsung kaki saya lemas karena kaget, takut, panik, bingung. Saya bicara pelan-pelan kepada semua peserta dan sembari bergandengan tangan kami naik ke bukit. Melihat kami pergi, penduduk desa ikut panik dan pergi ke bukit naik transportasi apa saja. Sampai di bukit baru kami tahu, berita itu bohong. Astaga!" ujar Abdi.
Betapa pun susah dan sedih selama KKN, mereka sepakat KKN memberi mereka pengalaman luar biasa. Indonesia memiliki keindahan alam luar biasa, keragaman, dan penduduk yang ramah dan baik. KKN juga mengajarkan mereka untuk sabar, kreatif, berani, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan pasrah.