Ketika Anak Muda Mabuk Puisi
Anak muda zaman now tidak hanya "mabuk" media sosial. Beberapa tahun terakhir ini, mereka juga "mabuk" menulis dan baca puisi. Mereka yang sedang kepayang dengan puisi sampai berburu kesempatan "open mic" untuk tampil di depan umum. Puisi oh puisi.
Puisi kini berserakan di Instagram, Line, dan buku antologi puisi dengan desain anak muda banget. Baris-baris puisi disertai ilustragi gambar, foto, bahkan musik. Ya, anak muda yang mabuk puisi menggunakan berbagai medium untuk memamerkan puisi-puisi mereka.
Coba simak puisi berjudul “Terima Kasih” yang diunggah di Instagram dengan akun Segelintir Kata. Kata dalam puisi itu biasa saja, namun karya Tinta Kalam dengan editor @nazhirulfkr, cinematic @ristaldistaa yang diunggap 14 September 2018 tersebut, sudah dilihat oleh lebih dari 90.000 orang orang. Ini dia contoh syair puisi Tinta Kalam yang bercerita tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Ternyata jatuh cinta sendirian hanya membuat ku kewalahan.
Komentar yang bermunculan atas puisi itu cukup banyak antara lain: mak jleb, mau mewek, dan selamat tinggal, semoga bahagia.
Masih di IG, akun aksara_pelangii mengunggah kalimat singkat, cerita semesta tentang sebuah kerinduan. Di atas tulisan ada foto perempuan dari belakang. Yang menarik, puisi singkat itu di lengkapi dengan lagu berjudul "Tentang Rindu" oleh penyanyi Virza. Keruan saja, aneka tanggapan memenuhi postingan itu. Antara lain seperti ini, jannahazzzMewek):.
Meski puisi dengan bahasa nge-pop tersebut tak melulu soal jatuh cinta dan patah hati, tetapi kreasi tambahan berupa lagu atau ilustrasi kerap memicu baper, mengharu biru, dan rasa suka.
“Ya, seperti mewakili perasaan-lah. Aku nulis puisi kan juga buat kayak curhat,” kata Aldo, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta yang menjadi penikmat puisi di era digital kini.
Dua karya puisi itu serasa membalik penilaian bahwa puisi itu kuno dan harus ditulis dengan bahasa puitis seperti karya Sapardi Djoko Damono atau Aan Mansyur. Bagi anak muda milenial, menulis puisi bisa dengan bahasa biasa asal pilihan katanya tepat. Meski begitu, karta para penulis puisi kawakan itu tetap jadi dasar pengetahuan anak muda dalam menulis puisi. Itulah yang dikatakan Raihan Rahajeng, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sekarang puisi tidak lagi seperti benda mati yang membosankan. Sebaliknya, ia menjadi karya yang inovatif dan menarik untuk dinikmati. Lihatlah betapa kreatif para penulis puisi era kini. Mereka tak mau egois dengan hanya tampil sendirian tetapi menggandeng para ilustrator, fotografer bahkan musisi untuk tampil bersama.
Puisi kolaborasi
Jika di IG ramai dengan unggahan puisi dengan latar belakang suara musik atau lagu, di acara off air, penyair muda biasa tampil dengan iringan musik, minimal gitar akustik. Membaca puisi menjadi panggung untuk menampilkan kemampuan diri. Ini sering terlihat di beberapa kafe di Jakarta seperti Paviliun 28.
Puisi-puisi karangan anak-anak muda itu banyak yang dibukukan dalam bentuk antologi puisi dengan desain yang segar, khas anak muda. Karya puisi juga didampingi ilustrasi berupa lukisan atau foto.
Contohnya bisa kita lihat dalam buku kumpulan puisi Rachel Amanda dan Keisha Deisra berjudul Andai Kita dihiasi foto karya Karina Mecca terbitan Penerbit Elex Media Komputindo Jakarta. Ada juga puisi yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan A Poem with Your Name karya Adi K. Buku kumpulan puisi ini juga dilengkapi gambar yang makin memudahkan pembaca mengartikan isi puisi.
Tentu saja, membuat ilustrasi untuk puisi tak bisa seenaknya. Mozart, mahasiswa yang juga ilustrator, harus diskusi dulu dengan penulis puisi. Setiap kali diajak berkolaborasi, Mozart membuat persyaratan harus melakukan diskusi.
“Bisa sampai lima kali pertemuan. Kalau cuma 1-2 kali, pasti kurang karena saya merasa perlu menggali sampai dalam apa maksud si penulis puisi. Jangan sampai maksud dia A, eh saya gambarnya malah soal Z. Pokoknya, antara gambar dan kata-kata harus nyambung,” jelasnya.
Jika sudah tercapai kata “sepakat” dan telah memahami isi puisi, barulah Mozart membuat ilustrasinya. “Kalau isi puisi dan ilustrasi sejalan, kan jadi saling mendukung dan makin bisa dinikmati pembaca,” katanya.
Namun menyatukan dua karya seni untuk “dipertontonkan” apalagi dituangkan dalam sebuah buku memang tidak mudah. Pengalaman ilustrator Yudisthira Swarabahana memberi gambaran soal itu. Yudis dan teman-temannya sudah menerbitkan dua buku puisi, Mahasiswa Sebait Lagi dan Rekahan Mahasiswa.
“Di Rekahan Mahasiswa, ada dua komunitas yang terlibat, Komunitas Sastra dan Komunitas Seni. Seru karena harus menyatukan dua pandangan yang kadang bertolak belakang,” kisah pemuda berusia 23 tahun tersebut.
Alwan Ammar, penulis puisi yang terlibat dalam kolaborasi itu menceriterakan, pembuatan Rekahan Mahasiswa berujar, “Masing-masing pihak merasa tertantang untuk bertukar ide dan menarik benang merahnya biar bisa bertemu di tengah-tengah. Seru lah,”. Bagi Alwan dan kawan-kawan, kolaborasi yang butuh waktu panjang dan lama itu bukan untuk mencari uang.
“Untuk aktualisasi diri dan cukup balik modal saja. Yang jelas, saya puas,” ungkapnya.
Curhat
Kegairahan anak muda dalam berpuisi sebenarnya mulai terasa sejak 2014. Waktu itu, mulai muncul kelompok penggemar puisi. Malam Puisi yang diinisiasi Bentara Bumi memulai kegiatannya malah lebih dulu, yakni tahun 2013 di Denpasar, Bali.
Daya tarik open mic yang diadakan Malam Puisi begitu kuat sehingga muncullah penyair muda yang semula bahkan tak paham dan tak suka puisi. Dari situ muncul beberapa penulis dan penikmat puisi.
Malam Puisi bahkan sempat melebar ke 44 kota lainnya. Namun, belakangan Bumi mengaku beberapa daerah menghentikan kegiatan itu.
Tahun berikutnya muncul kelompok baru. Di Solo, Jawa Tengah, Niskala (27) bersama dua temannya tahun 2014 membuat akun puisi di Twitter lalu di Line yang ramai peminat. Gadis mungil pengajar bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah dan sekarang kuliah Strata dua di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu sehari bisa menerima 1.000 chat berisi puisi. “Haduh pusiingg,” katanya.
Demi memudahkan memilih puisi, Niskala memisahkan pecinta puisi di 22 kota di Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Hasilnya sama saja, ribuan anak muda mengirim karya mereka sekaligus meminta masukan atas karya mereka. “Melihat kemauan belajar sekaligus curhat mereka lewat puisi yang besar, saya bersama penyair Gilang Perdana dan Guruh Nusantara membuat Bincang Puisi,” tuturnya di Solo pada Minggu (23/9/2018).
Bincang Puisi menjadi sarana bagi kaum milenial untuk belajar membuat puisi sekaligus unjuk gigi di open mic. Meski pesertanya naik turun karena diadakan tiap Minggu malam, bukan Jumat atau Sabtu, Niskala bersama para penggagas bertekad akan membuat forum itu lebih tertata.
Mereka akan membuka kelas menulis puisi secara serius. Apalagi ada penyair lain seperti Fitri Nganthi Wani, puteri Widji Thukul bersedia bergabung untuk mengajak kaum milenial menulis puisi secara benar.
Mari mabuk puisi! (*)