Dilema Mahasiswa Saat Ingin Beli Barang Mahal, "Nabung" Dulu atau "Ngutang"
Oleh
Ida Setyorini
·4 menit baca
Godaan membeli barang baru seperti pakaian, sepatu, dan gawai terus mengepung kita. Setiap hari kita bisa menemukan iklan yang menawarkan diskos besar dan kemudahan cara membayar. Kalau nggak punya duit, boleh ngutang. Iklan seperti itu menggiurkan banyak orang, termasuk mahasiswa.
Tapi, yang namanya mahasiswa, isi dompetnya biasanya masih pas-pasan. Apa daya, antara keinginan untuk membeli barang dengan kenyataan dompet, sering tidak sejalan. Untuk menyiasati itu, sebagian mahasiswa memilih menabung dulu. Kalau duitnya sudah cukup, baru dia membeli barang dambaan. Tapi, ada juga mahasiswa yang memilih berutang demi membeli barang.
Veren Rehatta, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jakarta, termasuk mahasiswa yang memilih menabung dulu agar bisa membeli barang dambaan. Ia mengaku kebiasaan menabung sudah dimulai sejak kecil.
"Menabung berarti melatih tanggung jawab mengelola keuangan dan melatih ketekunan," ujar Veren yang terbiasa menyisihan separuh uang saku setiap bulan sebagai tabungan.
Menabung juga membuat Veren merasa lebih aman karena dapat mengontrol sendiri uang pribadinya dan tidak gamang saat ada kebutuhan mendadak. Dia juga mengakui ketika uang telah terkumpul, selalu mudah tergoda untuk memakai uang itu untuk keperluan lain.
Dinda Faradiba, mahasiswa jurusan Desain Grafis Politeknik Negeri Jakarta, juga memilih menabung uang terlebih dahulu sebelum membeli barang yang mahal. Dia mengaku takut berutang, kecuali sudah sangat terdesak kebutuhan.
"Orang lain lain takut ular, saya takut utang, seperti fobia saja. Punya utang nggak enak banget, seperti dikejar hantu," ucap Dinda bergidik.
Bukan berarti dia tak pernah berutang. Dia terpaksa berutang karena uangnya kurang untuk ongkos pulang ke rumah dari kampus. Namun, keesokan harinya dia buru-buru membayar utang tersebut.
Berutang
Sebagian mahasiswa lainnya memilih berutang agar bisa membeli barang dambaan sesegera mungkin. Muhammad Fachreza, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Trisakti Jakarta, memanfaatkan tawaran utang dari aplikasi daring untuk membeli barang dambaan. Dia berani mengambil kredit lewat aplikasi cicil daring karena yakin kegiatan itu diawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memantau setiap transaksi.
"Fitur ini sangat membantu mendapatkan barang dengan harga relatif murah. Kalau menabung dulu, sampai uang terkumpul baru bisa dapat barang. Kelamaan," katanya.
Meski persyaratannya mudah, lanjut Fachreza, proses verifikasi kredit relatif rumit karena mereka meminta data diri sangat mendetail dan proses ini perlu waktu cukup lama. "Saya membeli gawai dengan bantuan aplikasi ini dengan masa cicil 24 bulan. Cocok buat kantong mahasiswa," katanya.
Sama halnya dengan Erfan Eke, mahasiswa jurusan Junalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Serpong yang nekat mengambil kredit daring demi membeli gitar listrik. Dia tak sanggup jika harus membeli tunai seharga Rp 3 juta. Alhasil, dia memilih kredit dan mencicil Rp 300.000 per bulan selama 12 bulan.
"Gila tak mungkin bayar Rp 3 juta sekaligus. Mana punya uang sebanyak itu. Terpaksa mencicil. Saya pasang reminder di smartphone agar tak lupa tanggal bayar cicilan. Jangan sampai terlewat karena saya tak mau ambil risiko," ujarnya tegas.
Saat ini, banyak perusahaan yang menawarkan cicil daring ke kampus-kampus. Target pasarnya jelas mahasiswa. Bahkan, beberapa perusahaan punya semacam duta cicil daring di beberapa kampus. Michelle Lawson, mahasiswa jurusan Jurnalistik UMN, adalah salah seorang duta mahasiswa untuk perusahaan cicil.co.id di kampusnya sejak 2017.
Dia bercerita, mayoritas mahasiswa mengambil kredit untuk membeli laptop dan telepon pintar. Di luar itu, ada pula yang mencicil drone atau kamera walau jumlahnya sedikit.
"Uang mahasiswa umumnya terbatas, tetapi mereka ingin membeli barang. Lewat aplikasi ini mudah, tinggal pilih barang yang diinginkan, harganya berapa, masa pinjaman berapa lama, jumlah angsuran per bulan, tanda tangan dokumen, lalu foto bersama sebagai bukti," ucap Michelle dengan nada promosi.
Dia mengakui, tentu saja ada mahasiswa yang menunggak pembayan cicilan. Pemberi kredit berkomunikasi dengan mahasiswa tersebut agar jelas duduk perkaranya seperti mengapa menunggak dan kapan hendak membayar. "Hanya satu-dua kasus (kredit macet). Namanya juga mahasiswa, kami kasih keringanan. Asal orangnya tidak menghilang,"ujar Michelle.
Meski memberi kemudahan, bagaimanapun yang namanya tawaran kredit mesti disikapi dengan bijak. Kalau nggak butuh-butuh banget, lebih baik nggak berutang. (*/**)