Icip-icip Bisnis ”Jastip”
Bisnis ”jastip” alias jasa titip sedang naik daun di kalangan anak muda kekinian. Bagaimana enggak, dengan membuka jastip, mereka bisa jalan-jalan dan dapat duit.
Bisnis ini sebenarnya berkembang tanpa sengaja. Semua bermula dari kebiasaan orang Indonesia yang suka menitip oleh-oleh kepada saudara, kerabat, ataupun teman yang akan bepergian ke luar negeri ataupun kota-kota lain di Indonesia. Lama-kelamaan kebiasaan titip-menitip oleh-oleh ini dijadikan bisnis, termasuk di kalangan mahasiswa.
Latifatun Nasihah (22), mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, misalnya, terjun ke bisnis jastip lantaran mendapat kesempatan magang kerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana, ia menemukan aneka produk yang tidak bisa ditemukan di Malang. ”Aku lihat banyak banget barang bagus. Otomatis aku kalap. Nah, karena enggak mau kalap sendiri, aku buka jasa titip aja,” ujarnya.
Ia mulai membuat polling di Instagram untuk melihat respons teman-temannya. Di luar dugaan, teman-temannya antusias. ”Aku sampai bingung lihat pesenan mereka. Aku tak mengunggah barang apa aja yang bisa dititip, tetapi mereka yang nentuin barang apa yang mesti dicari,” tambah Latifatun, Selasa (24/7/2018).
Elfira (22), mahasiswa sebuah perguruan swasta di Jakarta, juga terjun ke bisnis jastip tanpa sengaja. Cerita bermula ketika ia liburan ke Korea Selatan satu setengah tahun yang lalu. Begitu tahu dirinya mau ke Korea Selatan, teman-teman kuliahnya langsung antre pesan produk perawatan wajah.
”Justru teman-teman gue yang ngedorong gue buka jastip. Ya udah deh sekalian. Cari make up untuk kebutuhan pribadi dan pesanan mereka,” ucapnya.
Kini, di sela-sela kesibukan kuliah, ia melayani jastip, terutama alat rias dan make up buatan Korea Selatan. ”Kalau barang seperti baju dan sepatu, berat bawanya. Lagi pula gue memang enggak terlalu suka barang kayak gitu,” kata gadis yang senang tata rias ini.
Untuk tahap awal, ia belum mendapat imbalan. Tetapi, sekarang setelah tiga kali jalan-jalan keluar negeri dan makin banyak yang nitip ini-itu, ia mulai menetapkan tarif. Hasilnya lumayan. Sebagian pengeluaran selama jalan-jalan bisa tertutupi oleh uang dari jastip.
”Emang enggak dibayarin penuh, sih. Tetapi, paling enggak hasil dari jastip bisa buat belanja make up dan skincare gue ha-ha,” katanya sambil tertawa ngakak.
Pelaku bisnis jastip tidak hanya melayani pembelian barang impor. Tisa (21) fokus menerima titipan pembelian barang-barang yang dijual di mal-mal di Jakarta. Pelanggannya adalah teman-temannya di Palembang.
Untuk menjalani bisnis ini, ia mesti rajin berkunjung ke mal-mal dan acara bazar. Benda-benda yang disukai orang Palembang ia foto, lalu ia unggah lewat akun media sosialnya. Tidak lama kemudian, pesanan pun mengalir.
Tisa mengaku tidak menarik ongkos besar kepada pelanggan jastipnya. ”Enggak apa-apa tidak dapat untung gede, asal konsumen datang terus dan puas dengan layanan saya,” ujar Tisa yang menjalankan bisnis jastip di sela-sela kesibukan kerjanya di Jakarta.
Tisa rata-rata mengutip jasa Rp 10.000-Rp 30.000 per barang, bergantung pada jenis barangnya. Kalau besar dan berat seperti sepatu, uang jastipnya bisa mencapai Rp 30.000 per barang. Itu belum termasuk ongkos kirim barang ke alamat pemesan.
Sama-sama untung
Menurut Tisa, bekerja sambil membuka usaha jastip tidak mudah. Ia harus rajin berburu diskon di mal dan bazar, berburu barang unik, mencari pesanan, mengemas barang lalu mengirimkannya kepada pemesan. ”Kalau salah kirim atau barang tertukar, saya kirim ulang, enggak ada penambahan ongkos,” ucapnya.
Saat pesanan banyak dan kewalahan, sesekali Tisa minta bantuan temannya untuk mencarikan barang sampai pengemasan dan pengiriman.
Salah satu pelanggan Tisa adalah Esty (20), mahasiswa Universitas Bina Darma, Palembang. ”Saya sangat terbantu usaha jasa titip ini karena mal di Palembang tak banyak menjual barang kekinian. Jujur saya sangat menggemari jenis barang-barang yang anti-mainstream gitu,” kata Esty.
Jenis barang yang biasa Esty pesan melalui jasa titip beraneka ragam, mulai dari baju, kemeja, celana panjang, hingga pernak-pernik khusus perempuan. ”Lumayan, tanpa ke Jakarta, saya bisa memakai barang-barang yang belum banyak dipakai oleh orang di kota saya,” ujarnya.
Debora Angelia (21), mahasiswi Institut Pertanian Bogor, lebih banyak memanfaatkan jastip untuk mendapatkan produk perawatan kecantikan dari luar negeri, terutama Korea, yang tidak dijual di Indonesia. Tanpa perlu ke Korea, ia bisa mendapatkan produk-produk yang ia incar lewat pelaku bisnis jastip.
Kadang barang yang ia beli lewat jastip ternyata dijual juga di Indonesia. Sudah begitu, harganya lebih mahal. ”Tapi, kalau cuma beda lima sampai sepuluh ribu mah enggak apa-apa. Kan, kita dapat barang yang asli dari Korea,” tambah cewek asal Medan ini.
Bukan hanya perorangan, bisnis jastip juga dijalankan para mahasiswa yang sedang menggalang dana. Clara Lita (19), mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, membuka jastip makanan oleh-oleh bersama 15 temannya.
Keuntungan dari jastip digunakan untuk mendanai acara yang diadakan organisasinya. ”Kan, sekarang lagi liburan. Jadi, semua panitia yang pulang bisa membelikan makanan ataupun barang khas yang dititip sama pembeli,” ujarnya.
Clara mengambil tip Rp 10.000-Rp 15.000 dari tiap pembelian barang. Ia merasa usaha itu cukup menghasilkan uang, setidaknya untuk ukuran mahasiswa. (TRI/***/*)