Anak muda Lari dari Jakarta
Jakarta ibarat romantika yang janggal. Kota ini terasa menyebalkan, tapi daya pikatnya terlalu besar. Belakangan ini, kota-kota lainnya juga mulai menunjukkan pesonanya. Pada era digital, yang katanya tanpa batas ini, apakah kaum muda masih tertarik berkarier di Jakarta?
“Tempat ini sudah terlalu padat penduduk,” cetus Irsyad Muhammad, Senin (18/6/2018). Mahasiswa Universitas Indonesia ini mengaku sudah penat dengan suasana ibu kota. “Tak cuma Ibu Kota, bahkan Pulau Jawa (sudah padat),” lanjutnya.
Jika sudah lulus nanti, Irsyad berniat meneruskan pendidikannya di tingkat strata dua. Ia ingin kuliah di luar negeri, tepatnya di Jerman. Demi menggapai tujuannya, ia mulai sibuk mempelajari kemampuan berbahasa asing.
“Seandainya pendidikan saya selesai, tujuan saya selanjutnya adalah menjadi peneliti. Peneliti itu kan bisa ke mana-mana, jadi kemungkinannya bisa tuh keluar dari ibu kota. Syukur-syukur keluar dari Pulau Jawa sekalian,” ujar Mahasiswa Jurusan Sejarah itu.
Kepenatan dengan ibu kota juga dirasakan oleh Latifah. Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini merasa lelah dengan gemerlap kota Jakarta. Baginya, sudah sepatutnya dipikirkan kembali jika ingin melanjutkan kehidupan di megapolitan ini. Ia beralasan, kota-kota modern sudah banyak, bukan Jakarta saja.
Latifah sendiri tertarik dengan Yogyakarta. Ia berencana untuk meniti karier sekaligus mencari suasana baru di sana. “Kemampuan saya kan ada di bidang tulis menulis, jadi ya di Yogyakarta pun kembali berkecimpung di dunia itu. Intinya sih menjauhi Jakarta aja, walaupun rutinitas kerja bisa jadi sama,” ucapnya.
Afrian Mahendra Nur Saputra pun merasakan hal yang sama. Menurutnya, DKI Jakarta bukan lagi tempat yang kondusif. Urbanisasi besar-besaran menjadi salah satu faktor yang membuat ia gerah dengan ibu kota.
Mahasiswa Universitas Gunadarma ini berencana, ke depannya ia akan melanjutkan kehidupan di Yogyakarta. Di sana, ia menginginkan sebuah kehidupan yang tenang tanpa hiruk pikuk perkotaan. “Kemungkinan juga saya akan jadi freelancer. Saya lebih suka ketenangan, termasuk dalam dunia pekerjaan.”
Hiruk-pikuk dan kemacetan di jalan-jalan Jakarta menjadi hal yang menyebalkan. Antrean mobil dan motor tak hanya ada di jalan utama, bahkan sampai ke jalan-jalan “tikus”. Ada ujaran bahwa bekerja di Jakarta bikin orang jadi “tua di jalan”. Kondisi ini yang membuat sebagian anak muda berpikir dua kali untuk membangun karier di Jakarta.
Quydo Ihya Iqrazi (19) adalah salah satu warga Jakarta yang merasa penat dengan lalu lintas kota ini. Kelak, kalau sudah lulus dari sekolah tinggi pariwisata, dia berencana membuka usaha di luar Jakarta. Ia membayangkan membuka kafe atau kedai kopi.
Ia enggan membayangkan dirinya bekerja kantoran dengan jadwal ketat. Soalnya, dia merasa kelelahan bekerja di kantor akan berlipat-lipat karena untuk menuju kantor, orang harus berjibaku dahulu menembus kemacetan.
Berkompromi
Harapan dan cita-cita itu biasanya berubah setelah mentas dari bangku sekolah atau kuliah. Tuntutan untuk bekerja sering kali membuat orang “berdamai” dengan aneka ketidaknyamanan, termasuk kekacauan di jalanan itu. Sial atau bukan, Jakarta adalah tempat untuk menguji kompromi semacam itu.
Ahmad Latif (23) merasakan hal itu. Enam bulan lalu dia berlabuh di Jakarta. “(Kesempatan) kerja di Jakarta lebih banyak,” kata dia yang sebelumnya berdagang pecel lele di Kabupaten Kampar, Riau.
Itu adalah pengalaman pertamanya merantau, selepas lulus dari SMA swasta di Tulang Bawang, Lampung. Ia tidak menikmati kemewahan berkuliah karena harus menghidupi diri sendiri sesegera mungkin.
Dia meninggalkan dagangan yang telah ia tekuni hampir tiga tahun itu. Dia merasa kesulitan bersaing dengan warung-warung di sekitarnya. Selain itu, kata dia, teman kongsinya melarikan modal usaha mereka. Latif lantas melamar pekerjaan di Jakarta sebagai petugas keamanan apartemen di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Setelah tiga bulan bekerja, dia merasa tidak betah. Alasannya, ia terlalu sering bekerja lembur mengerjakan hal-hal di luar tugas utamanya. “Mulai dari parkirin mobil, sampai nganter galon (air kemasan) ke penghuni. Teman-teman yang lain kayaknya nggak gitu-gitu amat,” ujar dia.
Kini dia mengarungi lalu-lintas Jakarta sebagai pengojek daring. Motornya dia datangkan dari Lampung. Kemacetan Jakarta jadi hal yang harus ia akrabi sekarang. “Memang, sih, Jakarta macet banget. Tapi jadi tukang ojek di sini (Jakarta), penghasilannya lumayan juga. Kerja kayak gini juga seperti jadi bos untuk diri sendiri,” kata dia.
Kini DKI Jakarta telah berusia 491 tahun. Gubernurnya, Anies Baswedan bilang bahwa Jakarta telah menjelma sebagai pusat ekonomi Indonesia, juga pusat ekonomi Asia (Kompas, 23/6/2018). Pembangunan berbagai sarana dikebut, seperti transportasi massal, hotel, pusat perbelanjaan, dan objek wisata. Semoga yang terbangun bukan cuma fasilitas fisik belaka, melainkan juga kualitas hidup (HEI/**)