Kisah Pejuang Skripsi
Lolos dari ujian masuk perguruan tinggi itu susah. Lebih susah lagi menyusun skripsi sebagai syarat lulus kuliah. Sebagian mahasiswa terhambat di tahap ini dan ujung-ujungnya frustrasi. Sebagian lagi bisa merampungkan skripsi dan jadi sarjana yang "hepi".
Soffy Azura Boggie (22), mahasiswa jurusan Manajemen Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta menceritakan perjuangannya ketika menyusun skripsi. Suatu hari ini membuat janji bertemu dengan dosen pembimbing untuk membahas skripsinya di kampus.
"Untuk sampai kampus di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, saya naik commuter line dari rumah di Bekasi. Perjalanan lumayan jauh. Eh, sampai kampus dosen membatalkan pertemuan. Saya nggak jadi bimbingan. Sedih banget. rasanya seperti diputuskan pacar," ujar Soffy di Jakarta, Selasa (8/5/2015).
Desi Fitria, mahasiswa jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, di Ciputat, Tangeran Selatan, Banten, juga pernah berhadapan dengan para pemberi harapan palsu (PHP) dari sejumlah petugas di berbagai lembaga tempat ia ingin mencari buku atau data.
Perlu waktu empat jam bolak balik dari kampus ke Perpusnas. Perjalanan bikin capek sampai saya mual-mual. Ternyata, hanya buang-buang umur karena tak dapat sumber skripsi
Ia jauh-jauh dari Ciputat ke Perpustakaan Nasional di kawasan Salemba, Jakarta Pusat untuk meminjam buku. Sesampai di sana, ternyata buku tak boleh dipinjam. Petugas yang sudah dihubungi juga tidak nongol. "Perlu waktu empat jam bolak balik dari kampus ke Perpusnas. Perjalanan bikin capek sampai saya mual-mual. Ternyata, hanya buang-buang umur karena tak dapat sumber skripsi," katanya.
Ketika ia datang ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mencari data, ia pun dibikin frustrasi. Arsip yang ia perlukan ternyata tidak boleh dilihat sama sekali apalagi disalin. Arsip dalam bentuk digital pun tidak ada. Yang bikin dia tambah keki, jam buka lembaga itu bergantung keberadaan petugas yang datangnya tak pasti.
"Pernah saya berhasil masuk, tetapi penjaga segera menutup perpustakaan. Padahal, saya baru tiba 10 menit. Baru sempat lihat sampul buku," keluh Desi.
Pratiwi Hayuningtyas Hartono, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Jakarta bahkan sudah mendapat cobaan di tahap paling awal. Judul skripsi yang ia ajukan langsung ditolak jurusan. Tak pelak dia harus mengajukan judul skripsi yang baru. Setelah mendapat dosen pembimbing, skripsinya mesti mengalami revisi berkali-kali.
Untuk bertemu dosen pembimbing juga tidak gampang. Sang dosen hanya datang seminggu sekali ke kampus karena mengajar di kampus lain jaraknya tiga jam perjalanan dari Ciputat naik motor. ketika bertemu, dia tidak banyak memberi masukan. "Dosen cuma bicara dua menit. Selebihnya saya harus cari tahu sendiri. Buntu rasanya. Untung, ketika harus ganti variabel data, saya mendapat bantuan dari senior," ujarnya.
Waktu datang ke kampus terasa asing dan bikin minder. Makanya, saya niat banget menyelesaikan skripsi sekarang
Mahasiswa UIN Jakarta lainnya, Jeanita Kirana, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora sampai beberapa bulan tidak berhasil merampungkan skripsi lantaran sumbernya susah sekali ditemui. Akhirnya dia mengesampingkan skripsi dan mencari kerja sambilan di sana sini. Setelah enam bulan, dia baru sadar teman-teman seangkatan sudah lulus semua.
"Waktu datang ke kampus terasa asing dan bikin minder. Makanya, saya niat banget menyelesaikan skripsi sekarang," ujarnya.
Mereka semua sepakat, menyusun skripsi perlu tenaga dan uang tak sedikit. Pengeluaran terbesar untuk mencari sumber yang diperlukan dan perlu ongkos guna pergi ke berbagai tempat. Pengeluaran lain untuk foto kopi serta kuota wifi.
Tugas akhir
Tidak semua mahasiswa memilih jalur skripsi sebagai syarat kelulusan kuliah. Arif Danar Adi Prama, mahasiswa program Studi D-4 Perhotelan, Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta lebih memilih jalur tugas kuliah akhir (TKA).
"Skripsi sangat sangat susah, bikin pusing serta stres. Belum lagi harus revisi berkali-kali dan tidak dapat dosen pembimbing yang cocok," ujar Arif.
Begitu pula dengan Normalia Sandy Palumpun, mahasiswa program studi Pendidikan Fisika, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dia memilih mengerjakan tugas akhir ketimbang skripsi. Menurut Lia, melalui tugas karya akhir, dia bisa mengeksplorasi semua ilmu yang didapat selama kuliah. Dia dapat menemukan masalah, menyelesaikan lalu menciptakan sesuatu yang berguna.
"Banyak orang menyusun skripsi hanya sebagai formalitas. Hasilnya dibiarkan saja sehingga tidak bermanfaat bagi orang banyak," katanya.
Psikolog Teman Hati Konseling, Ajeng Raviando, mengatakan, menyelesaikan skripsi atau tugas akhir bagi mahasiswa berarti mereka belajar memanajemen diri sendiri dan terlatih menghadapi orang lain. Mengerjakan tugas tersebut juga melatih mahasiswa mencari solusi, berkompromi, bersikap kepada yang lebih dihormati atau lebih senior, serta siap menghadapi berbagai kendala.
"Semua itu diperlukan dalam mengarungi kehidupan di dunia kerja dan di keluarga, bahkan, bahkan di lingkungan sekitar. Skripsi atau tugas akhir harus dikerjakan agar kuliah selesai. Tidak bisa mengelak jika ingin studi tuntas. Persoalan harus dihadapi, bukan dihindari," kata Ajeng.
Dosen Fakultas Ilmu dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Nanang Syaikhu berpendapat, mahasiswa yang senang menunda skripsi seperti orang tak punya cita-cita. Seolah tak memiliki target untuk masa depan. "Untuk mahasiswa yang rajin dan mau menyelesaikan skripsi, saya salut. Dia tahu ada mimpi yang harus dikejar. Mengerjakan skripsi termasuk bagian dari struktur kehidupan selama menjadi mahasiswa," ucap Nanang.
Nah, para pejuang skripsi, ayo selesaikan skripsi kamu!
(TIA/*)(TIA/*)