FILM, MUSIK, MAKAN, KENYANG
Film pendek yang diputar berjudul Joko karya Suryo Wiyogo, yang sempat berkompetisi di Festival Film Internasional Singapura 2017. Sutradara Eden Junjung membawa karyanya Happy Family, yang sebelumnya terpilih di Valetta Film Festival di Malta tahun 2017 dan di Bridge of Arts International Film Festival, Rusia, tahun 2017. Ada juga film Madonna besutan Sinung Winahyoko yang memenangi kategori Best Shorts di Festival Film Internasional Busan, Korea, tahun 2017.
Dua film pendek lainnya baru dipertontonkan pertama kali untuk publik di gelaran ini. Film itu adalah Elegi Melodi bikinan Jason Iskandar dan Waung dari Wregas Bhanuteja, jebolan Festival Film Cannes.
Sekitar 200 penonton berumur 20 sampai 30 tahun menyimak film-film itu di dalam auditorium yang dinginnya luar biasa. Setelah pemutaran film, penonton bisa berdiskusi langsung dengan para pembuatnya.
Area halaman belakang semakin ramai setelah sesi pertama selesai. Sabtu sore yang hangat di ruang terbuka itu menjadi pelarian bagi mereka yang sebelumnya kedinginan menonton film. Mereka bisa mengobrol di sana, mendiskusikan film yang baru saja mereka tonton.
Ada yang sambil mengudap iga bakar, mi ayam kecombrang, atau menyeruput kopi susu rasa kelapa, dengan harga relatif terjangkau. Makanan dan minuman itu berasal dari kedai-kedai yang dijalankan pekerja perfilman, misalnya dari kedai Nasi Pedes Cipete milik aktris/sutradara Lola Amaria dan kedai Kata Kopi dari Joshua Dwi, Line Producer di Studio Antelope.
Puas ”menghangatkan” diri di halaman belakang, sebagian pengunjung kembali antre masuk ke dalam auditorium sebab sesi kedua dimulai pukul 16.00.
Kegetiran
Film yang diputar pada sesi kedua adalah film berdurasi 97 menit berjudul Malila: The Farewell Flower besutan sutradara asal Thailand, Anucha Boonyawatana. Ia berhalangan hadir di acara, tetapi mengirimkan video ucapan selamat menikmati film yang menyabet Kim Ji-seok Award di Festival Film Internasional Busan, Korea, tahun lalu itu.
Film Malila adalah romansa getir kisah kasih dua pemuda bernama Shane (diperankan Sukollawat Kanarot) dan Pitch (Anuchit Sapanpong). Pitch punya keahlian merangkai baisri, ornamen yang tersusun atas bunga-bunga kecil, seperti melati dengan lipatan mendetail daun pisang. Baisri biasa dipakai dalam upacara penahbisan biksu.
Ia sedang bergulat melawan penyakit kanker paru-paru akut. Alih-alih mengusahakan penyembuhan medis, Pitch justru mengupayakan banyak hal yang membuatnya bahagia sebelum ajalnya tiba.
Pitch bertemu Shane, orang dari masa lampaunya. Shane juga sedang dalam kondisi tidak mengenakkan. Shane ditinggal pergi istrinya setelah kematian anak perempuan semata wayangnya akibat digulung ular piton. Perjumpaan kembali dengan Pitch membelokkan kehidupan Shane.
Memori pada film
Jeda sekitar satu jam adalah masa rehat yang cukup. Secangkir kopi hangat sepertinya bisa membuat saraf lebih santai sebelum menyimak film berikutnya.
Sesi terakhir pemutaran film dimulai pukul 19.00. Kali ini, sesi diawali dengan pertunjukan musik dari band Rental Video. Trio ini terdiri dari Adrian Yunan, Harlan Boer, dan Andri Boer. Mereka memainkan lagu kreasi sendiri yang terinspirasi dari film-film yang mereka tonton kala remaja.
”Film-film ini kami tonton dari penyewaan kaset video,” kata Harlan yang pernah menjadi manajer band Efek Rumah Kaca ini. Penonton diajak menyelami kehebatan pendekar buta dari film Si Buta dari Goa Hantu yang dinyanyikan Adrian. Bukan kebetulan, Adrian adalah pemusik yang kehilangan penglihatannya sejak 10 tahun lalu.
Pada lagu lainnya, ”Mengenang Kasino”, penonton cengar-cengir mengingat lawakan almarhum Kasino yang bertebaran di katalog film Warkop DKI.
Selepas set Rental Video sekitar 40 menit itu, lampu auditorium kembali padam. Konsentrasi pengunjung kembali terpusat pada layar lebar yang dibentangkan di panggung auditorium.
Film terakhir adalah Mobil BekasdanKisah-kisah dalam Putaran bikinan sutradara Ismail Basbeth asal Yogyakarta. Ini bukan
film aksi kebut-kebutan, melainkan refleksi pembuatnya atas permasalahan di negara
ini.
Sejak awal, penonton sudah diberi tahu bahwa mobil bekas, seperti yang tercantum dalam judulnya, adalah mobil betulan, bukan metafora. Ia adalah mobil jip Willy’s berwarna hijau tua dengan gambar bintang dalam lingkaran berkelir putih di bagian kapnya. Dalam adegan title, jip itu bertengger di jalan kecil yang membelah sawah subur. Sebuah gambar yang cantik.
Jip tua bikinan Amerika itu muncul di setiap babak. Ya, karena menurut pembuatnya, tokoh utama di film itu adalah si jip tua itu.
Sutradara yang juga membesut film Mencari Hilal ini hendak menunjukkan segala rupa permasalahan yang terjadi dalam perjalanan Indonesia, mulai penggusuran hingga militerisme. ”Ini film ’pertama’ saya sebagai seniman, pembuat film, sutradara, suami, bapak, dan warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Ini pernyataan politis pribadi saya,” kata Ismail.
Kenyang adalah kesan yang dirasakan setelah sembilan jam mengikuti rangkaian acara besutan Kolektif Film ini. Film-filmnya mengisi benak, musiknya melegakan, dan kulinernya mengenyangkan.