MALAM DATANG, LAPAR PERGI
”Eh, masih hidup? Kirain...,” begitu sapa seorang pengunjung yang baru datang kepada Fian.
”Masih, Bang, habis beternak lele,” kata Fian tak kalah berguyon. Pengunjung itu memang kenalan barista yang gaya pakaiannya seperti pemain skateboard ini.
”Dia barista juga. Kalau pulang kerja selalu ke sini. Biasa melayani konsumen, sekarang pengen dilayani,” ucap Fian, sembari menuangkan kopi buatannya ke cangkir bening. Asap tipis mengudara menuju bulan purnama.
Fian adalah satu dari tiga pengelola Kopi Guyon. Kedai kopi yang terletak di Jalan Fatmawati, beberapa ratus meter setelah ITC Fatmawati, dari arah Blok M, Jakarta Selatan, ini berbeda dari kedai dan tempat nongkrong lain. Mereka mulai buka pukul 22.00 dan tutup pukul 04.00, terkadang sampai setengah enam.
Meski jam operasionalnya nyeleneh, pengunjung tetap ramai. Dini hari itu, misalnya, sepuluh kursi yang disediakan penuh terisi. Pelataran bangunan pertokoan yang melengang pada malam itu menyediakan banyak ruang. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk bisa ngelesot di teras toko yang tutup beberapa jam sebelumnya. Ada juga yang lesehan begitu saja di atas konblok, bahkan sampai tidur-tiduran.
Raungan motor balap yang sesekali melintas dan alat berat yang bekerja untuk sebuah proyek tidak memengaruhi nikmatnya nongkrong sembari menyesap kopi spesial yang disajikan. Rasa kopinya tidak jauh berbeda dari yang disajikan kedai dan kafe kopi yang menjamur di selatan Jakarta. Debu jalanan malam hari tak sejahanam saat siang benderang.
Harga kopinya pun relatif terjangkau, lebih murah dibandingkan ngopi di warung berpendingin ruangan dan berkoneksi internet. Di sini, secangkir kopi spesial dibanderol Rp 15.000, apa pun daerah asalnya, baik dari Solok, Argopuro, Gayo, Kerinci Jambi, maupun beragam jenis kopi spesial lainnya.
Menu es kopi susu yang sedang banyak digemari itu dibanderol Rp 17.000 per gelas. Itu adalah menu termahal. Sementara kopi tubruk dan kopi susu panas cuma Rp 10.000. Mereka juga menyediakan kopi sobek, yaitu bubuk kopi campuran arabika dan robusta berbungkus kertas, lengkap dengan susu dan kertas penyaring.
Kedai kopi ini didirikan Ego Prayogo, mahasiswa Universitas Pamulang. Didasari kesenangannya ngopi, nongkrong, dan begadang, dia mulai berjualan kopi sejak empat tahun lalu. Selama dua tahun pertama, ia berkeliling dengan Vespa-nya di sekitar kawasan Kemang. Baru dua tahun terakhir ini ia mangkal di pelataran pertokoan di Jalan Fatmawati itu.
Ego melengkapi skuter lawas kesayangannya itu dengan gerobak yang terbuat dari kayu bekas. Gerobak itu ia kerjakan bersama kawan-kawannya. Ia terinspirasi dengan moda transportasi bentor, atau becak motor, yang ia lihat di Aceh yang ia sambangi dengan ber-Vespa. Sandingan itu ia buat sedemikian rupa sehingga menyerupai gerobak angkringan.
Beragam usia dan latar belakang pun nongkrong guyub di tempat ini setiap harinya. Dari barista, mahasiswa, atau pekerja kantoran selalu datang. Saat akhir pekan tiba, pengunjung dipastikan membeludak. Mereka bertiga menyajikan sampai lebih dari 100 cangkir. Tetapi, jangan datang pada hari Minggu. Kenapa? ”Ngaso, Bang…,” celetuk Fian.
Enggak pakai ”ngaso”
Lalu, di mana tempat nongkrong yang buka saban hari, enggak pakai ngaso? Silakan datang ke daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Di situ ada tempat kongko legendaris yang persisnya ada di simpang Jalan Garuda dan Jalan Kemayoran Gempol. Namanya Ketan Susu Kemayoran. Bukanya 24 jam nonstop!
Dari namanya sudah bisa ditebak bahwa menu utamanya adalah ketan yang dilumeri susu kental manis, bertabur kelapa parut. Harga seporsinya cuma Rp 5.000, itu baru naik 9 Desember lalu. Kudapan pendampingnya biasanya gorengan, yang paling laris adalah tempe goreng. Seporsi tempe isi empat potong cuma Rp 4.000.
Minumnya yang paling banyak dipesan orang adalah teh manis dalam poci seharga Rp 7.000. Pesan itu aja udah bisa kekenyangan, kok. Tempenya yang kering dan asin itu enak betul. Apalagi kalau masih hangat. Nyam!
Warung Ketan Susu Kemayoran ini memang legendaris. Warung ini nyaris enggak pernah tutup sejak tahun 1958 ketika dirintis H Sukrad. Sekarang pengelolanya adalah anak-cucu generasi ketiga. Enggak heran kalau pengunjungnya juga sudah beranak pinak, dan tetap meramaikan warung itu. Saking ramainya, agak susah nongkrong lama-lama karena sudah ada calon pembeli lain yang mengincar tempat duduk.
Lupa pulang
Rabu, hampir pukul 23.00, Gunadi (33) beserta tujuh rekan sekantornya baru tiba di warung tersebut. Ia masih pakai baju batik, pakaian kantoran. Teman- teman kantornya yang belum pernah kongko di tempat itu duduk di kursi panjang, memesan ketan susu, tempe goreng, dan teh manis.
Gunadi ngaku-nya telah biasa ke sini sejak masih berseragam putih abu-abu, sekitar 15 tahun lalu. ”Waktu itu masih suka trek- trekan di Kemayoran sini. Kalau mencar dikejar polisi, selalu kumpulnya di warung sini. Jadi kayak tempat check point habis diuber- uber, ha-ha,” cerita pemuda tinggal di Bekasi ini.
Sejak saat itu, dia rajin datang ke tempat ini. Dengan rasa ketan susu yang lengket di lidahnya, harga yang ramah, dan tempat yang sederhana tetapi strategis, menjadi alasannya untuk selalu datang kembali. ”Juga bisa datang kapan saja, siang, malam, atau pagi,” kata warga Bekasi yang sekarang kerja di daerah Kelapa Gading ini.
Di kawasan Blok M, ada empat sekawan Reza, Uga, Adam, dan Jodi yang lagi asyik menikmati malam. Mereka memilih bertemu di Roti Bakar Eddy ketika telah lewat pukul 23.00. Keempatnya merupakan rekan saat bersekolah di SMA 82, Jakarta Selatan, dan lulus tahun 2002.
Roti Bakar Eddy, menjadi ”markas” mereka hampir setiap minggu. Keempatnya asyik bercerita, mengumpat, dan tertawa sembari mencicip roti bakar, mi instan, dan bergelas-gelas es teh manis.
”Di sini tempat paling dekat sama semua,” kata Reza. Uga menyambung, ”Paling enak ketemunya di sini. Jadi, setahun ini kalau pas waktunya, hampir setiap minggu kami ke sini.”
Mereka nongkrong berjam-jam lamanya. Bercerita ngalor-ngidul, tentang masa sekolah, cita-cita, dan mimpi masing-masing.
”Kalau nongkrong suka lupa (pulang). Pernah semua orang sudah pulang, tinggal kita berempat. Pegawainya pada batuk semua, ngasih kode, ha-ha,” cerita Reza.
Kalau enggak mau ”dikode”, datang saja ke Dim Sum Inc di kawasan Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan. Restoran ini buka 24 jam dengan tempat yang nyaman dan berlatar lagu disko elektronik, bukan dari pengamen seperti di Kemayoran.
Jadi, ngumpul di mana kita malam ini?