Siti Soraya Cassandra (29), sarjana psikologi lulusan University of Queensland, Australia, dan Universitas Indonesia, begitu antusias ketika berbagi pengetahuan tentang berkebun kepada sekelompok anak muda pada pelatihan berkebun di Kebun Kumara. Wajahnya berbinar-binar dan tampak sekali bahagia.
Tanpa merasa risih, kedua tangannya mengaduk-aduk kompos yang terdiri dari campuran dedaunan, serbuk kayu, plus kotoran unggas ketika menjelaskan cara membuat kompos. Suaminya, Dhira Narayana (30), juga sarjana psikologi alumnus Universitas Indonesia, sibuk mengangkut sampah organik yang akan dijadikan kompos. Seperti Cassandra yang biasa dipanggil Sandra, Dhira cekatan bekerja.
Memberi pelatihan menjadi tugas Sandra, sementara Dhira yang aktivis lingkungan mendapat tugas mengurus kebun dan riset. Pengelolaan Kebun Kumara, tempat mereka berkarya yang berada di Pulau Situ Gintung 3, Tangerang Selatan, dilakukan bersama adik Sandra dan suaminya. Adik Sandra, Siti Alia Ramadhani adalah dokter gigi alumnus UI. Suami Alia, Rendria Arsyan Labde, sarjana teknik mesin, juga alumnus UI. ”Kami sama-sama cinta pertanian,” ucap Sandra.
Kebun Kumara jadi tempat pelatihan. Awalnya belum banyak orang tahu tempat tersebut. Akibatnya, pendapatan yang mereka peroleh pun kecil. Jauh dibandingkan dengan gaji yang Sandra terima ketika bekerja di sebuah perusahaan. Adiknya lebih ”beruntung” punya pekerjaan sebagai dokter gigi. Namun, Sandra dan Dhira tidak mengeluh. Mereka telah bertekad menjadi petani sehingga, apa pun yang terjadi, mereka siap menghadapi.
Selain tak punya gaji, Sandra pun harus mengerjakan semua pekerjaan kasar sendiri. ”Setiap hari harus mengepel kantor. Belum lagi mengurus kebun, mengolah lahan untuk kebun sayur dan membersihkan kandang. Makanya, badanku jadi kurus,” tuturnya.
Karena tubuhnya kian kurus, ibunya sampai bertanya, ”Punya uang buat makan enggak?” Ibunya memang sempat keberatan ketika Sandra memutuskan beralih profesi dari orang kantoran yang kinclong menjadi petani.
”Bukannya saya menentang orangtua, tetapi saya lihat di keluargaku semua orang kantoran, enggak ada yang bisnis. Apalagi jadi petani. Orangtua mungkin khawatir saja dengan masa depanku,” kata Sandra menjelaskan.
Sadar orangtua ingin hidupnya stabil, Sandra menikah dulu. ”Kalau sudah menikah, aku jadi tanggung jawab suami, kan, he-he,” ujarnya menyambung pembicaraan. Dhira juga berniat menjadi petani dan orangtuanya tidak keberatan.
Berguru kepada petani
Tidak hanya Sandra yang mesti meyakinkan orangtua bahwa pilihan menjadi petani itu baik. Andhika Mahardika (30), sarjana teknik mesin alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, juga mengalaminya.
Ayah-ibu Andhika yang menjadi guru sebenarnya memberi kebebasan untuk memilih profesi. Namun, Andhika tahu mereka menyimpan keinginan anaknya juga menjadi guru.
Ketika Andhika selesai kuliah, ia memilih bekerja di sebuah perusahan multinasional dengan gaji dua digit. Namun, belakangan ia merasa tidak nyaman. ”Saya gelisah, kemudian keluar dari tempat kerja. Di tengah pencarian, saya ikut Indonesia Mengajar, ditugaskan di Aceh. Desa memberi saya kenikmatan dan membuat saya akhirnya memilih jadi petani,” tutur Andhika.
Sebelum memutuskan menjadi petani, ia berpikir cukup lama. ”Kegelisahan itu ternyata tak hanya aku yang mengalami. Banyak kawan mengalaminya juga,” kata Andhika.
Pada 2015, ia bersama Asri Saraswati (29), sarjana teknik kimia lulusan Universitas Teknologi Malaysia; Awaludin F Aryanto, lulusan Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta; dan Ari Hendra Lukmana, lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sepakat berkeliling Jawa dan Bali untuk mengunjungi sentra-sentra pertanian.
Kelompok kecil ini pada 2016 mendirikan Agradaya di Yogyakarta. Perusahaan itu bertujuan membangun desa lewat kerja sama dengan petani guna menerapkan pembangunan berkelanjutan. Andhika kemudian menikah dengan Asri. Bersama Awaludin dan Ari, mereka berguru langsung kepada para petani. Awaludin dan Ari belakangan mundur untuk pulang kampung.
Sama seperti para pendiri Kebun Kumara, Andhika dan Asri juga mengalami banyak tantangan. Di awal bekerja sebagai petani, Agradaya merugi karena upaya membantu petani menanam beras merah gagal. ”Tak mudah bekerja dengan petani, tetapi itu jadi pembelajaran,” ujar Asri yang berkomitmen tetap tinggal di desa yang telah memberi rasa nyaman.
Walau Andhika, Dhira, dan Sandra berkiprah di bidang pertanian, bidang pekerjaannya berbeda. Agradaya bekerja dengan petani, sedangkan Kebun Kumara memberi pendidikan tentang pertanian di kota.
Melihat kondisi masyarakat perkotaan, Dhira dan Rhendria, adik ipar Sandra, menyimpulkan, berkebun di kota harus berkait dengan bisnis. ”Mereka tidak tertarik melakukan jika tak menghasilkan uang,” kata Dhira.
Selain menumbuhkan kesadaran pentingnya menanam, mereka akan membuat kebun sayur organik. Mereka ingin menunjukkan bahwa, kalau mau, anak muda bisa menjadi petani di kota besar. (TRI)