Perjalanan untuk Mempererat Kebersamaan
Berjalan kaki mungkin merupakan cara konvensional untuk menempuh jarak 17 kilometer. Di zaman yang serba modern, kita bisa menggunakan berbagai macam alat transportasi, dari mulai sepeda, mobil sampai bus umum. Nah, yang unik dari siswa SMA PL Van Lith Muntilan adalah menggunakan cara tradisional untuk berjalan kaki sekaligus berziarah.
Sebelum mulai berjalan kaki, seluruh siswa bersiap mulai dari doa bersama hingga pemanasan untuk berjalan. Rute perjalanan dimulai dari Muntilan sampai ke Goa Maria Sendangsono, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh peserta berjalan melewati Desa Ngawen lurus hingga ke beberapa perkampungan.
Memang, untuk berjalan jauh, medan yang ditempuh tidak mudah. Kadang berbukit, tanah becek, jalanan aspal mulus. Tentunya, hal ini bukanlah hal gampang. Jalanan yang berbukit, naik turun, membuat kaki terasa berat. Ditambah pula dengan sambaran sinar matahari yang membuat cucuran keringat tak berhenti mengalir di wajah kami.
Sesekali, kami menyeka keringat. Lelah dan penat tentu tidak tertahankan bagi seluruh siswa, tidak terkecuali Grace Virgita, siswi SMA PL Van Lith Kelas XI MIA 2. Grace mengatakan, dirinya sangat antusias karena kegiatannya bersama-sama dengan teman tetapi sekaligus merasakan kepenatannya.
Saling membantu
Pertanyaan, ”Masih jauh enggak sih?” Semakin sering terdengar dari para siswa. Perjalanan selama empat jam sampai ke Sendangsono penuh dengan cerita. Di sinilah kekeluargaan kami teruji. Apabila ada teman yang ketinggalan, beberapa dari kami menunggui mereka.
Kebersamaan juga tercipta di antara siswa ketika di perjalanan. Meski berbeda kelas dan angkatan, kami menikmati perjalanan dengan caranya masing-masing. Kami saling menghibur dan membantu antarteman yang membutuhkan bantuan.
Tanpa membedakan ras, suku, dan jender, kami semua bersenda gurau agar dalam menempuh perjalanan 17 kilometer tidak terasa melelahkan. Bahkan, para guru yang ikut serta juga saling bercanda sehingga menambah keakraban antarwarga sekolah.
Kami mendapatkan banyak pengetahuan baru dan lebih mengenal lingkungan alam sekitar. Banyak ladang, sawah, hutan kami lewati dengan senang hati. Di perjalanan ini, kami mengenal bagaimana sikap warga di sana yang ramah-ramah.
Selain itu, kami belajar bagaimana cara berjalan kaki dengan membawa barang- barang di pundak yang membuat tenaga kami semakin terkuras. Kami berusaha untuk tidak memikirkan kapan kami segera tiba di Sendangsono. Jika memikirkannya, kami malah cenderung akan lebih lelah dan perjalanan menjadi terasa jauh serta membosankan.
Suasana dalam perjalanan cukup ramai, semangat mereka untuk melakukan perjalanan patut diacungi jempol. Tentu, bagi siswa-siswi kelas X dan beberapa guru yang baru bergabung dengan kami, menjadi pengalaman pertama yang pasti melelahkan.
Kami tiba di Gereja Promasan, Sendangsono, lebih cepat dari yang diperkirakan. Seluruh peserta bisa mencapai tujuan pada pukul 09.00. Dengan tibanya peserta yang lebih cepat dari perkiraan, kami menjadi memiliki banyak waktu luang untuk beristirahat.
Siswa kelas XI MIA 3 SMA PL Van Lith, Heribertus Indra, mengatakan, pemaknaan kembali perjalanan Romo Van Lith secara singkat. ”ZTA juga membuat saya dapat merefleksikan sikap semangat Romo Van Lith,” katanya.
Setelah seluruh rangkaian acara selesai, sebagian besar siswa kelas XII memilih pulang dengan berjalan kaki mengingat ZTA tahun ini merupakan ziarah yang terakhir bagi mereka.
Sementara itu, pendamping agama Katolik SMA PL Van Lith, Ignatius Galang Ananta, mengatakan, perjalanan ziarah ini merupakan peziarahan hidup. ”Ibarat jalan, kita mempunyai tujuan yang tentunya harus dipersiapkan menghadapi tantangan-tantangan. Kita semua juga punya teman seperjalanan. Merasakan lelah dan senang bersama,” kata Galang.
Dari perjalanan ini, kami berusaha untuk menjadi kuat, tidak mudah mengeluh, dan bangga memiliki tubuh yang sempurna. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan sekaligus tak terlupakan.