Trio Voice of Baceprot (VoB) membuka rangkaian festival selama tiga hari yang digelar di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, ini. Mereka main pertama, di hari pertama. Penonton memang belum terlalu banyak. Namun, begitu nada pertama mengentak, penonton berduyun-duyun mendatangi District Stage, panggung mereka kali itu.
Beberapa penontonnya berusia sebaya dengan Euis, Widi, dan Fierda, yaitu 16 dan 17 tahun, walau tak terlalu banyak. Lebih banyak lagi adalah mereka yang berumur 20-an sampai 30-an tahun. Orangtua yang mengajak anak kecil juga ada. Mereka mau menonton generasi termutakhir dari gelombang musik independen, yang mulai ramai berdenyut dua puluh tahunan lalu.
VoB memainkan musik metal yang cepat dan bising. Penyuka band macam Rage Against the Machine bakal betah menonton mereka. Sementara yang kurang cocok bisa beringsut ke panggung lainnya. Bebas saja.
Penyuka musik ska/punk bergeser ke Lake Stage karena rombongan dari Bandung, Don Lego, sedang bersiap-siap. ”Ayo maju ke depan, mumpung masih lengang,” ajak Denny Rumeko, kepada temannya, Rahmadania, dua penonton dari selatan Jakarta.
Mereka menggeser langkah berbarengan. Mereka datangnya memang bersama-sama, tetapi punya band jagoan masing-masing. Rahma ingin nonton Mocca, yang bakal main satu jam lagi setelah Don Lego bubar. Walau begitu, dua sahabat itu sama-sama menggoyangkan badan saat lagu ”We are Don Lego” dibawakan.
Don Lego tergolong band lama, dari dekade 2000-an. The Sigit, sesama dari Bandung, juga terbilang seangkatan, main di panggung Lake Stage, yang lebih besar. Ketika The Sigit yang beraliran rock n roll antik itu rampung, sebagian penontonnya bergeser ke Kimokal, yang bergaya elektro pop dan tergolong kelompok baru. Sementara penggemar rock garis keras geser menanti Navicula, unit grunge dari Bali.
”Gue milih nonton Kimokal walau awalnya enggak tahu apa-apa soal mereka, cuma ikut-ikutan doang. Terus dengar dia tampil itu keren parah! Worth it banget, deh, datang ke acara ini,” kata Dira, penonton yang sekolah di SMAK Penabur, Jakarta.
Wulan, siswi SMA Negeri 2 Jakarta juga merasakan pengalaman serupa. Ia berniat nonton band Naif, yang sudah lama dikenalnya. Namun, Wulan juga penasaran dengan band Payung Teduh.
”Ternyata gue suka banget sama mereka (Payung Teduh). Gue sampai bela-belain buka lirik lagu biar bisa nyanyi bareng karena kebawa suasana yang enak juga,” kata Wulan.
Pilihan bebas
Begitulah suasana festival musik berbeda genre dan lintas generasi itu. Beragam corak musik ada panggungnya, tentu ada penontonnya masing-masing, penggemar lama ataupun baru. Orang yang sama dengan selera beragam juga jadi punya banyak pilihan. Yang awalnya belum tahu, jadi suka setelah menonton langsung.
Arian 13, vokalis band Seringai, menggambarkan keberagaman itu secara tepat lewat istilah ”individu merdeka” dalam lagu ”Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)”, orang-orang yang bebas menentukan seleranya sendiri.
Seringai tampil dengan jadwal beririsan dengan band pop romantika Kla Project dengan panggung bersebelahan; tak terlalu jauh. Suara dari panggung sebelah terdengar sampai arena panggung Seringai. Ketika penonton usai bergejolak menyimak ”Amplifier Memanas”, sayup-sayup terdengar Kla Project sedang memainkan ”Tak Bisa ke Lain Hati”. Jadilah para penonton Seringai ikut menyanyikan penggalan lirik, ”…sungguhku akui, tak bisa ke lain hatiiii….”
Kla Project adalah salah satu band yang paling dinanti. Terbukti, ketika mereka tampil, penontonnya banyak banget, sampai susah merangsek mendekat panggung. Jarang-jarang Kla Project main di festival musik yang sebagian besar penontonnya juga menggemari Payung Teduh, Float, Mocca, dan Scaller.
Sepertinya memang begitu harapan penyelenggara, Demajors Music dan Dyandra Promosindo. Festival bentukan mereka memanggungkan kembali band terkenal pada masanya di masa kini ketika band-band baru muncul tak habis-habis.
Penyanyi folk/balada Ebiet G Ade, yang beken di era papa-mama masih pacaran, tetap dipadati penonton. Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch, setengah berlari mendekat ke panggung saat Om Ebiet memetik gitarnya dan menyanyikan ”Berita kepada Kawan”. Presiden RI Joko Widodo saja sampai komat-kamit mengikuti lirik lagunya.
Memanggungkan Om Ebiet pada masa-masa ini sepertinya memang tepat. Lagu-lagunya jadi panutan musisi folk yang sedang sering manggung sekarang, sebut saja Jason Ranti, Bin Idris, dan Silampukau. Ketiganya kini punya kelompok penggemar yang tak bisa dibilang sedikit. Jadi, wajar penampilan Om Ebiet begitu disesaki orang.
Pada panggung yang lebih kecil bernama Gigs Stage, main juga beberapa nama yang ”muncul” lagi. Kelompok pop psikadelik Ramayana Soul yang sempat vakum setahun lebih itu tampil makin mantap. Grup punk rock DOM 65 dari Yogyakarta, yang jarang banget main di Jakarta, juga disambut hangat.
Synchronize Fest adalah ”wajah” terkini gelombang musik independen atau indie. Jika dulu ”musik indie” masih jadi konsumsi orang-orang tertentu, kini pendengarnya makin lebar. Untuk menampungnya, penyelenggara memanggungkan 101 penampil di lima panggung berbeda selama tiga hari pula.
Efek Rumah Kaca (ERK) yang sepuluh tahun lalu menyindir band-band pop arus utama lewat ”Cinta Melulu” kini tak sendirian. Ribuan penggemarnya bernyanyi keras-keras pada setiap liriknya walau tanpa kehadiran sosok karismatis Cholil Mahmud. Karaoke massal ketika ERK tampil seolah jadi bukti bahwa pasar memang bisa diciptakan tanpa penyeragaman. Sampai jumpa tahun depan!