Argumentasi
Jangan Adu Domba
Nabila Shavira Rinzky, STP Trisakti, Program Studi D-4 Usaha Perjalanan Wisata 2016.
Saya pengguna aktif media sosial. Sebab, media sosial bukan hanya wadah untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, melainkan juga sarana aktualisasi diri. Sayangnya, saya sering kali menemukan posting-an yang tidak informatif, tapi malah provokatif. Parahnya informasi itu belum tentu benar.
Saya juga kerap menemukan posting-an yang mengada-ada dan membelokkan fakta. Hal seperti ini sering menimbulkan perpecahan. Saya pernah berpikir apakah media sosial sudah beralih fungsi menjadi sarana bagi orang-orang yang ingin menimbulkan perpecahan? Mirisnya, Banyak masyarakat yang ikut terprovokasi dengan berita hoaks ini dan saling menghujat.
Karena itu, saya setuju dengan Fatwa MUI tentang ketenteraman bermedia sosial. Saya juga setuju dengan keterlibatan MUI mengembalikan ketenteraman bermedia sosial karena banyak pihak yang mengatasnamakan agama dalam menyebarkan berita hoaks.
Kesadaran Pribadi
Betsy Yanuaringati, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya
Fatwa MUI ada benarnya. Sebab, hal-hal yang diharamkan oleh MUI terkait penggunaan media sosial sudah menjadi hal dasar yang diketahui semua orang, misalnya dilarang bergibah (gosip). Semua orang, meskipun tidak menggunakan media sosial, tahu bahwa bergibah itu dilarang dan berdosa.
Bukan bermaksud untuk menentang, tapi menurut saya saat ini sudah tidak efektif lagi mengatur seseorang melalui hati nurani atau kesadaran mereka. Akan lebih baik jika semua diatur berdasar hukum. Contoh sederhananya, daripada menuliskan ”Dilarang Parkir di Sini!”, akan lebih efektif menempatkan alarm tanda peringatan atau tanda bertuliskan sejumlah hukuman dan denda jika parkir di area yang dilarang. Begitu juga yang terjadi di media sosial. Untuk mendukung bahwa menyebar konten negatif di media sosial merupakan hal yang haram, akan lebih baik jika ada hukum yang berlaku dan diterapkan dengan sungguh-sungguh.
Ambil Positifnya, Buang Hoaksnya
Rofi Ali Majid, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta
Media sosial disebut-sebut menjadi pilar demokrasi kelima setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers. Masyarakat dapat aktif mengeluarkan ide, gagasan, serta berhak mengomentari apa saja yang ada di media sosial. Namun, media sosial juga bisa disalahgunakan, misalnya untuk menyebar hoaks. Akibatnya, masyarakat resah dan terganggu.
Sejumlah elemen turut berupaya menangkal penyebaran berita hoaks, seperti yang dilakukan Dewan Pers dengan memverifikasi media serta menerapkan sistem barcode. MUI pun turut andil dengan mengeluarkan fatwa ihwal bermedia sosial. Hal ini tentu akan berhasil, masyarakat akan ikut serta dalam upaya menangkal berita hoaks.
Mahasiswa tentu dapat membantu menangkal berita hoaks. Hal-hal kecil yang dapat dilakukan adalah tidak membagikan konten yang belum diketahui kebenarannya ke media sosial. (JAL)