Argumentasi
Sebagai pusat pengetahuan, kampus menjadi tempat paling baik untuk belajar. Dari kegiatan perkuliahan rutin, diskusi di pelataran, kegiatan sastra, atau beragam aktivitas ekstrakurikuler lainnya. Dari pagi hingga malam hari.
Ya, dunia malam hari di kampus juga menularkan banyak ilmu yang sebagian tidak didapatkan di ruang-ruang kelas. Namun, belakangan sebagian kampus melarang mahasiswa beraktivitas di kampus pada malam hari. Ini bikin mahasiswa harus menyelesaikan semua tugas, diskusi, dan kegiatan ekstrakurikuler pada siang hari saja.
Apa pengalaman paling menarik kalian saat beraktivitas di kampus pada malam hari? Seberapa besar pengaruh larangan berkegiatan di kampus malam itu terhadap kalian? Apa solusinya? Jika tak di kampus, di mana kalian berkegiatan pada malam hari?
Terpaksa di Restoran
Awallina Ilmiakhanza, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
Saya aktif di lembaga pers mahasiswa. Mulai rapat, diskusi, hingga mengejar deadline dilakukan pada malam hari. Ketika aturan ”jam malam” diberlakukan di kampus, tentu mahasiswa yang menolak, terutama yang mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM). Pembatasan jam kegiatan itu dianggap memangkas kreativitas mahasiswa.
Saya dan teman-teman bersikukuh berkegiatan pada malam hari terutama ketika diburu deadline untuk tabloid bulanan dan majalah. Tak jarang, redaktur, layouter, dan pemimpin redaksi menginap di ruang kesekretariatan atau yang biasa disebut sekre. Sampai-sampai di sekre ada lampu cadangan, bantal, selimut, sleeping bag untuk berjaga-jaga kalau pintu gerbang kampus dikunci dan kami tidak bisa pulang.
Yang membuat runyam, listrik dimatikan pihak kampus pada malam hari. Kalau sudah begitu, kami pindah ke tempat kos teman untuk menuntaskan deadline. Kadang, kami menumpang di restoran cepat saji di sekitar kampus yang buka 24 jam. Hal itu menjadi pengalaman dan tantangan tersendiri.
Banyak Tugas
Falis Istianah, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, Jawa Tengah
Sebagian mahasiswa tentu pernah beranggapan ”libur kuliah itu mitos”. Sebab, mahasiswa punya banyak tugas, seperti membuat makalah, menulis, mengikuti ekstrakurikuler, dan lain sebagainya. Itu semua tak mungkin bisa dikerjakan di ruang kuliah atau di rumah. Biasanya, sisa pekerjaan di kerjakan di kampus di mana pasti ada jaringan internet.
Kegiatan di kampus bisa sampai malam. Bisa dibayangkan jika mahasiswa dilarang bermalam di kampus. Kami pasti resah.
Kalau bisa menginap di kampus, mahasiswa bisa saling bertukar pengalaman bahkan belajar bersama. Sangat sulit belajar bersama dengan teman yang bukan sekelasnya. Di kampus sendiri banyak mahasiswa yang mengikuti unit kegiatan mahasiswa sering bermalam di kampus.
Mengungsi ke Rumah Warga
Susana Alkorisna, Mahasiswa Jurusan PGSD di STKIP St Paulus Ruteng
Pengalaman paling menarik saat beraktivitas malam hari di kampus adalah saat latihan koor persiapan Asistensi Paskah tahun 2016. Latihan itu diampu oleh Pater Piet Pedo Neo, SVD yang beberapa waktu lalu meninggal.
Ketika kampus tidak mengizinkan lagi latihan koor pada malam hari, kami berhenti latihan. Sebab, belum ada alternatif tempat untuk berlatih. Solusinya saat itu, seminggu menjelang hari-H kami latihan setiap hari. Siang hari setelah pulang kuliah latihan di kampus, lalu malam latihan di rumah seorang penduduk.
Letaknya cukup jauh dari kampus, butuh 20 menit berjalan kaki. Walau demikian, kami tetap semangat sebab ada keyakinan untuk menyukseskan kegiatan asistensi.
Diusir Dosen
Rindan Taufiqih, Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Mahasiswa memang sering kali berhadapan dengan peraturan kampus. Salah satunya soal pembatasan kegiatan pada malam hari. Alasannya antara lain agar mahasiswa tidak menjadi korban kejahatan, seperti pembegalan, penjambretan, dan curanmor. Namun, akibat kebijakan itu aktivitas mahasiswa di kampus menjadi terganggu.
Saya pernah mengalami ketika sedang mempersiapkan kegiatan di jurusan yang membutuhkan simulasi kegiatan sampai pukul 24.00. Kami diusir oleh salah seorang dosen jurusan. Semenjak kejadian itu, kami selaku mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan mesti tawar-menawar dengan dosen untuk menentukan batas waktu berkegiatan di kampus. Dari situ disepakati, batasnya sampai pukul 22.00. Setelah ”jam malam” tiba, biasanya kami melanjutkan diskusi di warung kopi.
Mahasiswa memang masih membutuhkan waktu sampai malam hari untuk mengembangkan kreativitas mereka. Pagi sampai siang, kan, kami kuliah.
Udara Malam di Kampus
Junior Ternama Siahaan, Mahasiswa Teknik Penerbangan, Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA) Yogyakarta
Suasana malam di kampus bagaikan pasar yang ramai pembeli. Selasar atau teras gedung kampusku seringkali penuh dengan mahasiswa yang asyik menatap layar laptop masing-masing. Jaringan internet gratis merupakan tujuan mahasiswa bergiatan di kampus selain rapat organisasi dan tugas kelompok.
Tapi ada jam malam di kampusku. Mahasiswa diijinkan berkegiatan malam hari hanya sampai pukul 23.00. Pernah diwaktu senggang, aku mencoba menyegarkan diri setelah seminggu digembleng tugas-tugas dengan men-streaming film. Jaringan lambat karena banyak pengguna dan klimaks dari alur filmnya belum muncul. Tiba-tiba Pak Satpam menyisir selasar kampus tempat aku menonton dan mengingatkan bahwa jam malam sudah tiba.
Akibat jam malam, bukan hanya saya yang kehilangan kesempatan menikmati film, tapi juga membuat rapat-rapat pengurus UKM (unit kegiatan mahasiswa) tidak berjalan efisien. Rapat mingguan PERS Mahasiswa yang saya ikuti, misalnya, terkadang harus reses dan dilanjutkan di hari selanjutnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Kami PERS Mahasiswa membuat rapat singkat pada saat jam istirahat siang hari untuk memperlancar sirkulasi berita yang akan dirilis.
Terlantar di Rumah Sendiri
Eka Rahmawati, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia
Cerita ini menjadi cerita pertama dalam sejarah kaderisasi himpunan di kampus kami Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Cerita tentang kegiatan kaderisasi yang terpaksa dilanjutkan di selasar masjid. Kaderisasi merupakan kegiatan yang selalu dilakukan oleh himpunan kami untuk memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang keorganisasian, kemahasiswaan, dan juga terkait bidang studi yang kami geluti. Kami selalu memilih tempat di dalam kampus, salah satunya Pusat Kegiatan Mahasiswa yang bisa diakses.
Namun, sekarnag ini kegiatan kami dibatasi jam malam oleh pengelola kampus. Kegiatan kami pun mesti pindah ke tempat lain. Sekitar pukul sebelas malam seluruh peserta, panitia, dan undangan kaderisasi mempersiapkan diri untuk pindah dari auditorium PKM menuju selasar masjid. Gerimis menemani langkah kami menuju masjid. Sebagian panitia masih sibuk di ruangan auditorium memindahkan barang dari dalam ruangan ke luar ruangan dan memisahkan barang yang bisa dibawa ke tempat baru. Peserta yang sakit pun terpaksa dipindahkan dari ruang PP untuk ikut ke selasar masjid.
Kesunyian selasar Masjid Al-Furqon meledak begitu saja oleh perdebatan puluhan mahasiswa dalam sebuah diskusi pemilihan ketua angkatan. Tidak ada pengeras suara karena sudah malam dan tidak ingin mengganggu warga masjid. Jadi kami saat itu tidak memakai pengeras suara, semuanya duduk merapat hanya sedikit jarak sebab suara-suara kurang begitu jelas. Ditambah tidak ada alas duduk atau karpet yang kami gunakan, kami hanya mengandalkan sajadah yang dibawa oleh peserta untuk diduduki. Sisanya para panitia dan undangan tidak memakai alas, langsung duduk di atas keramik yang dingin.
Berbeda sekali ketika melaksanakannya di auditorium PKM, ruangan yang tertutup. Kalau kita menggunakan gedung PKM, kami tidak akan kedinginan, suara terdengar akan jelas, penerangan memadai, dan tidak akan duduk di lantai. Gedung ini memiliki fasilitas cukup sebagai ruangan untuk berkegiatan mahasiswa, namun kini malah dibatasi. Bagaimana kalau kami masuk angin karena terlalu lama duduk di selasar masjid?
Gedung PKM-lah yang memang sesuai untuk melaksanakan kegiatan dan beberapa gedung lain di kampus. Namun semuanya memiliki masalah yang sama yaitu akses tidak 24 jam dengan kata lain malam hari tidak diperbolehkan ada kegiatan. Toh, kegiatan yang kami lakukan ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa bukan untuk main-main saja atau nongkrong-nongkrong yang tidak jelas sambil menghabiskan uang jajan. Kami sebagai penghuni pada cerita di atas, sangat sedih sekali jika kami ditelantarkan oleh kampus sendiri.
(jal)