Tegar Jadi Tersangka Penganiaya Satria hingga Tewas di STIP
Tegar memukul Putu Satria Ananta Rustika lima kali beruntun tanpa henti sehingga korban tak sadarkan diri.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hanya karena pakaian olahraga dan dianggap salah, seorang senior tega memukul yuniornya hingga berujung kematian. Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara pun menetapkan Tegar Rafi Sanjaya atau TRS (21) sebagai tersangka penganiayaan yang menyebabkan Putu Satria Ananta Rustika (19) meninggal.
Putu, siswa taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Cilincing, Jakarta Utara, meninggal akibat dianiaya seniornya di toilet sekolah mereka, Jumat (3/5/2024).
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan dalam keterangan resminya mengatakan, setelah pemeriksaan sebanyak 36 saksi, termasuk siswa taruna STIP, kamera pemantau (CCTV), serta pendalaman kasus selama 24 jam sejak laporan masuk ke kepolisian dari pihak keluarga korban, pihaknya telah menetapkan satu orang sebagai tersangka, berinisial TRS.
”TRS taruna STIP Cilincing tingkat 2 (tahun kedua), korban Putu tingkat 1. Pelaku tunggal yang melakukan aksi ini. Kami menyimpulkan setelah melakukan sinkronisasi data yang ada dan hasilnya mengerucut pada tersangka ini,” ujar Gidion, saat dikonfirmasi, Minggu (5/5/2024).
Motif TRS menganiaya korban sebagai tradisi penindakan taruna senior kepada taruna yunior yang melakukan kesalahan dengan menggunakan pakaian olahraga saat masuk ke dalam kelas. Menurut para senior, hal tersebut salah. Atas kesalahan itu, para taruna senior menindak taruna yuniornya. Adapun tindak kekerasan berujung kematian korban terjadi pada pukul 07.55 WIB.
”Penindakan ini dilakukan dengan aksi represif atau aksi kekerasan yang menyebabkan kematian pada korban,” ujar Gidion.
Dari hasil pemeriksaan, Putu tidak sendiri saat berada di toilet sekolah. Ada empat rekan lainnya yang diajak juga ke toilet lantai dua untuk mendapatkan hukuman oleh empat taruna senior. Saat di toilet, tersangka lalu menyampaikan, ”Mana yang paling kuat.”
”Saya yang paling kuat,” kata Gidion menggambarkan jawaban Putu sesaat sebelum kejadian pada Jumat pagi lalu.
Menurut Gidion, Putu merasa harus memberanikan diri menjawab karena dia adalah ketua kelompok dari komunitas atau taruna dari tingkat 1. Putu pun mendapatkan tindakan kekerasan oleh tersangka dengan tangan kosong.
Meski sudah berbaris, empat rekan Putu beruntung belum sempat mendapatkan tindakan kekerasan karena Putu kehilangan kesadaran dari pukulan seniornya itu. Putu yang tidak sadarkan diri pun langsung mendapatkan pertolongan dan dibawa ke salah satu kelas di sebelah kamar mandi.
”Menurut tersangka, ia memasukkan tangan di mulut (korban) untuk menarik lidahnya. Tapi itu justru menutup saluran (pernapasan), korban meninggal. Setelah melihat korban tidak berdaya sehingga panik, kemudian dilaksanakan upaya penyelamatan tadi, yang kemudian tidak sesuai dengan prosedur,” kata Gidion.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Hady Saputra Siagian melanjutkan, dari tindakan pemukulan itu, Putu mengalami sejumlah luka.
Hasil otopsi korban memperlihatkan adanya luka dan pendarahan di bagian dada atau sekitar ulu hati serta luka lecet di bagian mulut. Selain itu, ada sisa makanan yang naik ke atas akibat tersangka berusaha menarik lidah korban.
”Menarik lidah (korban) sehingga organ pernapasan atau oksigen tertutup, oksigen itu tidak masuk. TRS memukul korban sebanyak lima kali secara beruntun tanpa henti (di bagian ulu hati). Posisi (korban) berdiri (saat dipukul),” kata Hady yang mempersilakan kepada siapa pun, khususnya taruna yunior, jika pernah mendapatkan tindakan kekerasan untuk melapor.
Tindakan kekerasan itu, menurut saya, sangat tidak boleh dan berakibat fatal.
Akibat perbuatannya, TRS dikenai Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto subsider Pasal 351 Ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Empat taruna senior yang ikut masuk ke dalam kamar mandi akan diserahkan kepada pihak sekolah terkait pelanggaran disiplin. Kepolisian fokus pada pengungkapan kasus dan hukuman dari satu pelaku atau tersangka yang telah terbukti menganiaya hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut Gidion, kejadian kekerasan di lingkungan sekolah sehingga menyebabkan korban ini menjadi pembelajaran bagi lembaga pendidikan di Indonesia agar jangan sampai terulang lagi. ”Tindakan kekerasan itu, menurut saya, sangat tidak boleh dan berakibat fatal,” ujarnya.
Tumbur Aritonang, kuasa hukum keluarga Putu, mengatakan, pihak keluarga sangat menyesalkan kejadian kekerasan di lingkungan pendidikan. Kekerasan di lingkungan pendidikan bukan pertama kali terjadi di STIP, tetapi juga di sekolah atau kampus lainnya.
”Kita berharap tidak ada yang terjadi lagi. Jangan sampai ada korban lagi,” ujarnya.
Pihak keluarga, kata Tumbur, meski pihak kampus sudah mengucapkan duka, masih menunggu tindak lanjut pertanggungjawaban dan evaluasi dari kejadian kekerasan di lingkungan kampus.