Kebakaran Mampang Prapatan dan Kisah Pilu yang Terus Berulang di Jakarta
Setiap hari terjadi 1-2 kebakaran di Jakarta. Kota metropolitan wajib punya rencana induk sistem proteksi kebakaran.
Oleh
RHAMA PURNA JATI, AGUIDO ADRI, ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·4 menit baca
Kebakaran di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, menjadi kisah pilu dari kurangnya mitigasi bencana di tengah hiruk-pikuk warga perkotaan. Minimnya standar keselamatan di tempat usaha berujung memakan korban tewas.
Camat Mampang Prapatan Ujang Hermawan mengatakan, kebakaran kali ini sungguh memilukan. Selain berada di tengah kota, korban tewas pun terbilang sangat banyak. ”Kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih mewaspadai bahaya kebakaran,” katanya.
Kebakaran toko usaha bingkai ”Saudara” di Mampang Prapatan ini menyebabkan tewasnya Thang Tjiman (75), Heni (39), Richie (2), Austin (8), Tiara (24), Shella, dan satu perempuan belum diketahui identitasnya. Thang, Heni, Richie, dan Austin merupakan satu keluarga yang juga pemilik usaha. Adapun Tiara, Shella, dan satu korban lagi adalah asisten rumah tangga keluarga Thang.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian, yakni ketersediaan alat pemadam api ringan yang kurang memadai sehingga ketika terjadi ledakan api tidak langsung tertangani. Apalagi tempat usaha ini menyimpan barang yang mudah terbakar, seperti tiner dan cat. Indikasi awal, jelas Ujang, kebakaran disebabkan oleh ledakan kompresor atau bensin yang tersulut api.
Hal yang tidak kalah penting adalah ketersediaan jalur evakuasi. Sebenarnya setiap bangunan harus memiliki jalur evakuasi sebagai tempat bagi penghuni untuk mengevakuasi diri. Namun, pada kenyataannya, bangunan tersebut belum memiliki tempat evakuasi yang memadai.
Bangunan yang terbakar berdempetan dengan bangunan lain. Satu-satunya ruang evakuasi adalah melalui pintu depan. ”Situasi ini tentu akan jadi bahan evaluasi terutama bagi para pemilik usaha,” kata Ujang.
Kebakaran yang menghanguskan tempat usaha sekaligus nyawa pemiliknya juga pernah terjadi di perkampungan industri kecil Kelurahan Penggilingan, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, Minggu (4/2/2024).
Musibah kebakaran itu menghanguskan sebuah tempat usaha konfeksi dan menelan empat korban jiwa yang semuanya adalah satu keluarga.
Jakarta harus punya rencana induk sistem proteksi kebakaran.
Kepala Seksi Operasional Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Timur Gatot Sulaeman mengatakan, penyebab kebakaran diduga akibat korsleting. ”Ada tujuh penghuni ruko konfeksi tersebut. Empat orang di antaranya meninggal dalam kebakaran, sementara tiga lainnya selamat,” kata Gatot.
Pengurus Bidang V Pengembangan Penyelenggaraan Jasa dan Usaha Sektor Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Manlian RA Simanjuntak menilai, saat ini Pemerintah Provinsi DKI belum memiliki sistem proteksi kebakaran yang menyeluruh.
”Jakarta harus punya rencana induk sistem proteksi kebakaran supaya ada perencanaan dan strategi penanggulangan kebakaran,” kata Manlian.
Rencana induk sistem proteksi kebakaran penting untuk memitigasi risiko kebakaran, dari terendah hingga tertinggi, di permukiman Ibu Kota.
Manlian menyebutkan, rencana induk sistem proteksi kebakaran dapat membuat penataan tata ruang yang lebih baik. Namun, sistem ini tetap perlu strategi pendamping berupa edukasi penggunaan material tahan api. Selain itu, diperlukan juga penyediaan tempat penampungan atau kawasan baru bagi korban kebakaran.
Di sisi lain, bangunan pribadi seperti rumah disarankan memiliki alat pemadam kebakaran (apar) sendiri. Setiap rumah memang disarankan memiliki apar. Alat ini bisa dimanfaatkan untuk memadamkan api tingkat kecil hingga sedang.
Biasanya, alat yang digunakan berbentuk tabung. Berat tabung berkisar 1-9 kilogram. Setiap orang juga wajib diajarkan cara menggunakan alat tersebut. Tujuannya agar bisa melakukan pemadaman api ketika terjadi kebakaran di rumah atau lingkungannya.
Bangunan yang memiliki luas minimal 50 meter persegi, seperti sekolah, toko, ruko, dan lainnya, sebenarnya diharuskan memiliki alat pemadam kebakaran yang lebih besar ketimbang di perumahan.
Hal itu karena luas bangunan yang dimiliki mempunyai risiko lebih besar ketimbang rumah. Jadi, selain harus menyediakan apar di setiap ruangan, juga harus menyediakan APAB (alat pemadam api berat). Alat ini biasanya berbentuk tabung, dengan berat 20-100 kg. APAB biasanya diletakkan dalam troli yang memiliki roda agar mudah dipindahkan dan digunakan.
Alat lain yang dianjurkan dimiliki ialah sensor asap atau smoke detector. Alat ini bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan asap. Jika ada asap yang terdeteksi, alarm akan berbunyi. Alat ini pun bisa disambungkan ke ponsel. Jadi, ketika terdeteksi asap, ponsel yang disambungkan akan memberikan notifikasi kepada pemiliknya.
Selain sensor asap, ada juga sensor panas. Sensor ini memanfaatkan suhu ruangan. Jika suhu ruangan terlalu panas, alarm akan berbunyi. Adapun sensor asap ataupun panas yang digunakan dalam bangunan biasanya dilengkapi alat pemadam otomatis.
Mitigasi ini dianggap perlu karena sepanjang tahun 2024 (sebelum kasus Mampang Prapatan), tercatat terjadi 464 peristiwa kebakaran atau setara 1-2 kali kebakaran setiap hari. Setidaknya enam warga tewas (di luar kasus Mampang Prapatan), 27 orang luka-luka, dan 545 keluarga atau 1.605 orang terdampak, serta kerugian sebesar Rp 111,88 miliar. Amuk api ini paling banyak dipicu masalah kelistrikan dengan jumlah mencapai 320 kejadian.
Dalam kurun 2019-2023, terjadi 9.200 kebakaran di Jakarta. Dari insiden tersebut, 142 warga tewas, 463 orang lainnya luka-luka, dan 15.636 keluarga atau 55.031 jiwa terdampak, serta kerugian sebesar Rp 1,3 triliun. Masalah kelistrikan, seperti korsleting atau hubungan pendek arus listrik, menjadi pemicu utama dengan 5.501 kejadian (Kompas, 13/4/2024).
Kejadian kebakaran yang terus berulang harus dijadikan pelajaran untuk berbenah.