Menikmati Nyamannya Trotoar di Hong Kong
Trotoar yang nyaman membuat banyak warga Hong Kong mengaksesnya. Situasi berbeda dengan Jakarta.
Ada perbedaan mencolok ketika jalan-jalan di trotoar Kota Hong Kong dan Jakarta. Tak ada sepeda motor yang lalu lalang atau pedagang yang berjualan di atas trotoar. Tidak ingin membandingkan, tetapi hanya memberikan gambaran.
Rabu (28/3/2024) malam, perut tiba-tiba keroncongan, saya pun berinisiatif keluar hotel untuk mencari makan. Dengan mengandalkan peta pada aplikasi Google, saya menjelajahi area Taikoo Shing yang merupakan lokasi hotel saya menginap.
Taikoo Shing terletak di bagian timur Hong Kong. Kawasan ini merupakan permukiman padat penduduk untuk warga kelas menengah-atas. Sejumlah apartemen menjulang tinggi berjejeran dengan hotel, pusat perbelanjaan, dan gedung perkantoran.
Walau telah larut, situasi lalu lintas di kota itu masih cukup ramai. Terutama angkutan kota, seperti taksi dan bus yang masih giat mengangkut penumpang. Pejalan kaki tak kalah banyak.
Baca juga: Membenahi Trotoar, Mengungkit Okupansi Angkutan Massal
Saya mencoba untuk menembus keramaian kota dengan menyusuri trotoar. Trotar yang sebenarnya hampir sama dengan Jakarta terutama di kawasan Sudirman. Lebar trotoar mencapai 3 meter dengan batu berwarna abu-abu.
Namun, ada perbedaan mendasar yang mungkin belum ada di Jakarta. Di Hong Kong, tak ada satu pun kendaraan bermotor yang berani melintas di atas trotoar. Alhasil, pejalan kaki bisa ”hidup” tenang di Hong Kong.
Saya berpikir, mungkin ketertiban ini hanya ada di kawasan elite. Kemudian, saya berjalan ke kawasan Central, Hong Kong dan Distrik Kowloon Barat. Semua sama, tidak ada satu pun kendaraan ataupun pedagang yang mengokupasi trotoar.
Tak heran, pejalan kaki di Hong Kong bisa melenggang bebas di ”area kekuasaannya”. Ada yang berjalan santai, ada pula yang memburu waktu dengan berjalan begitu cepat.
Kecepatan mereka hanya bisa dihentikan ketika lampu merah untuk pejalan kaki menyala. Meski tidak ada kendaraan yang melintas, mereka tidak akan beranjak sampai lampu itu padam dan berganti hijau. Dalam benak berpikir, betapa tertibnya mereka.
Antara pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor sepertinya sudah saling mengerti dan menghormati. Pikiran skeptis pun menyeruak, ah mungkin hanya di Taikoo Shing saja suasana yang seperti ini.
Itulah sebabnya saya beranjak ke titik terpadat di Kota Hong Kong, yakni kawasan Central yang berjarak 12 kilometer dari Taikoo Shin.
Setali tiga uang, tidak ada satu pun kendaraan bermotor yang berani melintas di trotoar. Pejalan kaki bebas bergerak tanpa halangan. Begitu pun pulau seberang Hong Kong, yakni di Kowloon Barat. Di sana pun, pejalan kaki juga bisa menikmati haknya dengan tenang.
Baca juga: Perlu Rencana Induk untuk Jaga Standar Kualitas Trotoar Perkotaan
Kondisi inilah yang membuat warga kota Hong Kong, Enid Wong, memilih untuk menggunakan sarana moda transportasi umum dibanding menggunakan kendaraan pribadi.
”Semua fasilitas sudah tersedia rute kereta pun sudah terhubung dengan kawasan pinggiran kota,” katanya.
Setiap hari ia hanya berjalan sekitar 500 meter ke stasiun dan menggunakan MTR sebuah sistem transportasi dalam kota berbasis kereta.
”Walau dari kantor ke rumah butuh waktu satu jam, cara itu (menggunakan angkutan umum) jauh lebih efisien,” kata Enid.
Direktur Urusan Eksternal Otoritas Distrik Kebudayaan Kowloon Barat Kenneth Ng mengatakan, menyediakan fasilitas publik termasuk area bagi pejalan kaki menjadi prioritas. Di kawasan Kowloon Barat, misalnya, dari 40 hektar lahan reklamasi untuk lokasi sejumlah sarana perkantoran, kebudayaan, dan pendidikan, sekitar 23 hektar dialokasikan untuk area terbuka publik.
Bahkan, disediakan juga jalur pejalan kaki sepanjang 2 kilometer dengan lebar 20 meter yang berbatasan langsung dengan Pelabuhan Victoria.
”Fasilitas ini kami berikan agar lebih banyak lagi wisatawan baik lokal maupun internasional berdatangan ke Kowloon Barat,” kata Kenneth Ng.
Berbeda situasi
Kondisi ini sedikit berbeda dengan kota Jakarta yang di banyak titik trotoarnya kerap dijajah kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima. Hanya beberapa titik saja yang sudah tertib seperti di sepanjang kawasan Sudirman-Thamrin dan Kawasan Kota Tua.
Kondisi inilah yang membuat warga Jakarta masih enggan menggunakan kendaraan umum. Yeski Kelsederi (30), warga Pancoran, Jakarta Selatan, misalnya, lebih sering menggunakan kendaraan pribadi lantaran fasilitas angkutan umum dan trotoar yang kurang memadai.
Dia pun agak takut menggunakan trotoar karena banyak kendaraan bermotor yang jalan di atas trotoar untuk menghindari kemacetan.
”Selama kebiasaan itu belum hilang, sulit untuk membuat warga beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum,” kata Yeski.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, penggunaan sepeda motor masih mendominasi. Dari 88 juta perjalanan per hari, penggunaan sepeda motor mencapai 68,3 persen. Adapun pengguna kendaraan umum masih sekitar 18,45 persen. Ketimpangan ini membuat permasalahan lalu lintas, terutama kemacetan, masih terjadi.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi Perhubungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Susilo Dewanto memaparkan, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 8, untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif, efisien, lancar, dan terintegrasi harus memenuhi target 60 persen perjalanan penduduk menggunakan sarana kendaraan umum.
Jika fasilitas pendukung tidak nyaman, bagaimana warga mau beralih ke angkutan umum?
Namun, dalam pelaksanaannya, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti permukiman penduduk dan antarmoda angkutan massal yang belum terintegrasi. Saat ini, pembangunan masih berpihak pada penggunaan kendaraan pribadi dan jalan tol.
Di sisi lain, harga rumah di tengah kota juga kian tinggi sehingga banyak warga tinggal di pinggiran kota yang tentu akan berdampak pada meningkatnya biaya transportasi.
”Mobilitas terbatas karena sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan kondisi lalu lintas. Akibatnya, kemacetan lalu lintas masih saja terjadi, juga ketidaksetaraan dan degradasi lingkungan,” ucapnya.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan cakupan angkutan umum, di antaranya dengan meningkatkan jumlah angkutan umum. Ia mencontohkan, total bus Transjakarta kini sebanyak 4.543 unit. Jumlah subsidi pelayanan Transjakarta bertambah dari Rp 663 miliar (2015) menjadi Rp 3,2 triliun (2023).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga berpendapat, upaya peningkatan minat warga untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum tidak cukup hanya penambahan jumlah angkutan, tetapi juga optimalisasi sarana pendukungnya. Misalnya, pembangunan trotoar yang ramah pejalan kaki.
”Jika fasilitas pendukung tidak nyaman, bagaimana warga mau beralih ke angkutan umum?” ucapnya.
Nirwono mencontohkan kawasan Sudirman-Thamrin yang memiliki trotoar, jembatan penyeberangan orang, dan halte yang baik. Itu tidak lepas dari terintegrasinya moda transportasi umum, baik LRT, MRT, KRL, maupun BRT Transjakarta. Sayangnya, fasilitas umum di pusat kota belum merata hingga pinggiran Jakarta.
Beragam upaya untuk mendongkrak minat masyarakat menggunakan angkutan umum harus dilakukan cermat dan cepat. Dengan harapan, mobilitas warga tidak terganggu akibat gagalnya sistem angkutan di Jakarta.
Semoga kondisi trotoar di Jakarta bisa sebaik kondisi trotoar di Hong Kong. Untuk itu, peran semua pihak sangat dibutuhkan. Jakarta pasti bisa.