Tali Karmantel Jadi Instrumen Penting Pemecah Misteri Aksi Bunuh Diri
Tali karmantel bisa menguak kemungkinan tindak pidana di balik aksi terjun bersama di Penjaringan, Jakarta Utara.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tali karmantel yang digunakan keempat korban sebagai pengikat satu sama lain sebelum melompat dari lantai 21 apartemen Teluk Intan Penjaringan, Jakarta Utara, menjadi satu-satunya instrumen yang bisa menguak inisiator di balik aksi terjun bersama ini. Hal itu karena tidak ada satu pesan pun atau jejak digital yang ditinggalkan korban sebelum melakukan aksinya itu.
Seperti diberitakan sebelumnya, empat orang yang merupakan satu keluarga ditemukan tewas setelah melompat dari lantai 21 Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka yang tewas adalah EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15).
Polisi pun menyelidiki kemungkinan adanya tindak pidana di balik aksi ini. ”Kami masih menunggu hasil pemeriksaan DNA dari Tim Laboratorium Forensik untuk memastikan apakah di tali tersebut hanya ada DNA keempat korban atau ada DNA orang lain,” kata Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan, Senin (18/3/2024).
Untuk membuat kasus ini lebih terang, sampai saat ini, polisi sudah memeriksa 12 saksi. Mereka adalah orang yang ada di sekitar apartemen ketika kejadian berlangsung dan keluarga terdekatnya, baik yang tinggal di Jakarta maupun di Riau. Olah tempat kejadian perkara pun dilakukan hingga tiga kali untuk memperkuat alat bukti.
Tidak hanya itu, sejumlah saksi ahli pun dilibatkan untuk menguak apakah ada tindak pidana di balik aksi ini. ”Kami melibatkan ahli forensik, psikologi forensik, dan ahli kinetis untuk menyelidiki kasus ini. Karena memang kami mengedepankan scientific investigation (investigasi ilmiah) untuk menuntaskan kasus ini,” kata Gidion.
Karena sampai saat ini, polisi masih kesulitan untuk menguak apakah ada tindak pidana di dalam aksi terjun bersama ini. Itu karena tidak ada satu pesan pun yang ditinggalkan oleh keempat korban, baik di sekitar lokasi kejadian maupun di media sosial.
”Telepon genggam yang digunakan keempat korban juga sudah hancur. Media sosialnya pun sudah lama tidak digunakan,” katanya.
Gidion menuturkan, sebelum melakukan aksi lompat bersama di apartemen, keempat korban ini sempat menginap satu malam di sebuah hotel. Untuk tiba ke apartemen mereka menumpangi taksi daring.
Ketika menumpangi taksi daring, keluarga ini sempat singgah untuk makan sebelum berangkat ke apartemen.
”Dari pemeriksaan obrolan dari pengemudi taksi daring, semua natural tidak ada raut kecemasan,” kata Gidion.
Begitu pun hasil pemeriksaan di lingkaran keluarganya, tidak banyak informasi yang bisa diulik. Kalaupun ada, itu sifatnya subyektif.
Itu karena sudah dua tahun keempat korban tidak berkomunikasi dengan keluarga besarnya. ”Korban memang dikenal sangat tertutup dengan keluarga besar,” katanya.
Gidion membenarkan bahwa keempat korban ini sempat tinggal di Surakarta, Jawa Tengah. Namun hingga kini, pihaknya belum mengetahui pasti alamat persisnya. Informasi dari kedua anaknya pun minim karena mereka sudah putus sekolah sejak satu tahun yang lalu.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Hady Siagian menuturkan, dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa EA sempat membuka usaha kapal ikan. Pada masa pandemi, usahanya itu bangkrut. Itulah yang membuat perekonomian keluarganya menjadi tidak stabil. Namun, dirinya belum bisa memastikan apakah masalah ekonomi menjadi alasan bunuh diri.
Karena itu, penyelidikan dilakukan sedetail mungkin, bahkan sampai pada cara korban jatuh. ”Ada perbedaan orang yang jatuh karena didorong atau jatuh karena melompat. Karena itu, kami melibatkan ahli kinetis,” ujar Hady.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, berpendapat aksi ini tidak bisa disimpulkan sebagai aksi bunuh diri. Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama) jika penyidik bisa memastikan bahwa pada setiap orang tersebut bersepakat untuk melakukan bunuh diri secara bersama-sama (konsensual).
Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat untuk melakukan bunuh diri bersama-sama serta-merta gugur. ”Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri,” kata Reza.
Sama halnya dalam kasus kekerasan seksual, dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu diposisikan sebagai individu yang tidak ingin atau tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual. ”Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Sebaliknya, anak-anak secara otomatis berstatus sebagai korban,” ujarnya.
Begitu pun dengan kasus bunuh diri. Terlepas apakah dua anak pada peristiwa itu setuju atau tidak setuju melakukan aksi keji itu, sekali lagi, secara hukum anak harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.
”Dengan begitu, aksi terjun bebas itu mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (persetujuan bersama),” ujar Reza.