Jelang Ramadhan, Pedagang Kurma Tanah Abang Raup ”Cuan”
Penjualan kurma mulai meningkat dibandingkan hari biasa. Ramadhan jadi momen pedagang di Tanah Abang meraih ”cuan”.
Senyum Elawati (52) mengembang saat seorang pembeli memasuki area dagangannya di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (8/3/2024) siang. Dengan semangat, ia menjelaskan belasan jenis kurma yang berjejeran di lapaknya.
Buah manis berwarna coklat dengan daging yang cukup tebal itu pun berhasil masuk kantong pembeli. Elawati merasa lega saat stok kurma yang dibawanya perlahan mulai berkurang.
Padagang lama yang telah berjualan sejak awal tahun 2000-an itu menyebut ada kenaikan penjualan menjelang Ramadhan. Kendati demikian, tokonya belum seramai momen Ramadhan tahun lalu.
”Sekarang dalam sehari bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 10 juta. Adapun pada hari biasa tak sampai setengahnya,” ujarnya.
Saat ini, Elawati hanya mengandalkan penjualan di tokonya. Ia belum mencoba berjualan secara daring di lokapasar atau marketplace.
Untuk tetap bertahan, perempuan asal Cirebon ini menjalin relasi dengan sejumlah pelanggannya. Bahkan, ada yang dari belasan tahun menjadi pelanggan tetap.
”Ini kemarin ada yang membeli kurma ajwa premium puluhan boks. Katanya untuk dibagikan ke kerabat. Dia pelanggan tetap di sini saat bulan Ramadhan,” ucap Elawati.
Ramadhan tahun lalu, Elawati mendapatkan omzet Rp 500 juta lebih dalam satu bulan. Ia pun berharap bisa memperoleh kembali pundi-pundi rupiah yang setara. Ia juga tengah menunggu seorang langganan yang akan membeli ratusan boks kurma untuk dibagikan kepada karyawannya.
”Biasanya dia belinya yang mahal. Yang Rp 300.000,” ujarnya.
Lihat juga: Harapan Penjual Kurma Jelang Ramadhan
Tak jauh dari lapak Elawati, pedagang kurma lainnya, Jacob (27), tengah terduduk lesu menanti kunjungan pelanggan.
Jacob menjual aneka kurma dari harga Rp 60.000 per kilogram (kg) hingga Rp 300.000 per kg. Jenis kurma yang dijual antara lain sukari, ajwa, tunisia, dan Palm Fruit.
”Kadang ramai, tetapi kadang enggak. Namun, kalau dibandingkan dengan hari biasa, ya, lebih banyak pembelinya,” katanya.
Akhir-akhir ini, Jacob juga kerap mendapatkan pertanyaan mengenai keberadaan produk kurma dengan merek Israel dari para pembeli. Hal ini seiring adanya ajakan boikot kurma Israel yang menggema sejak beberapa hari yang lalu.
”Kalau di sini enggak ada produk kurma dari Israel. Adanya kurma dari Mesir, Madinah, Iran, sama Tunisia, dan Palestina,” ujar Jacob.
Pertanyaan pelanggan
Pedagang kurma di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga mengaku dibanjiri pertanyaan dari pelanggan untuk memastikan kurma yang dijual bukan berasal dari Israel. Adapun Israel sendiri termasuk pengekspor kurma medjool terbesar di dunia dan dipasarkan secara masif pada bulan Ramadhan.
”Saya sudah tidak menjual kurma Israel karena pelanggan juga tidak mau. Untungnya, tidak ada dampak penjualan karena masih banyak merek lain yang jauh lebih enak,” kata Adnan (42), seorang pedagang kurma di Pasar Tanah Abang.
Adnan menjual 15 jenis kurma. Ia juga selalu menjelaskan jenis dan merek kurma kepada setiap pembeli.
Lihat juga: Puncak Penjualan Kurma di Tanah Abang saat Bulan Ramadhan
Ia menyebut, kebanyakan kurma yang dipasok di Tanah Abang berasal dari Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Amerika Serikat (AS), dan Afrika. Merek kurma yang dijual mulai dari Palm Tunis, Khalas Barari, Palm Fruit, Rehab Alfursan, hingga Ajwa Al-Madina.
Harga kurma termurah Rp 25.000 sampai Rp 35.000 per kg untuk kurma jenis Mesir. Adapun kurma paling mahal ialah jenis ajwa dengan harga mencapai Rp 350.000 per kg.
Jelang Ramadhan ini, Adnan mengalami peningkatan omzet hingga 40 persen. Ia pun mengimbau pembeli untuk segera berbelanja kurma dari sekarang. Sebab, saat menjelang Lebaran nanti, harga kurma biasanya naik.
Demikian pula yang dirasakan Yusuf (48). Ia mengaku sudah mulai banyak permintaan untuk Ramadhan ini. Pembeli yang datang ke tokonya melonjak hingga dua kali lipat dengan rata-rata omzet Rp 30 juta per hari.
”Namun, kalau dibanding Ramadhan tahun lalu, masih kalah karena omzet sehari bisa mencapai Rp 40 juta lebih. Mungkin sekarang kebanyakan pembeli suka belanja daring karena harganya lebih murah dan hemat ongkos,” tutur Yusuf.
Baca juga: Ramadhan 2021, Harapan Pedagang Kurma Lunasi Utang Paceklik Tahun Lalu
Yusuf pun mengaku bingung soal harga murah yang ditawarkan oleh para pedagang di lokapasar, terlebih live shopping di salah satu marketplace.
”Saya heran kenapa bisa menjual kurma di bawah modal kita. Misal kita jual Rp 60.000, tetapi dia bisa jualnya cuma Rp 40.000. Apa ada subsidi atau bagaimana, saya tidak tahu,” katanya.
Meskipun begitu, Yusuf berkeinginan terjun ke dunia bisnis daring untuk mengumpulkan lebih banyak pelanggan. Ia sadar bahwa pedagang memang harus melek digitalisasi.
Neneng (25), seorang penjaga toko kurma di Tanah Abang, juga menyebut hampir tiap hari tokonya menerima pesanan kurma dalam jumlah banyak. Orderan bahkan datang dari luar pulau dan luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.
”Selain berjualan di toko, kami juga berjualan secara daring di Shopee dan Tokopedia,” ujar Neneng.
Ramainya pembeli kurma di Pasar Tanah Abang sudah dirasakan sejumlah pedagang sejak satu minggu terakhir. Pembeli umumnya membeli kurma untuk persediaan saat puasa.
Kurma yang dibeli juga bukan hanya untuk dikonsumsi pribadi. Ada juga pembeli yang memborong kurma untuk dijual lagi. Ada pula yang membelinya sebagai buah tangan atau bingkisan kepada kerabat terdekat.
Seperti halnya Ira (34), seorang pembeli kurma. Ia selalu membeli kurma setiap menjelang Ramadan. Warga asal Jakarta Pusat itu membeli kurma jenis sukkari di Pasar Tanah Abang sebanyak 3 kg dengan harga Rp 180.000.
”Untuk persediaan satu bulan selama bulan Ramadhan. Besok kalau habis beli lagi,” tutur Ira.
Sementara Nazifah (30) membeli kurma sebanyak 6 kg atau 6 dus. Kurma itu menurut rencana akan dibagikan kepada keluarganya sebagai bingkisan di bulan Ramadhan.
”Saya pilih kurma ajwa, 1 kilonya dapat harga Rp 150.000. Kebetulan lagi lewat Pasar Tanah Abang. Sekalian mampir, soalnya di sini pilihannya lebih banyak,” ujar perempuan asal Jakarta Timur itu.
Belanja daring
Meski masih banyak warga yang memilih belanja di toko offline (luring), tidak bisa dielakkan bahwa fenomena belanja online (daring) semakin digemari masyarakat.
Hal ini bukan tanpa alasan. Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, harga barang yang dijual di toko memang cenderung lebih mahal daripada penjualan daring.
Adanya biaya produksi yang naik-turun juga menyebabkan perbedaan harga barang yang dijual.
”Ini terjadi karena biaya operasionalnya toko online lebih rendah daripada buka toko offline,” ujar Eddy.
Penjualan di toko luring membutuhkan biaya operasional, seperti biaya gaji pegawai, biaya sewa kantor atau gedung, biaya administrasi, hingga biaya pemasaran. Sementara biaya tersebut tidak dijumpai jika berjualan secara daringdi rumah.
”Adanya biaya produksi yang naik-turun juga menyebabkan perbedaan harga barang yang dijual,” ucapnya.
Bisnis daring dengan biaya operasional yang lebih rendah tersebut dapat membuat harga jual barang menjadi lebih murah.
Di sisi lain, promosi dan harga murah juga tidak selalu menjadi faktor masyarakat memilih berbelanja secara daring.
”Banyak masyarakat yang juga mengutamakan aspek keamanan. Tampilan aplikasi yang mumpuni juga menjadi alasan,” katanya.
Menurut Eddy, bisnis luring yang dapat bertahan tanpa beralih ke daring hanya penjualan barang spesial atau mewah. Selain itu, penjualan lainnya bisa digantikan oleh bisnis daring.
Terkait hal ini, ia menyarankan agar penjual barang luring juga menyediakan layanan daring. Dengan dua layanan ini, bisnis yang dijalani tetap bertahan.