UI Didorong Laporkan Dugaan Kasus Kekerasan Seksual ke Polisi
Laporan kekerasan seksual tidak harus dari korban dan keluarga. Siapa saja bisa melaporkan kasus itu ke kepolisian.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA ikut menyoroti dugaan kasus kekerasan seksual di Universitas Indonesia. Selain upaya perlindungan kepada korban, Komnas PA meminta pihak kampus untuk melaporkan dugaan kekerasan seksual kepada pihak kepolisian.
Ketua Komnas PA Lia Latifah mengatakan, siapa pun boleh melaporkan dugaan kekerasan seksual kepada pihak kepolisian. Laporan tidak harus dari korban dan keluarga.
Menurut Lia, para pelaku kejahatan seksual sudah sangat banyak dengan berbagai macam modus. Oleh karena itu, di dunia pendidikan seperti kampus harus memiliki satuan tugas khusus perlindungan perempuan atau satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS) untuk melindungi dan menekan tindakan kejahatan seksual.
”Satgas ini tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi seluruh sivitas akademik. Jika ada kejahatan seksual, satgas bisa segera menangani dan melaporkan kejadian yang dialami oleh korban,” ujar Lia.
Satgas PPKS itu, kata Lia, jangan hanya sekadar eksis secara nama, tetapi harus hadir untuk memasifkan edukasi terkait kejahatan seksual dan aturan-aturan tegasnya.
”Kenapa perlu ada satgas ini di kampus atau bahkan di sekolah karena kita tidak pernah tahu orang-orang di sekeliling memiliki penyimpangan seksual,” ujarnya.
Meski begitu, Lia mengakui, tidak mudah untuk korban dan keluarga untuk melaporkan kasus kejahatan seksual karena budaya yang berkembang di Indonesia.
”Memang, laporan kekerasan seksual ini masih sangat sensitif, tabu, dan dinilai merusak nama keluarga di mata lingkungan. Rasa malu dan ketakutan stigma di lingkungan yang akhirnya banyak kasus tidak terungkap. Budaya kita masih seperti itu yang juga membuat korban menjadi korban lagi,” ujarnya.
Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia Manneke Budiman mengatakan, tidak ada dorongan atau desakan kepada korban untuk melapor kasus dugaan kekerasan seksual kepada pihak polisi.
”Tentang lapor polisi, itu harus dari keinginan korban. Kami sejauh ini tidak ada rencana itu,” kata Manneke.
Meski belum ada rencana melaporkan Melki, seperti dalam surat keputusan Rektor Universitas Indonesia, Satgas PPKS UI akan memberikan bantuan hukum jika dibutuhkan atau atas permintaan korban.
Selain bantuan hukum, Satgas PPKS UI juga memberikan pendampingan layanan psikologi, perlindungan keamanan kepada korban dan saksi dari ancaman dan intimidasi atas laporan ataupun kesaksian yang diberikan.
Memang, laporan kekerasan seksual ini masih sangat sensitif, tabu, dan dinilai merusak nama keluarga di mata lingkungan.
Adapun terkait keberatan terduga pelaku kekerasan seksual Melki Sedek dan permintaan untuk mengajukan pemeriksaan ulang, Manneke meminta terduga untuk mengajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Bukan wewenang UI atau Satgas. Diajukan ke Kemdikbud langsung. Kami sudah tidak ikut-ikut,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya di Kompas.id, Universitas Indonesia menjatuhkan sanksi administrasi terhadap mahasiswanya bernama Melki Sedek atas dugaan tindak kekerasan seksual.
Sanksi kepada Melki yang juga mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) 2023 itu tercantum dalam Keputusan Rektor Nomor 49/SK/R/UI/2024.
Adapun saksi administrasi kepada Melki berupa skorsing akademik selama satu semester. Selama masa skorsing, Melki dilarang beraktivitas secara formal, informal dalam organisasi, dan kegiatan kemahasiswaan serta dilarang berada di lingkungan Kampus UI.
Atas sanksi itu, Melki menyampaikan keberatannya dan mengajukan untuk pemeriksaan ulang. ”Saya keberatan dengan putusan bersalah tersebut dan mengajukan pemeriksaan ulang,” kata Melki dalam jawaban tertulis lewat aplikasi percakapan Whatsapp siang ini.
Sebelumnya beredar pernyataan dari Melki yang menyatakan karena minimnya transparansi, adanya kejanggalan, dan juga keputusan yang tidak adil melalui Keputusan Rektor Universitas Indonesia, maka ia ajukan proses legal, yaitu pemeriksaan ulang atas kasus ini.