Siasat untuk Bertahan Hidup di Jakarta
Di tengah naiknya biaya hidup di Jakarta, warga berpendapatan pas-pasan bertahan dengan mengirit biaya makan dan akomodasi.
Biaya hidup yang tinggi di Jakarta memaksa warganya untuk bersiasat agar bisa bertahan. Ada yang mencari cuan tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan hingga memilih hidup prihatin guna menyesuaikan pendapatan dengan pengeluaran.
Noer (50), penjual rujak ulek di Pasar Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, sedang mengupas mangga dan pepaya muda, serta sejumlah buah yang akan kemudian dipadukan dengan sambal gula merah nan kental.
Untuk setiap porsi rujak ulek dijual seharga Rp 15.000. Sudah 35 tahun, Noer menjadi pedagang rujak ulek. Dari sana ia memperoleh uang untuk membiayai hidupnya dan keluarga. Ia memilih untuk hidup sendiri, sementara istri dan anak saya tinggal di Brebes, Jawa Tengah.
”Karena memang biaya hidup di Brebes lebih murah dibanding harus tinggal di Jakarta,” kata ayah tiga anak ini, Selasa (26/12/2023).
Baca juga: Mengapa Orang Tetap Tertarik Tinggal di Jakarta?
Sebagai pedagang rujak buah, penghasilannya per hari sekitar Rp 100.000-Rp 150.000 per hari. Tergantung dari jumlah pelanggan yang datang.
Agar ia bisa mengirim uang ke keluarganya, Noer memilih untuk hidup prihatin dengan biaya makan tak lebih dari Rp 50.000 per hari dan tinggal di sebuah tempat indekos kecil dengan biaya Rp 1,5 juta per bulan.
Noer merasa saat ini biaya hidup di Jakarta setiap tahun kian tinggi. ”Jika menjual rujak buah tidak lagi cukup, saya memilih kembali pulang ke Brebes,” kata Noer.
Tidak hanya Noer, Yeski Kelsederi (31), warga Pancoran, Jakarta Selatan, harus mengelola keuangan agar gajinya sebagai aparatur sipil negara cukup untuk sebulan.
Dalam sebulan, ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta. ”Beruntung suami saya juga bekerja sehingga kita bisa berbagi beban,” katanya sembari tersenyum.
Melihat dari komposisi kebutuhan, biaya tertinggi adalah untuk makan dan transpor sehari-hari, biaya untuk sekolah bagi anak tunggalnya, biaya sewa rumah, dan biaya tarif listrik. ”Terkadang untuk memenuhi kebutuhan, suami saya juga mencari pekerjaan tambahan di luar kantornya,” kata Yeski.
Baca juga: Jatuh Bangun Menjadi Orang Jakarta
Di sejumlah kawasan padat penduduk, sejumlah warga memilih untuk tinggal berdesakan di satu rumah. Fenomena ini terlihat di Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat. Irma Suryani (55) tinggal bersama 11 anggota keluarganya di rumah dua lantai dengan luas lahan 22 meter persegi.
Di halaman rumahnya ada kamar mandi berukuran 1 meter x 1 meter yang digunakan bersama empat tetangganya. Mereka memilih untuk hidup berdesakan guna menekan biaya hidup dan menyesuaikan pendapatan. Di wilayah itu, sebagian besar warganya bekerja sebagai pedagang, pengamen, hingga tukang parkir.
Survei BPS
Berdasarkan Survei Biaya Hidup tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan biaya hidup rumah tangga di Jakarta mencapai Rp 14,88 juta per bulan. Biaya hidup ini merupakan yang tertinggi di Tanah Air.
Survei merujuk pada biaya rumah tangga beranggotakan 2-10 orang dengan minimal satu orang yang bekerja. Survei Biaya Hidup 2022 berlangsung pada 240.000 rumah tangga dan 847 komoditas di 150 kabupaten/kota.
Dalam survei didapati juga empat komoditas barang/jasa di Jakarta dengan bobot nilai konsumsi terbesar, yaitu tarif listrik (6,58 persen), kontrak rumah (5,56 persen), bensin (4,86 persen), dan sewa rumah (4,34 persen).
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD DKI Jakarta, Suhud Alynudin, meminta Pemprov DKI Jakarta mencermati kenaikan biaya hidup tersebut karena tidak sebanding dengan upah minimum provinsi (UMP) 2024 sebesar Rp 5.067.381. Biaya hidup di Jakarta bertambah Rp 1,43 juta dari survei tahun 2018 sehingga jadi Rp 14,88 juta, sedangkan UMP bertambah Rp 1.419.346 dari tahun 2018 sehingga jadi Rp 5.067.381.
”Perlu meninjau lagi besaran upah di Jakarta. Harus ada penyesuaian dengan tuntutan biaya hidup. Seharusnya Pj Gubernur DKI Jakarta berani melakukan terobosan supaya warga dapat hidup layak,” ucap Suhud, Selasa (26/12/2023).
Ini sepatutnya diperhatikan pemerintah sejak dulu. Bukan fokus ke proyek mercusuar.
Anggota Komisi B bidang perekonomian ini menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan roda perekonomian agar kian bergairah. Dengan begitu, dapat berdampak pada kenaikan pendapatan warga. Sementara untuk masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah tetap membutuhkan subsidi transportasi, perumahan, dan kesehatan guna mengurangi pengeluarannya.
Sama halnya dengan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak. Jika dibandingkan dengan UMP 2024, warga sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak heran warga Jakarta berhemat dengan tinggal di luar kota atau permukiman padat penduduk ataupun memilih sepeda motor untuk menekan biaya transportasinya.
”Ini sepatutnya diperhatikan pemerintah sejak dulu. Bukan fokus ke proyek mercusuar. Perluas jangkauan transportasi publik, bangun rusun, perluasan layanan air bersih, dan penataan kawasan,” ucap Gilbert terpisah.
Gilbert yang juga anggota Komisi B bidang perekonomian ini pun menyarankan subsidi yang sifatnya multiefek. Bukan subsidi sektoral. Contohnya, tarif angkutan umum terintegrasi dan terjangkau yang dapat meringankan biaya transportasi sekaligus mengurangi kendaraan pribadi dan polusi.
Selanjutnya, subsidi perumahan yang terjangkau atau masuk dalam kawasan berorientasi transit. Semakin dekat warga dengan sarana transportasi, mobilitas mereka kian mudah.
Struktur skala upah
Peneliti dari Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia, Turro Wongkaren, menekankan pentingnya perusahaan melaksanakan struktur dan skala upah, serta pemerintah mengimplementasikan Kartu Pekerja Jakarta (KPJ) dengan sebaik mungkin.
Perusahaan harus didorong untuk memberikan bantuan transportasi, kredit rumah, serta BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Tak kalah penting adanya fasilitas pendukung atau penunjang yang mempermudah buruh atau pekerja perempuan dalam bekerja, seperti tempat penitipan anak dan ruang menyusui.
”KPJ dapat diperluas bagi pekerja dari Bodetabek dengan kerja sama antarpemerintah daerah. Lalu, optimalkan sosialisasi dan mempermudah akses dan manfaatnya,” ucap Wakil Ketua Dewan Pengupahan DKI dari unsur akademisi itu.
Baca juga: Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan
KPJ merupakan program peningkatan kesejahteraan buruh atau pekerja dengan meringankan biaya transportasi, pangan, dan pendidikan bagi anak mereka di Jakarta. Syaratnya ialah memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, besaran gaji maksimal 1,15 kali dari upah minimum, dan tidak dibatasi masa kerja ataupun kriteria lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Noer dan Yeski hanyalah gambaran siasat warga menghadapi sulitnya hidup di Jakarta. Selain dibekali dengan keterampilan, kerja keras dan memanfaatkan peluang sekecil mungkin. Bagi mereka yang kalah mungkin akan tersingkir. Itulah seleksi alam. Siapa suruh datang ke Jakarta.