Dilema Pembangunan Puskesmas Kayu Putih
Kebutuhan warga akan puskesmas di Kelurahan Kayu Putih, sangat tinggi. Namun, infrastruktur yang tersedia tidak memadai.
Yuliardi (54), warga Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis (14/12/2023), duduk bersama cucu dan istrinya di Puskesmas Kayu Putih. Dia menunggu panggilan untuk mengambil obat yang diperlukan guna menyembuhkan batuk yang diderita sang cucu.
Di sana, ketiganya duduk di kursi seadanya dengan ditudungi tenda darurat berwarna biru. Tidak hanya dari sisi fasilitas ruang tunggu, ruang pemeriksaan dokter pun terbilang tidak cukup untuk memenuhi besarnya kebutuhan masyarakat.
”Setiap hari, mungkin ada ratusan pasien datang ke puskesmas ini. Saya harus menunggu sampai dua jam,” kata Yuliardi yang merupakan karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Menurut dia, walaupun memiliki fasilitas seadanya, Puskesmas Kayu Putih sudah cukup memenuhi kebutuhan warga sekitar. Jaraknya yang cukup dekat dari rumahnya, yakni hanya 2 kilometer, membuat Yuliardi lebih mudah mendapatkan akses kesehatan.
Belum lagi jika dibandingkan dengan fasilitas kesehatan yang lain, puskesmas ini terbilang cukup terjangkau, bahkan bisa gratis.
Enam bulan lalu, Yuliardi didiagnosis mengalami tuberkulosis (TBC). Dengan mendatangi puskesmas secara rutin untuk berobat, satu bulan lalu, ia dinyatakan sudah sembuh total dari penyakit menular itu. ”Mungkin kalau lokasinya jauh dari rumah, saya tidak akan sembuh secepat ini,” kata Yuliardi.
Sama seperti Yuliardi, Heri (32), warga Kayu Putih, memiliki keinginan yang sama. Heri ingin puskesmas lebih mudah diakses. Menurut dia, hanya satu kekurangannya, yakni keterbatasan tenaga kesehatan sehingga waktu pelayanan tergolong sangat lama.
Terkait pembangunan puskesmas baru, Heri berharap dapat segera terealisasi agar pelayanan di puskesmas bisa lebih cepat. ”Mungkin dengan bangunan yang lebih besar, akan lebih banyak ruang untuk pengobatan pasien dibanding menggunakan bangunan yang ada sekarang ini,” ujarnya.
Melihat dari situasi yang ada, pemerintah menilai, pembangunan puskesmas dinilai sudah mendesak karena kapasitas yang tersedia saat ini tidak lagi memadai. Dengan luas hanya 300 meter persegi, pelayanan kesehatan di Puskesmas Kayu Putih menjadi kurang optimal. Puskesmas ini sudah beroperasi di lahan tersebut sekitar empat tahun lalu.
Sekretaris Kelurahan Kayu Putih, Parno, menyebut, sejak awal berdiri, Puskesmas Kayu Putih selalu mengontrak bangunan milik orang lain. ”Sebelum beroperasi di tempat yang sekarang, Puskesmas Kayu Putih juga telah mengontrak rumah untuk menjalankan pelayanan, tapi ukurannya lebih sempit,” kata Parno.
Oleh karena itu, pembangunan puskesmas sudah sangat mendesak. Namun, pembangunannya membutuhkan lahan, sedangkan lahan publik yang tersedia hanya di ruang terbuka hijau (RTH). ”Memang ada lahan yang lain, tetapi itu sudah diserahkan kepada pihak ketiga,” ujar Parno.
Sementara untuk membeli lahan baru, tidak ada anggarannya. ”Toh yang dialihfungsikan hanya 750 meter persegi atau hanya 20 persen dari total luas RTH, yakni 4.300 meter persegi. Menurut saya, ini sudah win-win solution,” ujarnya.
Menurut Parno, apa yang dilakukan pemerintah sudah melalui kajian yang cukup matang, mulai dari pengukuran tanah hingga sosialisasi kepada masyarakat. Tahapan ini harus dilakukan sebelum puskesmas dibangun.
Warga Tanah Mas RW 001, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung menilai, tindakan yang dilakukan pemerintah tidak didasari atas musyawarah bersama warga.
Berdasarkan rancang bangun yang sudah dibuat, puskesmas seluas 750 meter persegi itu akan dibangun empat lantai. Menurut rencana, APBD DKI Jakarta akan dikucurkan tahun depan.
Terkait rencana itu, warga Tanah Mas RW 001, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, menilai, tindakan yang dilakukan pemerintah tidak didasari atas musyawarah bersama warga. Warga bahkan menilai pemerintah cenderung arogan.
Oleh karena itu, melalui kuasa hukumnya, Barus, warga Tanah Mas melayangkan gugatan pidana dan perdata atas alih fungsi lahan RTH di wilayahnya.
Menurut Barus, RTH yang rencananya akan dialihfungsikan menjadi puskesmas ini belum memiliki status kepemilikan yang jelas. ”Dari Pemerintah Kota Jakarta Timur, RTH ini adalah milik Pemprov Jakarta, sedangkan dari Kelurahan Kayu Putih menyatakan lahan ini milik PT Pulomas Jaya,” ujarnya.
Baca juga : Rencana Pembangunan Puskesmas di Lahan RTH Picu Polemik
Adapun dari warga, ujar Barus, belum ada akta yang jelas mengenai kepemilikan lahan RTH seluas 4.200 meter persegi itu. ”Hingga saat ini, belum ada serah terima lahan, baik dari warga ke pemerintah maupun ke perusahaan,” ujarnya.
Ketua RW 001 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Mohamad Imson, berharap jangan sampai ada kesan warga menolak pembangunan puskesmas. ”Kami tidak menolak pembangunan puskesmas, tetapi jangan sampai pembangunan itu mengokupasi RTH,” kata Imson.
Apalagi, sampai sekarang belum ada status yang jelas tentang kepemilikan lahan. "Pemerintah masih menunggu lahan ini diserahterimakan. Itu berarti lahan ini bukan milik pemerintah,” ujarnya.
Imson menjelaskan, RTH yang ada di wilayahnya sudah ada sejak tahun 1970-an. Adapun untuk penembokan RTH baru dilakukan pada 1998 ketika kerusuhan terjadi. ”Ketika itu, di kawasan ini sering terjadi penjarahan. Inilah yang membuat wilayah perumahan di tembok,” ujarnya.
Perlawanan ini muncul karena warga menilai pemerintah mengokupasi RTH dengan menjebol tembok milik warga pada Rabu (15/11/2023). Imson menegaskan, alih fungsi lahan menjadi puskesmas ini mencederai upaya Pemprov DKI untuk memperluas lahan terbuka hijau. "Saat ini saja, RTH di Jakarta masih kurang, masa RTH yang sudah ada mau dialihfungsikan lagi," ujarnya.
Baca juga : Pemerintah Akan Hadapi Gugatan Warga tentang RTH
Sebelumnya, Ketua Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Muhammad Aminullah mengatakan, taman tersebut merupakan RTH-5. Jika ada rencana alih fungsi, seharusnya dilakukan sebelum taman itu dibangun. Selain itu, PT Pulomas Jaya selama lebih dari 25 tahun juga tidak berkontribusi apa pun terkait wilayah itu.
RTH di Taman Tanah Mas juga merupakan zona lindung terbuka hijau sesuai Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Desain Tata Ruang DKI Jakarta. ”Warga tak seharusnya diberi pilihan untuk memilih antara fasilitas kesehatan publik dan ruang publik. Dua-duanya itu dibutuhkan warga,” katanya.
Saat ini cakupan RTH di Jakarta masih jauh panggang dari api, yakni masih sekitar 5 persen dari 30 persen yang diwajibkan undang-undang.
Saat ini cakupan RTH di Jakarta masih jauh panggang dari api, yakni masih sekitar 5 persen dari 30 persen yang diwajibkan undang-undang. Pemerintah juga tengah menggencarkan penanganan isu polusi udara, salah satunya dengan memperbanyak RTH di Jakarta.Namun, pihaknya berharap segera ada kesepakatan bersama antara warga dan pemerintah. Karena yang terpenting bukanlah tempatnya, melainkan menyediakan akses kesehatan yang baik untuk masyarakat.