Alami Gangguan Jiwa, Kematian Ayah dan Anak di Koja Tidak Ada Unsur Pidana
Hamka Rusdi meninggal lebih dulu karena sakit. AQ, anak Hamka, meninggal tiga hari kemudian dengan lambung kosong tanpa asupan makanan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi mengakhiri penyelidikan kasus kematian Hamka Rusdi (50) dan anaknya, AQ (10 bulan), di Koja, Jakarta Utara, karena tidak menemukan unsur pidana. Bapak dan anak itu meninggal karena sakit.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan menjelaskan, dari kasus penemuan dua jasad Hamka Rusdi dan AQ di Jalan Balai Rakyat V Nomor 12, RT 006 RW 003, Kelurahan Tugu Selatan, Koja, Jakarta Utara, pada Sabtu (28/10/2023), disimpulkan bahwa tidak ada unsur tindak pidana.
Kesimpulan itu berdasarkan pemeriksaan di lapangan oleh tim Polres Metro Jakarta Utara dan kolaborasi tim gabungan dari Inafis, Puslabfor Polri, Apsifor, kedokteran forensik Rumah Sakit Polri dan RSCM, serta dokter ahli jiwa.
”Penyelidikan yang cukup komprehensif, pertama, kami meyakinkan dari olah TKP, CCTV, pemeriksaan DNA, dan lainnya, tidak ada profil DNA orang lain selain keluarga inti atau empat orang yang kita temukan di TKP. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kematian dua korban dinyatakan kematian wajar karena sakit,” kata Gidion di lokasi, Jumat (15/12/2023).
Saat kematian suami dan anak bungsunya itu, Nur Hikmah (32) dalam kondisi fisik dan psikologis yang tidak baik untuk melakukan upaya penyelamatan. Nur berada di dalam rumah bersama jenazah selama delapan hari bersama anak sulungnya, ADA (3).
Dari hasil analisis dan pemeriksaan, Hamka meninggal terlebih dahulu pada 20 Oktober 2023 karena sakit. Tiga hari kemudian, AQ menyusul meninggal karena kondisi lambung kosong atau tidak ada asupan makanan.
Saat ditemukan, anak itu mengalami luka di bibir dan pelipis, tetapi itu bukan karena tindak kekerasan, melainkan karena kecelakaan ringan yang disebabkan kondisi tubuh AQ melemah.
Gangguan jiwa
Sistrianova dari Asosiasi Psikolog Forensik melanjutkan, pemeriksaan visum et repertum psikiatrikum oleh psikiatri kepada Nur menunjukkan gangguan jiwa acute stress disorder (ASD) secara fisik dan psikis akibat pengalaman traumatik.
”Gejala-gejala yang ditampilkan dan ini berlaku ketika seseorang mengalami suatu peristiwa traumatik. Ini hanya berlangsung seketika pada saat kejadian dan berlangsung sampai empat minggu ke depan. Ketika itu berlanjut empat minggu seterusnya, nanti mungkin akan masuk ke PTSD kalau tidak ditangani dengan tepat,” ujarnya.
Adapun PTSD adalah post-traumatic stress disorder atau gangguan stres pascatrauma.
Tercampur traumatik psikologi sehingga membuat dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan cukup daya.
Sistrianova tidak merinci gangguan jiwa yang dialami Nur, apakah sudah terjadi sebelum kasus atau muncul saat kejadian kasus. Dia juga tidak menjelaskan dugaan faktor ekonomi atau masalah keluarga yang menyebabkan Nur mengalami stres.
”Kalau hasil itu tidak (bisa) disampaikan. Ibu Nur tinggal di pesantren milik Pak Hamka, bersama ibunya (ibu Hamka). Sudah bisa beraktivitas, tapi harus hati-hati penanganan karena trauma,” ujarnya.
Gidion pun tidak bisa menyampaikan secara detail hasil pemeriksaan Nur. ”Memang ada persoalan psikologis yang tidak bisa kami sampaikan. Persoalan psikologis, fisik yang tidak fit pada saat peristiwa meninggalnya suami. Tercampur traumatik psikologi sehingga membuat dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan cukup daya,” katanya.
Onai (40), tetangga Hamka, mengatakan, hingga kasus penemuan dua jasad ayah dan anak itu, ia sama sekali tidak pernah melihat sosok Nur.
”Saya sudah lama tinggal di sini. Hanya kenal dengan Hamka saja. Istrinya sama sekali tidak, bahkan belum pernah lihat. Warga lainnya pada saling kenal. Yang istrinya itu enggak,” kata Onai.
Tetangga lain, Fitra (36), juga tidak mengenal istri Hamka karena jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Fitra bahkan tak mengetahui nama istri Hamka.
Baru setelah terjadi kasus, ia mengetahui namanya. Dari beberapa omongan warga yang pernah bertemu langsung, Nur diduga memiliki sikap yang tak wajar.