Persoalan Kompleks di Balik Fenomena ”Pinjam Dulu Seratus”
Fenomena ”pinjam dulu seratus” menjadi kompleks karena pergeseran isu ekonomi menjadi masalah psikologi dan sosiologi.
Relasi pertemanan menjadi jembatan untuk meminjam uang dengan cepat dan mudah. Namun, jika tidak bijak, fenomena ”pinjam dulu seratus” bisa berujung konflik yang merusak relasi pertemanan hingga hubungan keluarga.
Yang terjadi di Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten, ini adalah satu contoh dampak buruk ”pinjam dulu seratus”. Kepolisian Sektor Cisoka menangkap HS (19) karena menganiaya temannya, NA (21), di rumah kontrakan di Desa Sumur Bandung, Jayanti, Tangerang, pada Sabtu (25/11/2023).
Kejadian penganiayaan bermula saat HS mendatangi rumah kontrakan NA untuk meminjam uang Rp 100.000. HS meminta NA untuk tidak membicarakan pinjaman uang kepada teman-temannya.
Baca juga: Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari
Tak berselang lama, HS merasa tersinggung karena NA telah membicarakan pinjaman uang itu kepada orang lain. Meski NA menampik tuduhan itu, HS tetap menganiaya NA.
Tak terima dengan perlakuan HS, NA pun melaporkan ke polisi. HS kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mendekam di penjara.
Kejadian serupa terjadi di sejumlah kalangan meski tidak sampai berujung perkelahian, apa lagi berakhir di jeruji besi. Seperti pengalaman Satria Bayu (28), warga Tomang, Jakarta Barat. Bukan sekali ia menjadi pihak yang meminjamkan uang kepada temannya. Ada pinjaman yang dikembalikan, ada pula yang tidak, sampai ia sendiri lupa telah meminjamkan uang.
”Kadang lagi makan, uang teman kurang saya talangi dulu. Beberapa kali pernah pinjam (meminjamkan) Rp 50.000 dan Rp 100.000. Enggak saya tagih karena enggak enak, teman soalnya. Kesadaran saja (mengembalikan pinjaman),” kata Satria, Rabu (29/11/2023).
Nominal pinjaman memang tidak besar, tetapi bagi Satria uang itu cukup berarti, terutama saat akhir bulan. Jika sudah begitu, ia kerap kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Mengumpulkan uang receh untuk membeli mi instan atau bahan makanan untuk kemudian dimasak menjadi jalan keluar bertahan hingga gajian datang.
Ada pula cerita dari Agnes (27), salah satu karyawan swasta di Jakarta. Ia pernah berteman dengan orang yang memiliki hobi meminjam ”recehan”. ”Sewaktu kuliah, ada seorang teman yang sering meminjam uang Rp 50.000. Ya, terkadang dikembalikan, tetapi banyak juga yang dilupakan,” ucapnya.
Agnes pun sempat curiga jika temannya itu tidak hanya meminjam uang kepada satu orang, tetapi ke banyak rekan lain. ”Ternyata dugaan saya benar, hampir semua teman yang ada di satu circle dipinjami uang Rp 50.000,” katanya sembari tersenyum.
Mungkin bagi banyak orang, uang Rp 50.000 tidak begitu banyak sehingga beberapa dari mereka memilih untuk mengikhlaskan daripada menagihnya kembali. ”Tetapi, kalau yang dipinjami banyak, tentu akan merepotkan,” ujarnya.
Yeski Kelsederi (29), aparatur sipil negara (ASN) di salah satu kementerian di Jakarta, memegang prinsip yang kuat dalam mengatur keuangan. Pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan hidup berkisar Rp 12 juta-Rp 14 juta per bulan. Nominal tersebut merupakan gabungan dari gajiannya dengan sang suami. Selain untuk biaya kontrakan, ia juga harus membiayai kebutuhan hidup anak dan kedua orangtuanya.
Agar tidak melebihi anggaran, ia dan suaminya harus mengatur pendapatan agar semua kebutuhan dasar terpenuhi. Sekitar 5 persen dari pengeluaran, ia sisihkan untuk biaya pergaulan, seperti menongkrong atau untuk amplop pernikahan, termasuk saat ada acara keluarga yang perlu mengeluarkan uang.
”Kalaupun ada yang meminjam uang, ya, saya berikan, tetapi tidak lebih dari yang sudah dianggarkan,” ujarnya. Menurut dia, pengaturan anggaran sangat diperlukan agar jumlah pengeluaran tidak membengkak.
Menurut Yeski, lebih baik menolak meminjamkan uang dibandingkan dengan harus merusak pertemanan karena uang pinjaman tidak dikembalikan.
Dikendalikan uang
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, fenomena pinjam dulu seratus merupakan hal biasa yang terjadi dalam sebuah relasi sosial di akar rumput dalam hubungan pertemanan, tetangga, atau masyarakat tradisional. Namun, saat ini fenomena pinjam dulu seratus menjadi sangat kompleks karena terjadi pergeseran makna dari urusan ekonomi menjadi masalah psikologi dan sosiologi.
”Fenomena ini memperlihatkan bahwa uang telah mengendalikan individu. Dalam filosofi uang, uang tidak lagi semata-mata menjadi alat transaksi, tetapi telah menjadi sesuatu yang mendeterminasi. Uang menguasai seseorang, eksploitasi, hingga mendominasi aktivitas, pola pikir, dan perilaku seseorang sehingga bisa menciptakan konflik atau pertikaian,” ujar Rakhmat.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa uang telah mengendalikan individu.
Dari pendekatan ekonomi dengan relasi sosial yang saling memahami dan percaya, ketika seseorang meminjam uang, akan menepati janji untuk mengembalikannya.
Ada sebuah kesadaran ia mampu mengendalikan uang untuk keperluan dan kebutuhan yang diperlukan. Ada kesadaran pula bahwa yang membutuhkan uang bukan dirinya saja, tetapi juga orang yang telah meminjamkan uang itu. Kalaupun tidak bisa segera mengembalikan, ia akan memberi tahu dan tetap menepati janji untuk mengembalikan pinjaman itu.
Pinjam-meminjam sejatinya hal yang biasa dalam sebuah hubungan relasi antarsesama manusia dari dulu hingga saat ini. Ada kebutuhan relasi yang harus dijaga agar tetap guyub dan harmonis.
Terciptanya konflik dalam relasi karena pinjam-meminjam uang, kata Rakhmat, tidak terjadi begitu saja. Konflik terjadi karena ada akumulasi psikologis. Relasi pertemanan menjadi alasan untuk tidak segera atau bahkan tidak mengembalikan pinjaman. Padahal, pihak yang meminjamkan terus mengingat itu dan dia juga membutuhkan uangnya kembali untuk keperluan pribadinya.
”Kapan-kapan saja, deh, mengembalikannya. Atau berpikir pinjamannya sedikit. Ia terus menunda melunasi atau mengembalikan pinjaman. Ah, tunggu gajian saja, tetapi justru menjadi lupa,” ujarnya.
Akumulasi psikologis yang menggampangkan atau menyederhanakan ini, menurut dia, bisa membuat interaksi menjadi renggang karena ada prasangka bahwa saat ada orang yang ingin meminjam tidak akan dikembalikan. Padahal, dalam sebuah relasi pertemanan, kepercayaan itu menjadi hal penting.
Sisi lainnya, akumulasi psikologi dari pihak yang meminjamkan uang akan menagih, meneror, menyebarkan informasi ke teman-teman lainnya bahwa si A sering meminjam dan tidak mengembalikannya sesuai janji.
”Bisa pula seperti ini, utang belum dikembalikan, ia pinjam lagi. Utang belum dikembalikan, tapi dia beli barang ini dan itu. Hal itu tentu akan membuat kecewa sehingga bisa merusak relasi pertemanan,” kata Rakhmat.
Kondisi ekonomi
Ahli perencana keuangan, Ahmad Gozali, mengatakan, munculnya fenomena pinjam dulu seratus ini menjadi banyak dibicarakan di media sosial dan lingkungan sosial, bukan hal kiasan, melainkan gambaran nyata dari kondisi ekonomi warga. Dari kondisi itu, warga tidak hanya terjerat pinjaman online (daring) untuk memenuhi kebutuhan, tetapi terjerat pula dalam jerat pertemanan dengan pinjam dulu seratus.
”Justru utang antarteman ini merusak pertemanan. Utang malah bikin silaturahmi bisa terputus. Yang punya utang malu bertemu temannya jika belum menepati janji untuk membayar. Sebaliknya yang punya piutang sungkan mau menagih dan berharap temannya sadar diri,” kata Ahmad.
Dari sisi finansial, kata Ahmad, berutang secara pinjaman daring atau kepada teman menunjukkan ketidakberesan dalam mengelola keuangan. Apalagi jika sering berutang ke lebih satu orang bisa menjadi indikasi masalah psikologis karena tidak tahu ke mana lagi harus mencari atau jalan keluar untuk memperoleh uang cepat dengan risiko kecil.
Kondisi meminjam uang kepada teman awalnya hanya kepepet. Namun, karena merasa gampang dan tidak ribet akhirnya menjadi kebiasaan berutang tanpa perhitungan.
Bagi sebagian kalangan, pinjaman ”hanya” Rp 100.000 bernilai signifikan terutama bagi yang berpenghasilan tidak besar atau setara penghasilan upah minimum wilayah.
Pertumbuhan penghasilan yang tidak bisa mengalahkan inflasi memang membuat kondisi keuangan makin sulit.
Menurut Ahmad, ada sisi lain dari fenomena pinjam dulu seratus yang menarik dilihat, yaitu tingkat inflasi tidak berbanding lurus dengan penghasilan atau gaji. Tingginya kebutuhan harian seperti di kota besar di Jabodetabek, misalnya, membuat warga yang berpenghasilan rendah atau golongan kelas menengah harus memutar otak tetap bertahan.
”Pertumbuhan penghasilan yang tidak bisa mengalahkan inflasi memang membuat kondisi keuangan makin sulit,” katanya.
Meminjam uang untuk tambahan bisa jadi jalan keluar, termasuk dari teman. Namun, harus bertanggung jawab. Jangan sampai ”pinjam dulu seratus” merusak hubungan baik apalagi sampai menimbulkan konflik yang bikin kepala pening.