Calon anggota legislatif diduga jadi sasaran pebisnis meminjamkan uang miliaran rupiah tanpa jaminan untuk kampanye.
Oleh
RHAMA PURNA JATI, AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Puluhan calon anggota legislatif dan pejabat daerah diduga terjerat dalam bisnis pinjaman tanpa jaminan senilai miliaran rupiah. Ada calon anggota legislatif atau caleg yang telah menyetor sejumlah uang sesuai persyaratan pengajuan pinjaman, tetapi uang yang dijanjikan tak juga cair. Praktik itu mulai terungkap saat Kepolisian Sektor Tambora di Jakarta Barat menangani kasus dugaan penipuan terhadap calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta. Polisi lantas menangkap NZ (52).
Raut wajah perempuan itu muram dan tegang saat dihadapkan kepada para penyidik Kepolisian Sektor Tambora, Senin (13/11/2023). Namun, suasana tegang tak berlangsung lama. Saat menjawab sejumlah pertanyaan terkait praktik bisnis pinjaman tanpa jaminan, ia lancar bercerita.
NZ mengaku baru bergelut dalam bisnis itu sejak Agustus 2023. Ia tertarik bergabung karena mendapatkan tawaran oleh sosok yang ia sebut sebagai Irfan, rekan sesama relawan dari salah satu partai politik saat Pemilihan Umum 2019 DKI Jakarta. Irfan menawarkan agar NZ menjadi agen seperti dirinya untuk mencari para calon pejabat yang ingin meminjam dana untuk pemilihan umum dan keperluan kampanye.
NZ pun tergiur dengan tawaran tersebut karena, dari setiap caleg yang meminjam dana, ia bisa memperoleh bayaran sekitar 15 persen dari pinjaman yang diterima calon pejabat. ”Namun, itu (bayaran) dipotong uang operasional. Bersihnya, saya bisa mendapat 3 persen dari total pinjaman yang diberikan,” kata NZ, Senin (13/11/2023).
Dari penghitungan Kompas, jika satu caleg meminjam Rp 30 miliar, NZ mendapatkan Rp 900 juta. NZ mengaku, bayaran besar itu membuatnya tertarik bergabung karena ia harus menghidupi keluarga. Sejak suaminya meninggal, ia menjadi tulang punggung keluarga.
Adapun dana pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp 30 miliar untuk calon anggota legislatif (caleg) tingkat DPRD, Rp 50 miliar untuk caleg DPR RI, dan Rp 60 miliar untuk calon bupati/wali kota.
Dalam praktiknya, NZ berhasil merekrut caleg DPRD DKI berinisial M (58) dan caleg DPR berinisial B. Berdasarkan proposal, M mengajukan pinjaman sebesar Rp 30 miliar, sedangkan B mengajukan sekitar Rp 50 miliar.
Sebagai jaminan, M harus membayar uang koper dan uang untuk mesin penghitung rupiah sebanyak Rp 30 juta. Hanya saja, M hanya menyanggupi Rp 23 juta. B memberikan dana awal sebesar Rp 200 juta.
”Uang dari M (Rp 23 juta) saya pakai untuk operasional bolak-balik Solo dan Cikarang. Uang B langsung disetorkan kepada pemilik modal yang dikenal dengan nama Romo Budi dan Gus Rudi,” ujar ibu tiga anak itu.
Selain Romo Budi dan Gus Rudi, ada pihak manajemen yang menentukan besaran pinjaman yang akan disalurkan kepada caleg. Dari pengakuan NZ, pihak manajemen itu bernama Bambang Eko dan Aji.
Selama bergabung dalam bisnis itu, NZ hanya kenal dan berkomunikasi dengan Gus Rudi dan Irfan. Berdasarkan penuturan Gus Rudi, dana pinjaman baru akan diberikan kepada caleg mendekati masa kampanye, yakni pada akhir November 2023.
”Mengenai besaran yang disetujui termasuk bunga yang dibebankan kepada caleg itu tergantung kesepakatan mereka (caleg) dengan Romo Budi,” kata NZ.
Iming-iming pinjaman tanpa jaminan ini tidak hanya diminati oleh calon anggota legislatif, tetapi juga calon kepala daerah. Dari jumlah proposal yang dikirimkan, setidaknya ada 50 peserta pilkada yang mengajukan pinjaman dengan nominal pinjaman beragam.
”Yang paling besar adalah untuk calon gubernur yang bisa mendapatkan dana sekitar Rp 70 miliar. Ada dari partai (politik) besar,” kata NZ.
Tersangka
Kepala Kepolisian Sektor Tambora Komisaris Putra Pratama mengatakan, pihaknya telah menetapkan NZ sebagai tersangka. NZ tinggal di kawasan Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Pada Minggu (5/11/2023), ia menjanjikan pinjaman uang tanpa jaminan kepada M untuk kebutuhan mencalonkan diri sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta.
”Dari pemeriksaan, uang dari M hanya sampai ke NZ. Ada lagi korban lainnya yang direkrut NZ untuk menerima pinjaman tanpa jaminan berinisial B yang sampai saat ini belum membuat laporan. B berdomisili di Sumatera Selatan, caleg DPR RI. B menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta dan uangnya bergeser ke pelaku lainnya (Gus Rudi dan Romo Budi),” kata Putra.
Dalam praktiknya, kata Putra, NZ hanya berperan sebagai agen atau makelar. Dari hasil pemeriksaan, NZ dikendalikan oleh Gus Rudi dan Romo Budi yang berperan sebagai pemodal. Lalu, ada pula manajemen yang mengatur sistem atau aturan terkait besaran pinjaman yang akan disetorkan kepada para calon pejabat.
Pemenuhan dan kebutuhan untuk mendapatkan uang cepat membuat seseorang tidak berpikir rasional. Dia masuk dalam perangkap tipu daya pelaku yang sebenarnya memanfaatkan korban.
Untuk meyakinkan para calon peminjam, pemodal mengajak para caleg bertemu di Surakarta, Jawa Tengah, September 2023. Salah satunya caleg berinisial M. Namun, setelah pertemuan dan dua minggu sejak memberikan uang ke NZ, M tak kunjung menerima koper berisi uang yang dijanjikan. NZ selalu bilang agar M bersabar.
Merasa curiga, M melaporkan dugaan penipuan ke Polsek Tambora. Atas perbuatannya, NZ dijerat dengan Pasal 378 KUHP atau Pasal 372 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Banyak korban
Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, tak tertutup kemungkinan ada banyak korban caleg atau pejabat lain terjerat kasus serupa. Hanya saja, tidak banyak di antara mereka yang terekspos karena akan merugikan dirinya dan berdampak pada partainya. Integritas nama dan partai politik akan tercoreng karena tindakan yang memalukan itu.
”Ini kasus yang unik, ingin mendapatkan hasil cepat yang besar, (tetapi) justru tertipu. Alih-alih meminjam ke lembaga resmi, mereka memilih jalan pintas. Pemenuhan dan kebutuhan untuk mendapatkan uang cepat membuat seseorang tidak berpikir rasional. Dia masuk dalam perangkap tipu daya pelaku yang sebenarnya memanfaatkan korban,” tutur Josias.
Josias menduga, dalam aksi penipuan itu, pelaku tidak sendiri. Ada pelaku lain yang terlibat. Hal itu karena perlu kecakapan untuk menjerat korban. Selain itu, pelaku mengerti dunia politik sehingga berani menciptakan peluang karena ada kebutuhan yang dicari oleh para caleg dan pejabat.
Menurut Josias, untuk menjadi caleg atau pejabat, tidak bisa cepat dan butuh persiapan lama, terutama terkait finansial. Kecuali orang itu merupakan golongan ekonomi kelas atas. Pengecualian lainnya, orang itu mendapat dukungan penuh dari berbagai kalangan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pemilihan umum.
Akan tetapi, yang terjadi saat ini, orang-orang itu bukan dari kalangan kelas ekonomi atas sehingga perlu mencari pemasukan instan. Padahal, hal itu berisiko. Tindakan itu, jika berlanjut sampai caleg bersangkutan terpilih, akan merugikan rakyat karena berpotensi besar memantik korupsi dalam berbagai bentuknya.