Mereka ”Ogah” Pindah meski Langganan Banjir
Meski dilanda banjir puluhan kali, sejumlah warga bertahan tanpa berniat pindah ke lokasi lain. Mereka sudah memiliki cara menyambut genangan itu.
Sudah empat tahun Ferdi (40) tinggal di sekitar bantaran Sungai Ciliwung tepatnya di RT 003 RW 007 Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Sejak itu, setidaknya ia telah kebanjiran 10 kali.
Jarak antara rumah Ferdi dan Kali Ciliwung hanya sekitar 50 meter. Ia menjadi jajaran terdepan terkena dampak kala sungai itu meluap. Itu karena rumah lain sudah digusur terkena proyek normalisasi Ciliwung.
Di rumah dua lantai berukuran sekitar 7 x 5 meter itu, Ferdi tinggal bersama istri dan dua anaknya. Mereka pun telah menata barang sedemikian rupa sebagai persiapan kala banjir melanda.
Baca juga: Banjir Rendam Rumah Ratusan Keluarga di Kampung Melayu
Sebagian besar barang Ferdi letakkan di lantai dua rumah, hanya televisi dan tempat tidur yang diletakkan di lantai satu. ”Tujuannya ketika banjir tidak banyak barang yang dipindahkan,” katanya, Rabu (8/11/2023).
Terbaru, ia mengalami banjir pada Minggu (5/11/2023). Saat itu, ketinggian banjir mencapai 1 meter, tetapi hanya berlangsung tiga jam.
Walau banjir tergolong singkat, kerugian yang dialami cukup besar, yakni Rp 1 juta, karena barang-barang yang terendam. ”Beberapa barang kami rusak, seperti lemari dan rak piring. Sementara barang elektronik sudah dipindahkan ke lantai dua,” kata Ferdi.
Banjir memang sudah menjadi hal lumrah baginya. Alhasil, sebelum banjir datang, ia sudah melakukan berbagai persiapan terlebih dulu, yakni memantau informasi ketinggian air di Katulampa Bogor, Manggarai, dan Depok melalui situs resmi.
Walau banjir tergolong singkat, kerugian yang dialami cukup besar, yakni Rp 1 juta, karena barang-barang yang terendam.
Ketika ketinggian air di tiga tempat itu sudah pada siaga dua, ia segera memindahkan barang ke lantai dua rumahnya. Biasanya, selang waktu antara kenaikan debit air di Katulampa sampai ke Ciliwung sekitar 6 jam.
Selain itu, ia juga selalu memantau grup Whatsapp untuk memastikan kapan harus mengevakuasi diri. Biasanya, kala banjir terjadi, wanita, kelompok lansia, dan anak-anak menjadi prioritas untuk diungsikan. Sementara pria berjaga di rumah sembari memindahkan barang ke tempat yang lebih aman.
Banjir terparah terjadi pada 2020 lalu, ketinggiannya mencapai 3 meter dengan lama banjir sekitar 7 hari. Banjir itu membuat banyak barangnya rusak.
Baca juga: Banjir Merendam Musi Rawas, Terparah dalam Lima Tahun Terakhir
Meski demikian, Ferdi enggan pindah dari rumahnya karena dianggap biaya kontrak yang murah, yakni Rp 750.000-Rp 900.000 per bulan. Selain itu, juga dekat dengan pusat kota.
Lantai satu rumah warga RT 013 RW 004, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Rosmalia (33), juga masih lapang tanpa kursi, meja, serta barang-barang elektronik pada umumnya. Di sana hanya terdapat satu rice cooker, meja untuk berjualan, serta ban maupun pelampung yang siap digunakan saat banjir melanda.
Saat mengetahui Jakarta akan memasuki musim hujan, ia dan warga lainnya berbondong-bondong memindahkan beberapa barang elektronik yang masih terletak di lantai satu.
Baca juga: Hujan Lebat di Akhir Pekan, Ujian Pengendali Banjir Jakarta
”Barang-barang elektronik ditaruh di lantai dua semua. Kalau tidak, nanti kalau banjir lagi repot mindahinnya,” ujarnya.
Warga di Kampung Melayu sudah akrab dengan banjir sehingga mereka selalu siap dan waspada saat hujan deras yang berpotensi mengakibatkan banjir.
Selain memindahkan barang-barang berharga, Rosmalia juga selalu menyiapkan alat penerangan, seperti senter dan lilin, saat musim hujan. Sebab, banjir yang melanda wilayahnya biasanya sampai 1,7 meter hingga 2 meter. Akibatnya, listrik di sana padam.
Sebelumnya, banjir dengan tinggi 1,7 meter melanda kawasan itu pada Sabtu malam (4/11/2023) hingga Minggu malam (5/11/2023). Banjir tersebut membenamkan lebih kurang 150 rumah warga di RW 004 dan RW 005. Beberapa rumah yang berada tepat di bantaran Kali Ciliwung pun rusak.
Warga lainnya, Arman (45), selalu mengecek kondisi rumahnya saat musim hujan akan tiba. Jika ada bagian yang rusak, ia segera memperbaikinya agar tidak semakin parah saat banjir menghantam.
Lihat juga: Banjir Rendam 27 RT di Kampung Melayu
Saat terjadi banjir, Arman juga menitipkan sepeda motornya di rumah saudaranya yang tidak terdampak banjir. Saat membutuhkannya untuk bekerja, ia terpaksa harus melewati genangan air menggunakan ban. Ia baru bisa berganti seragam kerja saat berada di tempat aman.
”Ini sudah menjadi rutinitas saya setiap tahun, sudah biasa. Mau pindah rumah juga mahal,” tutur Arman.
Golkar (53), warga RW 003 Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, juga telah terbiasa dengan banjir. Baginya, banjir merupakan tamu tahunan yang tidak pernah lupa berkunjung ke daerahnya. ”Sejak tahun 1997, banjir selalu datang setiap tahun,” katanya.
Dia berharap keberadaan sodetan Ciliwung dapat menyelesaikan masalah banjir. ”Kalaupun banjir tidak bisa hilang, setidaknya bisa cepat surut,” kata dia.
Ahli hidrologi dari World Resources Institute (WRI), Yudhistira Satya Pribadi, mengatakan, warga yang tinggal di bantaran sungai akan terbiasa dengan kondisi banjir. ”Mereka pasti sudah terbiasa dengan banjir dan telah tahu bagaimana menanggulanginya,” kata Yudistira.
Baca juga: Banjir Terus Terjadi, Masyarakat Kendeng Surati Presiden
Misalnya, membangun bangunan bertingkat sebagai tempat evakuasi barang atau memahami situasi pergerakan aliran sungai. Dibutuhkan kerja sama antarpihak agar warga yang tinggal di kawasan rawan tidak berlama-lama terjebak dalam banjir.
Yang pasti adalah dengan memperbesar ruang air, salah satunya melalui revitalisasi sungai, waduk, situ, dan lainnya. Memang proses ini membutuhkan waktu terutama di tahap pembebasan lahan. Namun, hal itu harus dilakukan untuk kepentingan bersama, yakni dapat meminimalisasi banjir.
Sembilan langkah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyarankan sembilan langkah tatkala musim hujan datang dengan potensi banjir. Warga, terutama di area rawan banjir seperti bantaran kali, dianjurkan rutin mengecek informasi terbaru dari media sosial BPBD DKI Jakarta dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Jika bermukim dekat sungai, cek juga tinggi muka air. Saat tinggi muka air terus naik, sebaiknya bersiap untuk mengungsi.
Pastikan pula menyimpan nomor darurat dan informasikan kepada seluruh keluarga. Begitu pun surat berharga, masukkan dalam plastik, letakkan di tempat aman, dan infokan kepada seluruh keluarga.
Selanjutnya, menyiapkan tas siaga bencana. Tas ini berisi pakaian dan alat kesehatan, serta kebutuhan pribadi untuk tiga hari.
Jika bermukim dekat sungai, cek juga tinggi muka air. Saat tinggi muka air terus naik, sebaiknya bersiap untuk mengungsi.
Aset atau barang berharga dapat dipindahkan ke lantai dua rumah atau tempat lebih tinggi. Alat elektronik dapat dibungkus plastik jika memungkinkan dan pastikan mencabut regulator gas dan colokan untuk menghindari kesetrum.
Selamatkan barang mudah dibawa, dijangkau, berharga, dan penting. Hal penting lainnya, sudah tahu lokasi pengungsian di wilayah masing-masing atau dapat menghubungi RT/RW setempat.
Selain berbagi sembilan langkah, BPBD DKI Jakarta turut menggulirkan kegiatan atau pelatihan kebencanaan. Ketua Subkelompok Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Lembaga Basuki Rakhmat menyebutkan, sebanyak 50 kegiatan berjalan setiap tahun. Bentuknya identifikasi wilayah rawan bencana, pertolongan pertama, cara evakuasi saat bencana, dan permintaan bantuan melalui nomor darurat 112.
”Masyarakat sudah lebih siap dari sisi pemahaman. Juga didukung perlengkapan seperti perahu, pelampung, tali tambang, dan senter,” ujar Basuki.
Baca juga: Banjir Terus Terjadi di Sumsel, Pemda Diminta Tegas Kelola Kawasan Hulu
Pemahaman warga yang sudah lebih baik itu pun terus-menerus dikuatkan. Misalnya, di beberapa kelurahan berlangsung pelatihan cara mendirikan tenda, menolong korban di permukaan air, dan simulasi.
”Kami dorong supaya warga punya kemampuan minimal penanganan di awal kejadian bencana,” kata Basuki.
BPBD DKI Jakarta juga menginformasikan peringatan dini melalui grup pesan percakapan, media sosial, pengeras suara, dan pesan singkat. Informasinya, antara lain, potensi curah hujan dan tinggi muka air.
Intinya, perlu banyak strategi untuk beradaptasi di lingkungan rawan banjir. Apalagi jika tak mau pindah dari sana.