Pengorbanan Alvaro demi Perbaikan Layanan RS di Bekasi
Kematian Benediktus Alvaro Derren diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk membenahi sistem rujukan. Proses rujukan yang cepat memperbesar peluang pasien untuk selamat.
Albert Francis (38), ayah Benediktus Alvaro Derren (7), menaburkan bunga bakung di atas pusara anaknya yang dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Pedurenan, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (4/10/2023). Alvaro meninggal dunia setelah 12 hari mengalami koma akibat didiagnosis mati batang otak pasca-operasi amandel.
”Tenang di surga ya Nak, tunggu kami di sana,” ujar Albert yang terus menangis. Dia tidak menyangka akan kehilangan anak keduanya begitu cepat.
Tidak hanya Albert, ibu dan kakak Alvaro, Delima Sinaga (36) dan Vincentius Evan Derren (9), juga tampak sangat sedih dengan kepergian anggota keluarganya itu. Air mata seakan tidak berhenti mengalir.
Bagi mereka, Alvaro bagaikan perekat keluarga. ”Saat kami sedang berantem, dia selalu menyatukan kami dengan tingkah kocaknya,” ujar Albert.
Baca juga: Alvaro Meninggal, Keluarga Tempuh Jalur Hukum
Tidak hanya supel, Alvaro juga menjadi anak yang sangat cerdas. Kelakuannya terkadang sulit ditebak. Ayahnya mengingat ketika Alvaro ngotot membeli es krim hanya untuk mendapatkan batang es krim yang akan digunakan untuk membuat kerajinan tangan.
Alvaro juga menjadi perekat bagi teman-temannya. ”Di sekolah, Alvaro dikenal aktif dan cerdas,” ujar Yolanda Devina, wali kelas Alvaro di SD Strada Cakung, Bekasi.
Ketika pertama kali mendengar anak didiknya berpulang, ia sangat sedih. Ia teringat Alvaro sebagai siswanya yang periang. ”Dia senang membuat teman sekelasnya tertawa karena sering membuat mimik lucu,” kata Yolanda.
Di bidang akademik, Alvaro juga tergolong pintar. Setiap ujian, nilainya selalu bagus dan cepat menyerap materi yang disampaikan. ”Jika anak lain perlu berkali-kali dijelaskan, untuk Alvaro hanya butuh sekali penjelasan,” ujar Yolanda.
Keceriaan dan Kecerdasan Alvaro harus pergi bersama jasadnya. Ia pergi lantaran tidak mampu bertahan setelah didiagnosis mengalami mati batang otak. Penyakit yang sampai saat ini masih dipertanyakan apa penyebabnya.
Albert mengatakan, sebelum menjalani operasi amandel di RS Kartika Husada Jatiasih, Kota Bekasi, kondisi Alvaro tergolong sehat. Hanya memang, sejak lima tahun lalu Alvaro kerap batuk-batuk dan juga sakit telinga. Kondisi ini juga dialami oleh Vincentius, sang kakak. ”Dengan dioperasi diharapkan penyakit itu bisa hilang,” ucapnya.
Setelah menjalani berbagai observasi dan pemeriksaan, keduanya didiagnosis mengalami pembesaran amandel sehingga harus menjalani operasi pengangkatan amandel. Tim dokter menyatakan operasi ini merupakan operasi sedang yang juga memiliki risiko yang tidak ringan, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Baca juga: Penyelidikan Kematian Alvaro Dimulai Minggu Ini
Hanya saja risiko itu tidak terkomunikasikan dengan baik sehingga Delima tetap menyetujui untuk mengadakan operasi. Sayangnya, pada saat operasi dilaksanakan, tidak ada pemberitahuan lebih dulu.
Kedua anak kakak-beradik itu masuk ke ruang operasi pada Selasa (19/9/2023) tanpa didampingi sang ibu. Alvaro dioperasi pertama kali pada pukul 12.00, sedangkan Vincentius dioperasi setelahnya pada pukul 15.00.
Keduanya dioperasi oleh dokter yang sama dengan metode yang hampir sama pula. Hanya saja hasilnya berbeda. Vincentius bangun dengan kondisi yang sehat. Sebaliknya, Alvaro tidak pernah sadar sampai ajal menjemput.
Ketika Alvaro koma, Albert sempat meminta agar anaknya itu segera dirujuk ke RS lain yang memiliki peralatan penunjang yang lebih lengkap. Namun, hingga sembilan hari setelah operasi tidak ada jawaban berarti dari pihak RS.
Titik terang baru ditemukan ketika direksi dan pemilik RS datang menemui Albert untuk berkomunikasi. Dalam perbincangan itu, pihak RS menyetujui untuk mencari rumah sakit rujukan. ”Saya menyambut baik usaha itu walau agak terlambat,” ujar Albert.
Lihat juga: Kronologi Alvaro, Mati Batang Otak Setelah Operasi Amandel
Lambannya pelayanan ini membuat pihak keluarga mengambil langkah hukum. Cahya Christmanto, kuasa hukum keluarga Albert Francis, mengatakan, upaya hukum ini diambil karena rumah sakit tidak memberikan respons atas somasi yang dilakukan pihak keluarga pada 27 September silam. Dalam somasi itu, keluarga meminta rumah sakit menunjukkan rekam medis Alvaro. Namun, hanya memberikan resume hasil medis dan penjelasan medis.
”Ada sekitar delapan orang terlapor meliputi dokter yang melakukan tindakan. Dari dokter anestesi, THT, spesialis anak, sampai dengan direktur rumah sakit itu,” ujarnya.
Pemilik RS Kartika Husada, Nidya Kartika Yolanda, menjelaskan, rekam medis memang tidak bisa diberikan kepada keluarga pasien karena itu adalah milik RS. ”Rekam medis baru bisa diberikan jika diminta oleh aparat penegak hukum demi kelancaran proses hukum,” ujarnya.
Namun, untuk resume dan penjelasan medis sudah diberikan. Ini sebagai bentuk komitmennya untuk memberikan penjelasan kepada pihak keluarga pasien mengenai kondisi kesehatan pasien secara rutin.
Ia mengakui adanya keterlambatan untuk merujuk pasien karena terhambatnya informasi dari pihak RS. ”Saya baru tahu jika keluarga meminta rekam medis agar Alvaro bisa dirujuk itu ketika saya mendatangi keluarga untuk berkomunikasi lebih lanjut,” katanya.
Nidya menyanggah ada penelantaran pasien. Dia menjelaskan, Alvaro belum bisa dirujuk karena kondisinya yang belum stabil. Sampai dengan meninggal, Alvaro harus dipasangi alat bantu pernapasan berupa ventilator dan beberapa kali menjalani resusitasi jantung paru.
”Kami berupaya yang terbaik untuk keselamatan Alvaro,” ucapnya. Hal ini terbukti dengan upaya timnya untuk mencari RS rujukan. Setidaknya ada 80 RS tipe B dan A yang dikonfirmasi untuk merawat Alvaro.
Mereka (RS rujukan) takut terseret masalah hukum.
Akan tetapi, karena kondisi Alvaro yang sudah kritis dan sudah masuknya kasus ini ke ranah hukum membuat banyak RS yang menolak merawat Alvaro. ”Mereka (RS rujukan) takut terseret masalah hukum,” ucapnya.
Sebenarnya, ujar Nidya, pada Senin (2/10/2022), sudah ada RS yang mau merujuk Alvaro, termasuk juga dokter spesialis. Namun, Tuhan berkehendak lain, di hari yang sama Alvaro pun berpulang.
Tidak hanya Albert, Asep Saefulloh (29) juga harus kehilangan anak keduanya akibat lambatnya pelayanan RS di Bekasi. Pada 2 Desember 2022, istri Asep, Rohimah Rhades Rinna, hendak melahirkan. Namun, dia harus dirujuk berkali-kali di satu klinik dan dua rumah sakit berbeda.
Setelah dirujuk pun, Rohimah tidak langsung dioperasi. Di RS kedua yang berstatus tipe C, ia tidak bisa menjalani proses persalinan karena Rohimah terdeteksi reaktif virus HIV dan hepatitis. Karena tidak memiliki alat yang memadai, Rohimah harus dirujuk ke RS tipe B di Kabupaten Bekasi.
Proses rujukan berlangsung lama, setidaknya Rohimah dan Asep harus menunggu hingga tiga jam. Bahkan, ketika sudah sampai di RS rujukan, Rohimah tidak langsung dioperasi, tetapi harus menunggu lagi hingga tujuh jam. ”Lambannya proses ini membuat anak saya meninggal dunia akibat terlilit tali pusar dan air ketuban yang kotor,” ujarnya.
Lambatnya proses rujukan akan menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Kota Bekasi. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bekasi Fikri Firdaus mengatakan, hingga saat ini Kota Bekasi masih terkendala oleh keterbatasan tenaga medis, terutama dokter spesialis. Bahkan, Bekasi tidak memiliki dokter spesialis neurologi anak, bedah anak, dan jantung anak.
Menurut dia, kondisi itu bisa menjadi masalah saat ada pasien kritis datang ke rumah sakit, tetapi tidak bisa langsung tertangani karena rumah sakit tidak memiliki tenaga medis yang mampu menanganinya.
”Berkaca dari kasus Alvaro yang harus menunggu dokter spesialis dari Jakarta untuk menangani penyakitnya, terutama spesialis neurologi anak,” kata Fikri.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Alvaro, Pemkot Bekasi Akan Perbaiki Sistem Rujukan
Solusi permasalahan rujukan sudah dibahas oleh pihak terkait dan akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Sistem Pelayanan Kesehatan. Saat ini, draf raperda tengah dikaji di tingkat Provinsi Jawa Barat.
Dalam raperda itu tertuang sistem rujukan yang bisa mempercepat penanganan pasien di mana dokter ahli dapat segera menangani pasien di rumah sakit berbeda dengan berbekal surat tugas dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
”Dengan sistem ini diharapkan penanganan pasien bisa lebih cepat sehingga peluang kesembuhan bisa lebih besar,” ucapnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya segera menginventarisasi fasilitas rujukan dan dokter spesialis yang ada di Kota Bekasi agar ketika ada pasien dengan penyakit tertentu dapat segera dirujuk. ”Saya berharap tidak ada lagi pasien yang harus meregang nyawa akibat keterlambatan rujukan,” ucap Fikri.
Walau masih diselimuti duka, Albert sudah memaafkan kelalaian pihak rumah sakit. ”Saya ingin Alvaro tenang di sana. Biarlah dia menjadi martir agar setiap RS bisa mengambil hikmah dan pelajaran supaya mereka mau bekerja dengan hati,” kata Albert.