Bercocok Tanam di Atap Gedung
Pertanian perkotaan atau ”urban farming” banyak dilakukan masyarakat sebagai solusi terbatasnya ruang hijau di Jakarta. Semangat berkebun warga dapat bergema di mana pun, termasuk di ”rooftop” masjid, kantor, atau rumah.
Embusan angin sejuk menyeruak kala menginjakkan kaki di atap Masjid Jami’ At Taqwa, Sunter Agung, Jakarta Utara, Minggu (1/10/2023). Pemandangan hijau sejumlah tanaman dengan background gedung pencakar langit menyapa siapa pun yang memasuki area tersebut.
Dilihat dari bawah, masjid tiga lantai ini tampak seperti masjid pada umumnya. Namun, saat menelusuri satu demi satu tangga hingga menuju bubungan atap (rooftop), berbagai jenis sayuran, seperti kangkung, pakcoy, cabai, kangkung, sawi, bayam, dan buah tin, berjejer menunggu untuk dipanen.
Saat ditemui, pengurus Dewan Kemakmuran Masjid yang juga ketua kegiatan urban farming di atap Masjid Jami’ At Taqwa, Supriyono, mengatakan, semula atap masjid tersebut merupakan lokasi penyimpanan sejumlah barang. Lalu, ia pun melihat adanya potensi yang bisa dimanfaatkan dari atap masjid dan menyosialisasikan gagasannya kepada warga setempat untuk mengoptimalkan lahan tersebut untuk dijadikan area pertanian.
Baca juga: ”Urban Farming” di Jakarta untuk Antisipasi Cuaca Ekstrem
Saat itu masih tahun 2021, di mana pandemi Covid-19 memaksa masyarakat untuk bekerja dari rumah. Guna memperdalam pengetahuan bercocok tanam dengan metode hidroponik, Supriyono juga bergabung dalam pelatihan pemupukan.
”Belajar pemupukan hidroponik sangat penting karena jika takaran pupuk tidak pas, maka kualitas tanaman yang dihasilkan tidak akan bagus,” katanya.
Awalnya, pertanian perkotaan di atap masjid ini bermodalkan empat bak saja. Namun, seiring berjalannya waktu, pertanian itu semakin luas dengan aneka jenis tanaman. Selain dibutuhkan kerja sama antartim untuk mengurus tanaman, diperlukan pula ketekunan warga agar proses penanaman hingga panen berjalan dengan baik.
Supriyono beserta anggota lainnya bergantian pada pagi dan sore hari untuk merawat berbagai tanaman tersebut. Ia mengatakan, banyak masyarakat yang turut mengelola kegiatan tersebut, termasuk para pengurus masjid dan ibu-ibu anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
”Kami membagi anggota menjadi beberapa tim, seperti ada tim perawatan, pemasaran, dan penanaman,” tutur Supriyono.
Lihat juga: ”Urban Farming”, Pertanian Modern di Perkotaan
Sayur dari hasil panen itu biasanya disuplai ke pasar lokal, restoran, dan supermarket. Sayur yang bakal dikirim benar-benar diseleksi dengan teliti agar lolos pengecekan kualitas. Sayur tersebut dijual dengan harga yang berbeda-beda, tergantung grade sayuran. Saat ini, Supriyono dan para anggota tengah fokus untuk memproduksi kangkung.
”Kalau ke perusahaan ada kualifikasinya. Mereka biasa memesan kangkung yang tingginya maksimal 34 centimeter dengan harga Rp 20.000 per kilogram,” katanya.
Hasil dari penjualan tersebut untuk menambah penghasilan para anggota. Selain itu, hasil penjualan juga sebagai pemasukan masjid dan dimanfaatkan pula untuk konsumsi warga sekitar.
Meskipun begitu, hasil pertanian ini tidak selalu mencukupi permintaan sayur. Sekali panen, kebun ini terkadang hanya mampu memenuhi kuota sebesar 80 persen sayur. Untuk kekurangannya, pengelola biasanya mengakalinya melalui menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas hidroponik di wilayah DKI Jakarta.
Supriyono berharap pertanian di atap tersebut dapat terus berkembang dan bermanfaat bagi warga sekitar. Melalui urban farming tersebut, ia merasa senang bisa mendukung program pemerintah dalam menghijaukan DKI Jakarta.
Pertanian di atas gedung juga dilakukan pengelola HSC Urban Farm di Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan. Pihaknya kini berhasil mengembangkan berbagai tanaman hidroponik, microgreens, budidaya ikan (akuaponik) sekaligus sebagai tempat pelatihan bagi para peminat pertanian urban.
Warga bisa menggunakan lahan di atas rumah atau kantor yang biasanya untuk AC dan jemuran untuk berkebun. Selain itu, bisa juga berkebun dengan menggunakan botol plastik bekas yang ditempel di dinding-dinding rumah. Jadi tidak ada alasan untuk mengeluhkan keterbatasan lahan. (Fajar Wiryono)
HSC Urban Farm memiliki sekitar 100 jenis macam sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, bunga, tanaman herbal, dan tanaman produktif lainnya. Tanaman ini ditanam di berbagai media tanam, baik di atas tanah, dinding, maupun rak tanaman yang berada di atas atap bangunan seluas lebih kurang 400 meter persegi tersebut.
”Warga bisa menggunakan lahan di atas rumah atau kantor yang biasanya untuk AC dan jemuran untuk berkebun. Selain itu, bisa juga berkebun dengan menggunakan botol plastik bekas yang ditempel di dinding-dinding rumah. Jadi tidak ada alasan untuk mengeluhkan keterbatasan lahan,” ujar Ketua HSC Urban Farm Fajar Wiryono.
Microgreens merupakan salah satu andalan sayur yang ia pasarkan. Sayuran ini merupakan selada yang masih ”bayi” dengan umur lebih dari satu minggu. Microgreens biasanya untuk campuran salad, dibuat jus, sebagai garnish, atau menjadi sayuran tambahan di dalam sandwich.
Selain menjual tanaman jadi, Fajar beserta timnya juga menyiapkan perlengkapan awal untuk menanam. Selain itu, ia juga membudidayakan ikan lele secara aquaponik yang berada di bawah rak hidroponik.
Baca juga: ”Urban Farming” Malang, dari Kantor Kecamatan hingga Rumah Warga
Berkat pengalamannya, Fajar juga sering memberikan berbagai pelatihan terkait urban farming bagi kalangan masyarakat, mulai dari ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, hingga pegawai kantoran. Ia bergabung dalam Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) sebagai seseorang yang menggawangi pendidikan dan pelatihan.
”Sejak tahun 2016 bergabung di Maporina, saya fokus menjalani urban farming. Kuncinya itu cuma niat, telaten, dan kesabaran,” ujarnya.
Menekan polusi udara
Kota-kota besar seperti DKI Jakarta sering dikaitkan dengan kepadatan penduduk, lahan yang terbatas, dan minimnya ruang hijau. Urban farming merupakan solusi dalam permasalahan keterbatasan lahan pertanian akibat pembangunan perkotaan yang semakin pesat. Apalagi, saat ini polusi udara juga sedang menggila di Jakarta dan sekitarnya.
Manfaat urban farming tidak hanya sebagai penghijauan semata, tetapi juga dapat untuk meningkatkan kualitas udara dan mengurangi polusi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yang, Yu, dan Gong (2008) dari Universitas Massachusetts di Amerika Serikat, setiap penerapan urban farming sebesar satu hektar, polutan udara dapat dikurangi hingga 86 kilogram per tahunnya.
Dalam penelitiannya pada tahun 2011 yang berjudul ”Green Roofs as a Means of Pollution Abatement”, peneliti Daniel B Rowe dari Marquette University menyatakan, tanaman memiliki kemampuan untuk membersihkan udara dengan kemampuan menyerap polutan di udara melalui stomata yang ada pada daun. Daun pada tanaman juga dapat menahan particulate matter (PM). Selain itu, tanaman mampu memecah senyawa organik tertentu, misalnya senyawa hidrokarbon poliaromatik, melalui jaringan tanaman dan di dalam tanah.
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Mukhammad Faisol Amir, mengatakan, pertanian perkotaan di Jakarta juga merupakan kesadaran masyarakat urban akan isu ketahanan pangan. Menurut dia, pertanian perkotaan memberikan dampak positif terhadap masyarakat, terutama terkait kesadaran praktik pertanian berkelanjutan serta pemanfaatan lahan yang minim.
Menanam sayur dapat dijadikan aset masa depan untuk keluarga yang berkualitas. Dengan terus merawatnya, sayuran yang tumbuh dengan sehat dapat diperjualbelikan di swalayan atau masyarakat sekitar untuk menambah penghasilan sehari-hari.
”Urban farming dapat membuka akses terhadap pangan yang murah, berkualitas, dan bergizi terutama bagi masyarakat dengan penghasilan rendah di perkotaan,” katanya.
Tidak perlu menunggu memiliki halaman luas untuk memulai menanam. Melalui teknologi yang terus berkembang, warga urban bisa mulai menjadi petani mandiri dengan memanfaatkan lahan di area sekitar, seperti di atap rumah atau gedung.
Lihat juga: Urban Farming, Siasat Warga Kota Memanfaatkan Ruang