Menunggu Solusi Jangka Panjang Penanganan Polusi Udara Jakarta
Pemerintah perlu fokus menangani isu polusi udara dalam jangka panjang. Terlebih di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F06%2F33d38c5e-f5f9-41e0-bdf6-da3deed91ec1_jpg.jpg)
Pengendara melewati Monumen Ondel-ondel di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (6/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan polusi udara dinilai cenderung sporadis. Alhasil, kadar polusi udara di Jakarta dan sekitarnya masih belum membaik hingga saat ini. Pemerintah harus fokus pada penanganan jangka menengah dan jangka panjang untuk menekan polusi udara, salah satunya pengendalian emisi kendaraan bermotor dengan penghentian penggunaan BBM kotor.
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir, Selasa (26/9/2023) pukul 13.00, Jakarta mencatatkan konsentrasi partikel polutan atau polutan particulate matter 2.5 (PM2,5) sebesar 41,9 mikrogram per meter kubik. Pada waktu tersebut, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 117 (tidak sehat bagi kelompok sensitif) dan berada pada nomor lima tertinggi di Indonesia.
Pemerintah memang telah berupaya untuk mengurangi polusi udara, yang dimulai dari kebijakan bekerja dari rumah (work from home), pemasangan water mist generator atau generator kabut air, hingga membuat hujan buatan. Namun, beberapa upaya tersebut hanya solusi jangka pendek untuk menyelamatkan wajah negara ketika menjamu para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di Jakarta yang berlangsung pada 5-7 September 2023.
Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Mengancam Kesehatan Warga
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menilai, pemerintah harus segera melakukan langkah cepat dalam mengendalikan pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya yang melibatkan intersektor dan multi-stakeholder dalam satu bulan ini.

Kondisi kualitas udara wilayah Jabodetabek periode April-Mei 2023 dalam paparan Nafas Indonesia di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Mengingat sumber utama pencemaran udara di wilayah Jakarta adalah kendaraan bermotor, cara strategis penanganan polusi udara adalah pengendalian emisi kendaraan bermotor dengan penghentian penggunaan BBM kotor.
Selain itu, juga membatasi penggunaan kendaraan pribadi, mengembangkan zona rendah emisi, mengenakan cukai emisi dan mengetatkan baku mutu emisi kendaraan, serta konsisten mengadakan razia emisi kendaraan.
Menurut Safrudin, pemerintah harus rutin melakukan razia emisi dan penindakan terhadap pencemar secara ketat. Razia emisi kendaraan bermotor harus dilakukan oleh Dirlantas Polda Metro Jaya dengan dampingan DLH DKI Jakarta dan juga kota-kota satelit lainnya.
Penghentian razia emisi kendaraan yang sempat dilakukan sekali pada 1 September 2023 dinilai membangkang amanat beberapa undang-undang, seperti UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya.
Krisis pencemaran udara berdimensi pada ketahanan nasional sehingga saatnya menata pengendalian pencemaran udara untuk jangka pendek, menengah, dan panjang secara komprehensif yang mencakup emisi sumber bergerak, sumber tidak bergerak, dan non-point source.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F25%2F018b08a2-111c-4967-a8f4-63d2fbf62715_jpg.jpg)
Kepadatan lalu lintas kendaraan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2023).
Selanjutnya, pemerintah perlu memberlakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi melalui kebijakan electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar, yakni tarif parkir progresif dan kewajiban kepemilikan garasi bagi pemilik kendaraan bermotor.
Kemudian, menghapus bahan bakar RON 90 dan solar dengan kadar belerang lebih dari 50 ppm dan menggantikannya dengan BBM yang lebih berkualitas. Serta, konsisten adopsi kendaraan listrik dan konversi kendaraan lama atau angkutan umum yang telah beroperasi ke kendaraan listrik.
Pemberlakuan kawasan rendah emisi untuk kawasan yang telah memiliki fasilitas angkutan umum massal, fasilitas pejalan kaki, dan fasilitas lajur sepeda juga dinilai perlu dilakukan.
”Krisis pencemaran udara berdimensi pada ketahanan nasional, sehingga saatnya menata pengendalian pencemaran udara untuk jangka pendek, menengah, dan panjang secara komprehensif yang mencakup emisi sumber bergerak, sumber tidak bergerak, dan non-point source,” kata Safrudin.
Baca Juga: Kerugian akibat Polusi Triliunan Rupiah, Warga Gugat Pemerintah dan Industri
Safrudin melanjutkan, jumlah bengkel untuk uji emisi dan jumlah kendaraan di Jakarta tidak relevan. Dengan total kendaraan di DKI Jakarta yang mencapai 24.596.777 unit (2022), maka jumlah kendaraan yang harus di-tune up dan diuji emisi sekitar 67.388 unit/hari. Jumlah bengkel yang reliable tune up dan uji emisi hanya 235 unit, dengan kemampuan melakukan tune up dan uji emisi kendaraan 16 unit/hari pada setiap bengkel.
Dengan demikian, l cara terbaik adalah melaksanakan pengawasan emisi (razia emisi) dan mengenakan tilang dengan sanksi atau denda terberat. Oleh sebab itu, akan tercipta efek jera yang mampu mendorong kepedulian masyarakat untuk senantiasa merawat kendaraannya secara rutin sesuai ketentuan.

Kebijakan sporadis
Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengatakan, pemerintah perlu fokus penanganan jangka menengah dan panjang untuk mengatasi masalah polusi udara. Terlebih, di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Trubus menilai, saat ini pemerintah pusat seakan lepas tangan kepada setiap kebijakan yang dibuat pemerintah daerah dalam menekan polusi udara. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diambil Pemprov DKI Jakarta dalam penanganan polusi udara juga cenderung sporadis.
”Kebijakan yang dibuat Pemprov DKI cenderung bersifat sporadis, seolah hanya agar terlihat adanya suatu upaya. Akan tetapi, itu semua tidak sungguh-sungguh,” kata Trubus.
Salah satu kebijakan yang ia soroti ialah uji emisi bagi kendaraan bermotor. Menurut Trubus, hal itu merupakan solusi jangka panjang dalam mengurangi polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor.
Baca Juga: Polusi Udara dan Perlindungan Masyarakat Rentan
Namun, dengan meniadakan kembali kebijakan uji emisi, Pemprov DKI tidak konsisten dalam membuat kebijakan tersebut. Padahal, pemerintah sebelumnya menggencarkan sosialisasi tentang pentingnya uji emisi. Trubus menduga, kembali ditiadakannya tilang uji emisi oleh Pemprov DKI karena masih banyak kendaraan operasional Pemprov DKI yang berusia lanjut dan terindikasi tidak lolos uji emisi.
Sebagai pemangku kebijakan tertinggi, menurut Trubus, pemerintah pusat harus memberikan arahan yang tepat kepada daerah yang menjalankan kebijakan untuk menekan polusi udara. ”Pemerintah pusat harus berperan lebih besar untuk mempertemukan kepala daerah di wilayah penyangga Jakarta. Harus ada kolaborasi antara daerah penyangga dalam mengurangi polusi di ibu kota,” kata Trubus.

Selain itu, kementerian dan lembaga juga harus ikut berperan dalam membantu penanganan masalah polusi udara. Dengan kolaborasi yang tepat bersama pemerintah daerah, diharapkan akan menciptakan kebijakan jangka panjang. Trubus berharap, DPR dapat terus memberi tekanan kepada pemerintah agar segera menangani polusi udara dengan lebih baik.
”Negara harus menjamin kesehatan warga, salah satunya dengan fokus dalam penanganan polusi udara. Sebab, dampak negatif yang dibuat oleh buruknya kualitas udara merupakan masalah kesehatan yang terus menghantui masyarakat,” ujarnya.
Hal ini terbukti dari data IQAir, di mana polusi udara menyebabkan 8.100 kematian di Jakarta selama 2023 serta membawa kerugian sekitar Rp 32,09 triliun. Sementara data Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mencatat, ada 638.291 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Jakarta pada periode Januari hingga Juni 2023.
Baca Juga: Solusi Jangka Pendek Itu ”Water Mist Generator” Seharga Rp 50 Juta
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus ISPA non-pneumonia di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek) pada 29 Agustus sampai 6 September 2023 mencapai 90.546 kasus. Pada 3 September 2023, dilaporkan kasus harian sebanyak 4.759 kasus. Jumlah itu naik signifikan menjadi 11.116 kasus pada 4 September dan kembali meningkat menjadi 16.074 kasus pada 5 September.
Belum maksimal
Adapun salah satu solusi jangka pendek yang digencarkan terkait isu polusi udara adalah imbauan pemasangan generator kabut airpadasetiap gedung tinggi di Jakarta. Akan tetapi, pemasangan kabut air belum berjalan maksimal karena masih ada kendala mengenai terbatasnya penjualan alat seharga Rp 50 juta tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Balai Kota pada Senin (25/9/2023) mengatakan, hingga saat ini, belum semua gedung perusahaan swasta di Ibu Kota memasang generator kabut air. Sebelumnya, ia menyebutkan ada sekitar 300 gedung yang akan memasang water mist secara massal demi mengatasi polusi udara.
”Ini masih tergantung dari keberadaan alat itu di pasaran. Memang sampai saat ini masih belum banyak alat itu dijual di pasar. Pemilik gedung juga sampai saat ini masih menunggu alat itu bisa dipasarkan secara masif oleh penyedianya,” kata Asep.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F25%2Fd09daa89-69ea-4b7f-8c6d-2f26c6e663d3_jpg.jpg)
Kepadatan lalu lintas kendaraan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2023).
Asep menyampaikan, tidak ada target waktu untuk pemasangan generator kabut air bagi pemilik gedung swasta di DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta hanya berharap ratusan gedung swasta itu bisa memasang alat tersebut.
Juru Bicara Satgas Pengendalian Pencemaran Udara DKI Jakarta Ani Ruspitawati mengatakan, baru 79 dari 300 gedung swasta di Ibu Kota yang telah memasang generator kabut air. Gedung swasta tersebut tersebar di lima kota administrasi DKI Jakarta.
Di wilayah Jakarta Barat terdapat 27 gedung swasta yang telah memasang generator kabut air, di Jakarta Selatan 40 gedung, Jakarta Pusat sebanyak empat gedung, Jakarta Utara empat gedung, dan Jakarta Timur juga empat gedung.
”Penggunaan water mist juga telah dipasang di tujuh gedung Pemprov DKI Jakarta, yaitu di lima Kantor Wali Kota dan dua Balai Kota DKI Jakarta,” kata Ani.