Menjajal Sepur Pucuk Palak di Ibu Kota Negara
LRT Palembang dan LRT Jabodebek bagai saudara kandung dengan beragam kelebihan dan kekurangannya. Namun, keduanya memiliki peran penting, yakni menjadi opsi angkutan umum bagi setiap warga kota.
Sepur pucuk palak dalam bahasa Palembang berarti kereta di atas kepala. Istilah ini dicetuskan oleh Gubernur Sumatera Selatan periode 2008-2018, Alex Noerdin, kala mempromosikan kereta ringan (light rail transit/LRT) sebagai salah satu moda transportasi massal yang digunakan pada Asian Games 2018 di Palembang. Kala itu, kota berjuluk ”Bumi Sriwijaya” itu menjadi tuan rumah gelaran olahraga terbesar di Asia itu mendampingi Jakarta.
Kini sang adik bungsu, yakni LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek), telah lahir. Berselisih usia sekitar lima tahun, keduanya tentu memiliki kekhasan masing-masing.
Ketika diresmikan Presiden Joko Widodo pada 28 Agustus 2023, LRT Jabodebek sudah membetot perhatian warga. Selain beroperasi di atas ketinggian yang menyuguhkan kemegahan kota Jakarta termasuk kemacetannya, moda transportasi menunjukan kegagahannya melalui beragam kecanggihan yang mumpuni.
Baca juga: Minimnya Angkutan Pengumpan Picu Rendahnya Okupansi LRT Jabodebek
Hal yang paling mencolok, yakni disematkannya teknologi otomasi derajat tiga atau grade of automation 3 (GOA 3) yang memungkinkan kereta LRT beroperasi tanpa masinis di dalam kabin. Dengan teknologi anyar itu, penumpang pun dibuat berdecak kagum.
Mereka tak henti mendokumentasikan kecanggihan moda transportasi bernilai investasi Rp 32,6 triliun itu. Dari sisi keamanan juga tak perlu diragukan. Ke 18 stasiun LRT Jabodebek juga dilengkapi pembatas antara kereta dan peron, termasuk petunjuk arah secara digital dan konvensional beserta petugas yang tidak lelah memberikan penjelasan secara detail kepada penumpang.
LRT dengan panjang ruas jalur mencapai 44 kilometer ini juga mulai diintegrasikan dengan moda trasportasi massal lainnya, mulai dari bus rapid transit (BRT) Transjakarta, mass rapid transit (MRT), dan kereta rel listrik (KRL). Sistem transportasi massal yang telah terintegrasi ini menjadi alternatif bermobilitas bagi warga Jakarta dan sekitarnya untuk dapat terbebas dari belenggu kemacetan.
Harian Kompas pun menjajal LRT dari Stasiun Pegangsaan II, Jakarta Utara, menuju ke Stasiun LRT Velodrome Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Setelah melewati enam stasiun dengan jarak 5,8 km, perjalanan diteruskan dengan menumpangi bus Transjakarta dari Halte Pramuka menuju ke Halte Dukuh Atas. Bus melaju dengan gagah di jalur yang telah steril tanpa terganggu kendaraan pribadi.
Sesampainya di Halte Dukuh Atas, perjalanan kembali dilanjutkan dengan menggunakan LRT Jabodebek dari Stasiun Dukuh Atas menuju Stasiun LRT Cikoko. Dalam perjalanan yang menelan waktu sekitar 90 menit itu, biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 15.000. Proses pembayaran pun sudah dilakukan secara digital. Tidak ada lagi pembayaran secara tunai.
Kalau bisa dalam waktu dekat, jumlah penumpang LRT bisa mencapai 50.000 orang.
Dengan beragam keunggulan itu, Manajer Humas LRT Jabodebek Kuswardoyo mengatakan, dalam 16 hari pengoperasiannya, rata-rata keterisian penumpang di LRT Jabodebek mencapai 36.000 orang. Kebanyakan penumpang adalah pekerja menuju tempat kerjanya dan warga yang memang penasaran dengan moda transportasi ini.
Sebenarnya, dengan kapasitas yang ada, LRT Jabodebek ditargetkan mampu mengangkut 137.000 penumpang dengan 434 perjalanan sehari yang dilayani 31 rangkaian kereta.
Untuk 11 rangkaian kereta cepat diproyeksi melayani 68 perjalanan per hari dan mengangkut 30.000 penumpang harian dalam lima tahun pertama. ”Kalau bisa dalam waktu dekat, jumlah penumpang LRT bisa mencapai 50.000 orang,” kata Kuswardoyo.
LRT Palembang
Untuk LRT Palembang belum secanggih LRT Jabodebek. Kereta masih dikendalikan oleh masinis. Kapasitasnya pun tidak sebanyak LRT Jabodebek. Hingga 2023, tingkat keterisian Palembang masih sekitar 10.000 penumpang per hari dengan 94 perjalanan setiap hari.
Fungsi awal LRT Palembang saat itu adalah untuk mengantarkan atlet dari sejumlah negara di Asia dari Bandara Internasional Sultan Mahmud (SMB Badaruddin (SMB) II Palembang menuju Kompleks Olahraga Jakabaring. Dengan panjang jalur 23,4 km, sarana infrastruktur bernilai investasi Rp 11 triliun itu memiliki 13 stasiun dan satu depo.
Dalam hal pembayaran masih dilakukan secara konvensional. Penumpang harus membayar secara tunai lalu petugas akan memberikan struk. Lalu, struk yang bergambar kode bar itu ditempelkan ke mesin hingga palang akan terbuka. Nyatanya, hingga kini, belum semua transaksi LRT Palembang dilakukan secara digital.
Selain itu, LRT Palembang belum disokong dengan moda transportasi terintegrasi yang semapan LRT Jabodebek. Memang sudah ada angkutan pengumpan yang beroperasi di 7 koridor dari 17 koridor yang direncanakan. Namun, keberadaannya terancam karena permasalahan administrasi.
Baca juga: Jadwal Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah
Sementara bus Trans Musi yang juga menjadi penyokong tidak ditunjang dengan armada dan sarana yang memadai. Bus masih beroperasi di tengah kesemrawutan lalu lintas. Ketika ada kemacetan parah, bus Trans Musi pun ikut tersendat. Hal inilah yang membuat warga Palembang masih mengandalkan kendaraan pribadi atau angkutan daring dalam beraktivitas.
Upaya pemerintah pun tidak main-main. Selain memberikan subsidi perintis hingga ratusan miliar rupiah setiap tahunnya, sejumlah regulasi pun dibuat untuk meningkatkan tingkat keterisian. Keberadaan subsidi perintis misalnya digelontorkan agar tarif LRT Palembang tetap terjangkau yakni di kisaran Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per orang jika naik dari Stasiun Bandara Internasional SMB II.
Kebijakan lainnya yakni regulasi kepada aparatur sipil negara (ASN) baik di jajaran Pemkot Palembang maupun Pemprov Sumsel untuk menggunakan LRT ke kantor setidaknya sebulan sekali. Namun, regulasi itu tidak berjalan, masih banyak ASN yang menggunakan kendaraan pribadi karena dianggap lebih praktis.
Walau didera dengan berbagai keterbatasan, LRT Palembang tetap diminati setidaknya sebagai kereta bandara atau kereta pariwisata. Banyak wisatawan dari luar Sumsel yang datang ke Palembang untuk merasakan sensasi naik LRT karena selain menjadi sebagai LRT pertama di Indonesia, LRT Palembang merupakan satu-satunya LRT di Sumatera.
Baca juga: LRT Jabodebek Masih Dirundung Kendala Operasional
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan adanya kenaikan okupansi secara signifikan dalam tiga tahun terakhir. Sejak pertama kali beroperasi pada 2018, pergerakan penumpang LRT Palembang tercatat 927.432 orang.
Puncaknya terjadi pada 2019 dengan jumlah penumpang mencapai 2,6 juta orang. Namun, pada tahun 2020, jumlahnya terjerembap ke angka 1,1 juta orang karena dihajar pandemi Covid-19. Kini LRT Palembang berupaya untuk meningkatkan tingkat keterisian dari semula 8.000 penumpang per hari pada tahun 2022 kini meningkat menjadi 10.000 penumpang di tahun 2023.
Masalah di awal
Sebagai moda transportasi baru di Indonesia, baik LRT Jabodebek maupun LRT Palembang pernah mengalami permasalahan operasional. Untuk LRT Palembang, misalnya, pada awal pengoperasian sudah tiga kali mogok.
Pada 1 Agustus, LRT dibuka untuk umum. Setelah dioperasikan untuk umum itu, kereta tiga kali mogok karena sejumlah masalah teknis. Mogok pertama kali terjadi pada 1 Agustus 2018. Kereta berhenti lantaran sensor pintu kereta yang terlalu sensitif. Selanjutnya, pada 10 Agustus, kereta berhenti karena masalah persinyalan.
Lalu, pada 12 Agustus, LRT berhenti mendadak lagi antara Stasiun Polresta Palembang dan Stasiun Jakabaring. Sistem kelistrikan kereta mati total sekitar 1 jam dan penumpang dievakuasi melalui jalan darurat yang berada di pinggir rel.
Waktu itu, Direktur Jenderal Perkeretaapian Zulfikri mengakui bahwa sewaktu LRT mengalami masalah teknis dan tiba-tiba berhenti, kereta itu masih dalam tahap tes komisioning. Namun, pembenahan segera dilakukan sehingga kekurangan yang ada dapat diminimalisasi (Kompas, 25 Agustus 2018).
Masalah juga terjadi pada awal pengoperasian LRT Jabodebek. Ada empat gangguan utama yang kami terima laporannya, yaitu terkait pintu kereta, layar informasi penumpang, kelistrikan, dan sistem operasi.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Aditya Dwi Laksana menyatakan, gangguan seperti pintu tidak presisi, entakan akselerasi, dan pengereman tajam bisa ditoleransi.
Namun, gangguan sarana atau sistem operasi yang berpotensi membahayakan, seperti pintu membuka di lintas, bagian roda penggerak berasap, serta pada faktor keamanan, seperti kelistrikan, harus dievaluasi kembali (Kompas, 9 September 2023).
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, beranggapan, kelebihan dan kekurangan yang ada pada LRT merupakan sebuah konsekuensi. Semua pihak tentu harus terlibat agar kekurangan dari hasil evaluasi dapat segera teratasi.
Karena pada dasarnya pelayanan LRT baik di Palembang maupun di Jabodebek tidak bisa bersifat tunggal, tetapi harus terintegrasi, dari hulu hingga hilir. Aksesibilitas kawasan permukiman dan komersial harus ada untuk memberikan kemudahan bagi pengguna LRT.