Mario Dipidana 12 Tahun Penjara dan Bayar Restitusi Rp 25 Miliar
Meski putusan pidana utama sama dengan tuntutan jaksa, hakim menimbang untuk mengurangi beban biaya ganti rugi atau restitusi terdakwa terhadap korban.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mario Dandy Satrio, pelaku penganiayaan berat terhadap Cristalino David Ozora, divonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski putusan pidana utama sama dengan tuntutan jaksa, hakim menimbang untuk mengurangi beban biaya ganti rugi atau restitusi terdakwa terhadap korban.
Ketua majelis hakim Alimin Ribut Sujono saat membacakan amar putusan, Kamis (7/9/2023), menyatakan, perbuatan Mario (20) yang sadis dan kejam, bahkan menikmati penganiayaan hingga melakukan selebrasi dan menyebarkan rekaman video penganiayaan, sebagai pemberat hukuman. Adapun pertimbangan meringankan tidak ada.
”Mengadili, menyatakan terdakwa Mario Dandy Satrio alias Dandy terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu. Dua, menjatuhkan pidana penjara 12 tahun,” kata Alimin, Kamis (7/9/2023) siang.
Hakim juga membebankan Mario membayar restitusi untuk David sebesar Rp 25.150.161.900 atau Rp 25 miliar. Selain itu, lanjut Alimin, hakim juga menetapkan satu Jeep Wrangler Rubicon dengan nomor polisi asli B 2571 PBP, yang kesehariannya dipalsukan nomornya dan digunakan Mario, dilelang untuk menutup biaya restitusi.
Mario terbukti bersalah atas Pasal 355 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP; Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana; Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban; serta aturan lain yang bersangkutan.
Terkait putusan restitusi, hakim mempertimbangkan untuk memangkas perhitungan biaya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang juga ditetapkan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebelumnya, yakni senilai Rp 120 miliar.
Nilai itu dipertimbangkan atas kehilangan kekayaan, penggantian biaya perawatan medis atau psikologis, dan ganti rugi penderitaan akibat tidak pidana. Angka itu juga memproyeksikan biaya pengobatan hingga 54 tahun, dari selisih umur harapan hidup warga Jakarta dan usia David saat ini.
Hakim menyatakan, mereka menemukan beberapa komponen yang seharusnya tidak dihitung, seperti ganti rugi kekayaan untuk transportasi dan konsumsi yang memperhitungkan David. Lalu, berkurangnya penghasilan orangtua, biaya pengobatan yang telah dibayar dan ditanggung asuransi, serta proyeksi biaya perawatan sampai 54 tahun ke depan.
”Untuk dari itu, majelis akan menentukan nilai restitusi atau komponen ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana yang dianggap layak dan patut diterima anak korban David,” kata hakim.
Dalam putusan itu, hakim juga tidak menerapkan hukuman pengganti jika Mario tidak bisa membayar restitusi. Dalam sidang tuntutan sebelumnya, jaksa menuntut agar Mario dikenakan pidana tambahan 7 tahun penjara kalau tidak membayar restitusi.
Sepanjang persidangan, wajah Mario yang tak bermasker terlihat menyimak pembacaan fakta persidangan dengan tegar. Pada beberapa kesempatan, Mario juga menganggukkan kepala mendengar beberapa pertimbangan majelis hakim.
Sementara itu, kuasa hukum Mario, Andreas Nahot Silitonga, mengatakan, mereka tetap menilai ancaman 12 tahun penjara termasuk berat. Untuk itu, mereka akan pikir-pikir terlebih dahulu sebelum mengajukan banding. Di sisi lain, pihaknya bersyukur majelis hakim tidak membebankan nilai restitusi awal dan pidana keuangan tambahan terkait restitusi tersebut.
”Angka yang sebelumnya saya rasa fantastis, di luar kebiasaan dan hukum yang berlaku. Saya tidak tahu apa yang mendorong sehingga LPSK bisa mengeluarkan angka tersebut, cuma kami sangat bersyukur jika majelis mengatakan angka itu tidak bisa dipergunakan,” katanya ditemui di luar sidang.
Meski hakim sudah meringankan biaya restitusi, Andreas menyangsikan Mario bisa membayar lunas nilai yang ditetapkan. Pasalnya, Mario belum berpenghasilan dan harta keluarganya tengah dibekukan karena perkara korupsi yang dilakukan ayah Mario, Rafael Alun Trisambodo.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, dalam keterangan tertulis akhir Agustus lalu, menyayangkan penolakan Mario untuk membayar restitusi karena alasan tersebut. Lantas, ia berharap hakim bisa memberi pidana tambahan, seperti pencabutan beberapa hak terpidana, agar memberikan efek jera.
”Pencabutan hak-hak tertentu ini bisa saja dengan vonis kepada terdakwa berupa tidak diberikan pemenuhan hak-hak narapidana, seperti remisi dan hak narapidana lainnya, apabila terpidana tidak membayar restitusi kepada korbannya,” kata Edwin.
Namun, ia mengakui, pada praktiknya hakim kerap tidak mengabulkan tuntutan restitusi, termasuk pidana tambahan terkait beban itu.
Dari pihak korban, ayah David, Jonathan Latumahina, dan kuasa hukumnya, Mellisa Anggraini, yang hadir dalam sidang itu tidak sempat memberikan pernyataan kepada media. Ketika Kompas mencoba meminta tanggapan Mellisa melalui pesan singkat, dia tidak menjawab sampai berita ini dibuat.