Terjadi Lonjakan Kasus Penyakit Saluran Pernapasan di Depok
Kota Depok, Tangerang Selatan, dan Jakarta masuk 10 kota di Indonesia dengan kualitas udara tidak sehat.
DEPOK, KOMPAS — Kota Depok, Jawa Barat, mengalami lonjakan kasus penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA hingga mencapai 60 persen sepanjang Agustus 2023. Peningkatan kasus ISPA juga terjadi di kawasan Jabodetabek. Warga menilai pemerintah gagal dalam mengatasi polusi udara yang tak kunjung membaik.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Mary Liziawati mengatakan, jika dibandingkan pada Juli 2023, terjadi peningkatan kasus ISPA pada Agustus 2023. ”Pada Juli ada 5.043 kasus naik 8.698 kasus pada Agustus. Kenaikan ISPA sebesar 60 persen,” ujarnya, Minggu (3/9/2023).
Baca juga: Polusi Udara Memperpendek Harapan Hidup Penduduk Indonesia
Meningkatnya kasus ISPA di Kota Depok, kata Mary, karena berbagai faktor, seperti faktor pencemaran udara, infeksi virus, bakteri, dan alegri. Adapun dari 8.698 kasus itu tercatat ada 4.969 anak balita yang mengalami ISPA bukan pneumonia.
Dinkes Kota Depok telah melaporkan tingginya angka kasus ISPA untuk dijadikan evaluasi dan penanganan lebih lanjut terkait kebijakan oleh Pemerintah Kota Depok. Mary juga mengimbau kepada warga, khususnya orangtua, untuk menjaga kesehatan anak-anaknya dengan selalu mengunakan masker hingga menghindari aktivitas di luar. Pihaknya pun tetap siaga mengantisipasi jika ada temuan lonjakan kasus ISPA berat.
Wali Kota Depok Mohammad Idris mengeluarkan Instruksi Wali Kota Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pencemaran pada Wilayah Kota Depok.
Sejalan dengan instruksi tersebut, Pemkot Depok akan mengencarkan uji emisi gratis, mengoptimalkan penggunaan transportasi umum, hingga aturan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah bagi aparatur sipil negara (ASN). Instruksi WFH mulai berlaku pada Senin (4/9/2023) besok.
”Pelaksanaan 30 persen WFH bagi ASN dan non-ASN di lingkungan Pemkot Depok,” kata Idris.
Idris memastikan, layanan publik tidak akan terganggu dengan aturan WFH. Untuk memaksimalkan kinerja ASN, Pemkot Depok akan memaksimalkan penggunaan aplikasi KMOB untuk memantau pelayanan publik.
Data indeks kualitas udara (AQI) dan polusi udara PM2,5 di Kota Depok pada Minggu pukul 10.00 menunjukkan AQI 179 atau tidak sehat. Sementara polutan PM2,5 mencapai 110 µg/m³.
Dari pantauan peringkat IQAir, Kota Depok berada di urutan kedua dari 10 kota di Indonesia dengan kualitas udara tidak sehat. Urutan pertama ditempati Sampit, Kalimantan Tengah, dengan AQI 262; dan ketiga ditempati Tangerang Selatan, Banten, dengan AQI 179. Sementara Jakarta menempati peringat keenam dengan AQI 162.
Buruknya kualitas udara di Jakarta ini membuat Dinas Kesehatan DKI Jakarta berupaya untuk menangani kesehatan masyarakat yang terdampak polusi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati menjelaskan, pihaknya telah menyediakan 44 puskesmas kecamatan dan 31 rumah sakit umum daerah siap melayani masyarakat selama 24 jam. Di puskesmas pun telah tersedia poli ISPA dan layanan Pojok Polusi untuk edukasi kepada masyarakat.
”Total kasus berada pada kisaran 134.000-157.000 kasus per bulan,” kata Ani dalam keterangan resminya.
Berdasarkan data Dinkes DKI Jakarta, pada Januari ada 102.609 kasus ISPA, Februari ada 104.638 kasus, Maret ada 119.734 kasus, April ada 109.705 kasus, Mei ada 99.130 kasus, Juni 102.475 kasus, dan Juli ada 156.000 kasus.
Berdasarkan data terakhir dari 156.000 kasus, sekitar 41.000 kasus di antaranya merupakan anak balita. Hingga berita ini diturunkan, Dinkes DKI belum merespons panggilan telepon dan pesan dari Kompas terkait jumlah pada Agustus.
Tren kasus ISPA pada anak balita dibandingkan kelompok usia di atas 5 tahun periode 2018 dan 2019 (sebelum pandemi) dan 2023 (pascapandemi) juga cenderung tidak jauh berbeda, yakni berada di kisaran 24-31 persen dari jumlah kasus ISPA.
Di Tangerang Selatan, dari Januari hingga Agustus tercatat ada 29.699 kasus ISPA. Peningkatan kasus ISPA juga terjadi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Bogor pada Juni tercatat ada 22.666 kasus, Juli ada 26.136 kasus, dan Agustus ada 24.162 kasus. Adapun di Kota Bogor rata-rata per bulan tercatat sekitar 600 kasus ISPA.
Diberitakan sebelumnya, Kompas.id (28/8/2023), Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, data surveilans dalam enam bulan terakhir menunjukkan peningkatan kasus ISPA di Jabodetabek. Hingga pertengahan 2023, jumlahnya rata-rata melebihi 100.000 kasus per bulan.
”Memang di Jabodetabek terjadi peningkatan untuk masalah bahan-bahan terkait polusi udara. Seiring dengan itu, data kami di surveilans penyakit menunjukkan ada peningkatan kasus ISPA yang dilaporkan di puskesmas maupun rumah sakit di Jabodetabek dengan jumlah 200.000 kasus pada Agustus 2023,” ujarnya.
Warga resah
Belum meredanya polusi di Jabodetabek membuat sejumlah orangtua resah dan khawatir terhadap kondisi kesehatan anak-anaknya.
Caroline Putri (38), warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, merasa tidak ada upaya pemerintah dalam menangani polusi udara. Terbukti kualitas udara tetap buruk atau tidak sehat. Kualitas udara tidak sehat itu menyebabkan anaknya yang berusia enam tahun menderita ISPA pada Agustus dan harus mendapatkan perawatan dua hari di rumah sakit.
”Ringan, tapi namanya orangtua lihat anak sakit pasti sedih, ya. Kita mau larang main, kan, susah, ya. Tetap saja kabur keluar main bareng temannya. Masker tetap pakai kalau keluar. Sepertinya memang tidak ada perkembangan (penanganan polusi), warga dibiarkan seperti ini. Dibiarkan sakit,” katanya.
Keresahan serupa dirasakan Rusdi Mulyadi (35), warga Depok yang berprofesi sebagai guru swasta di Jakarta Selatan. Polusi mengharuskannya untuk tetap mengenakan masker terutama saat berada di luar ruangan. Hal itu membuatnya risih, apalagi anak-anak. Ia dan istrinya bahkan kesulitan untuk mengawasi anaknya untuk tetap mengenakan masker jika berada di luar ruangan.
Rusdi pun merasa aneh dengan imbauan pemerintah terkait protokol kesehatan 6M dan 1S yang meliputi memeriksa kualitas udara, mengurangi aktivitas luar ruangan, menggunakan penjernih udara dalam ruangan, menghindari sumber polusi, memakai masker saat polusi udara tinggi, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan.
”Kita saja merasakan banget udara tidak nyaman. Saya kadang sesak, enggak enak. Prokes itu tidak bisa diterapkan pada semua warga. Gimana caranya mengurangi aktivitas luar ruangan? Enggak kerja maksudnya dan dapat kompensasi? Lalu, penjernih udara dalam ruangan. Itu alatnya gratis, mau dikasih gratis ke setiap rumah? dan mengindari sumber polusi. Lah, kita tinggal sudah dikelilingi polusi, kok,” kata ayah satu anak itu kesal.
Baca juga: Polusi Udara Picu Lonjakan Kasus ISPA
Rusdi menilai, pemerintah pusat dan daerah di Jabodetabek tidak sanggup bahkan gagal mengatasi polusi udara tinggi yang telah terjadi beberapa bulan terakhir dan belum ada tanda perbaikan kualitas udara. Cuaca atau kemarau seharusnya tidak masuk dalam alasan kualitas udara jelek.
”Lebih baik atasi akar masalahnya apa. Masalah alam jangan diatur. Yang diatur kenapa bisa polusi sampai pekat itu dari ulah manusia,” katanya.