Pemprov DKI Jakarta Evaluasi Efektivitas Penyemprotan Jalan yang Ditujukan untuk Tekan Polusi Udara
Penyemprotan jalan dianggap tidak efektif karena justru berpotensi meningkatkan kadar polutan PM 2,5.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengevaluasi kegiatan penyemprotan air di jalan untuk menekan polusi udara di Jakarta. Sejumlah kalangan menganggap upaya untuk menekan polusi udara dengan cara tersebut tidak efektif dan justru berpotensi meningkatkan kadar polutan PM 2,5.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan, kebijakan tersebut akan kembali dibahas dengan pemerintah pusat seusai mendapat banyak reaksi dari berbagai pihak.
”Hari ini saya rapat dengan pemerintah pusat. Kalau itu (penyemprotan air) tidak boleh, besok itu saya berhentikan,” kata Heru di acara diskusi publik yang digelar Pemprov DKI Jakarta, Senin (28/8/2023).
Dalam diskusi tersebut, sejumlah akademisi menyoroti kebijakan ini terkesan terburu-buru untuk mencari solusi cepat. Akademisi Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Hernani Yulinawati, menyoroti kurang efektifnya upaya penyemprotan karena rendahnya pemahaman karakteristik dari jenis polutan PM 2,5.
Dia menyebutkan, jenis polutan satu ini bersifat aerosol, yakni bisa berbentuk larutan padat dan gas. Penyemprotan yang dilakukan hanya menjangkau polutan partikel padat yang berukuran besar. Jika penyemprotan dilakukan dengan tekanan tinggi justru memicu dan meningkatkan jumlah polutan PM 2,5.
”Jadi, yang perlu dilakukan tidak hanya quick response (cepat tanggap), tetapi responsible (bertanggung jawab). Kurang perhitungan, akhirnya tidak efektif,” ujar Hernani.
Hernani mengingatkan, upaya penyemprotan jalanan itu justru berpengaruh pada konservasi air di Ibu Kota. Upaya penyemprotan menggunakan air dalam volume besar, tetapi tidak memunculkan manfaat.
Sejak dilaksanakan pekan lalu, penyemprotan dengan mobil Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta tersebut dilakukan di sejumlah ruas jalan protokol di Ibu Kota. Penentuan lokasi ini berdasarkan, daerah-daerah dengan konsentrasi polutan yang tinggi.
Dalam sehari, Dinas Gulkarmat DKI Jakarta mengerahkan hingga 22 unit mobil pemadam dengan masing-masing kapasitas 10.000 liter. Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali, yakni pagi dan siang hari.
Jadi, yang perlu dilakukan tidak hanya quick response (cepat tanggap), tetapi responsible (bertanggung jawab). tidak membabi buta, akhirnya tidak efektif. (Hernani Yulinawati)
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengutarakan, upaya penyemprotan memang perlu evaluasi. Keterbatasan jangkauan membuat pelaksanaan upaya ini tidak efektif.
Apalagi, menurut dia, isu konservasi menjadi penting di tengah ancaman kemarau panjang yang tengah dihadapi. ”Di tengah isu climate change (perubahan iklim) sehingga mencegah (krisis) ketersediaan air ini perlu diantisipasi,” katanya.
Upaya menekan polusi
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab mengatakan, berbagai pihak terus berupaya untuk mengendalikan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Kemarau panjang tengah terjadi sehingga perlu intervensi untuk mengendalikan polusi udara di Jabodetabek.
Dia berharap, upaya penyemprotan jalan bisa berkontribusi seperti teknologi modifikasi cuaca (TMC) yang telah berhasil memengaruhi pembentukan awan yang memungkinkan potensi hujan di sejumlah daerah di Jabodetabek. Dalam dua periode percobaan, hujan akhirnya kembali mengguyur wilayah Jabodetabek.
”Setelah hujan kemarin, kami melihat konsentrasi PM 2.5 turun. berarti ada unsur kemanfaatannya. Sementara untuk penyemprotan ini ibaratnya, dari atas (TMC) kita upayakan dan dari bawah (penyemprotan) kita upayakan juga,” kata Fachri.