Pengawasan dan Sanksi terhadap Sektor Industri Harus Lebih Tegas dan Transparan
Upaya pemerintah dalam menangani isu polusi udara pada sektor industri dinilai belum secara transparan dan tegas.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih terus melakukan berbagai upaya untuk menekan polusi udara di Ibu Kota dan wilayah sekitarnya. Namun, sebagian kalangan menilai, penanganan polusi udara perlu dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir, antara lain, menguatkan pengawasan industri dan memaksimalkan penyediaan transportasi umum.
Pada sektor industri misalnya, Ketua Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta Muhammad Aminullah menilai, upaya pemerintah dalam menangani isu polusi udara pada sektor industri belum secara transparan dan tegas.
”Di DKI Jakarta, setidaknya terdapat sekitar 1.600 industri manufaktur. Ini belum sektor usaha lain. Namun, kami belum melihat ada tindakan tegas. Pengawasannya juga masih cukup lemah,” kata Aminullah, Senin (28/8/2023), di Jakarta.
Dari tahun 2018-2021, pihaknya mencatat, terdapat sekitar 5.000 penerbitan dokumen izin usaha baru di Jakarta. Sementara, rata-rata tahunan, pengawasan hanya bisa menjangkau sekitar 848 industri.
Pada tahun 2021, dari ribuan usaha dengan izin lingkungan, hanya sekitar 700 industri yang dapat diawasi. Hasilnya, 400 industri tidak taat aturan. Jika dibandingkan dengan jumlah industri manufaktur saja, itu hanya mencakup separuhnya.
Menurut Aminullah, terdapat ketimpangan antara jumlah industri dan tim petugas pengawasan. Untuk itu, pemerintah perlu mengerahkan lebih banyak sumber daya manusia untuk mengawasi industri. Jumlahnya harus sebanding dengan jumlah industri.
”Sebenarnya pengawasan enam bulan sekali terhadap industri tidak akan rumit jika sumber daya manusianya (tim pengawas) kuat. Pemerintah tinggal meminta laporan dan jika ada industri yang mencurigakan, mereka bisa langsung survei,” ujar Aminullah.
Selanjutnya, pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan sanksi yang sebanding dengan perbuatannya. Mengaca pada kasus tahun 2022, PT Karya Citra Nusantara (KCN) hanya dijatuhi sanksi administratif karena terbukti mencemari lingkungan akibat abu batubara di kawasan Marunda. Padahal, berdasarkan hasil pengawasan penataan lingkungan hidup, PT KCN telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
”Sebab, masalah polusi udara perlu ditangani dari hulu. Dan, salah satunya ialah emisi dari industri,” kata Aminullah.
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, total perusahaan industri skala kecil, menengah, dan besar di Jabodetabek ialah sekitar 7.095 perusahaan. Terdapat pula lebih dari 10 pabrik semen di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Selain itu, terdapat lebih dari 120 industri manufaktur barang kimia, 170 industri manufaktur karet dan plastik, dan 1.300 industri manufaktur lainnya di DKI Jakarta. Kemudian, ada pula 13 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan kapasitas 10,8 giga watt di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Mewajibkan ”scrubber”
Sebagai langkah tegas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mewajibkan industri pemilik cerobong batubara untuk memasang alat pengendali polusi udara berupa scrubber dan sistem manajemen udara lengkap (complete air management system) untuk mengurangi polusi udara di Ibu Kota.
”Cerobong batubara industri wajib memasang scrubber. Jadi, kami memang sedang melakukan pengetatan terhadap izin para industri,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Purwanto saat menghadiri acara Diskusi Publik Quick Response Penanganan Kualitas Udara Jakarta di Jakarta Pusat, Senin (28/8/2023).
Menurut Asep, scrubber merupakan alat pemisahan suatu partikel solid (debu) yang terdapat pada gas atau udara dengan menggunakan cairan sebagai alat bantu. Tercatat, 14 industri yang dinyatakan wajib memasang alat itu.
”Sekitar ada 14 industri di Jakarta yang terkategori wajib menggunakan scrubber. Itu yang nanti coba kita sampaikan ke industri-industri tersebut supaya mereka dapat memasang alat itu sesuai dengan arahan dari pemerintah,” ujar Asep.
Asep menargetkan pendataan industri yang wajib pasang alat itu akan selesai dalam pekan ini. Namun, ia belum bisa menjelaskan secara detail sanksi yang akan diberikan terhadap industri yang tidak memasang alat itu.
Selain itu, Asep menyarankan pengelola gedung tinggi di Ibu Kota memasang perangkat pompa bertekanan tinggi (water mist) untuk melakukan penyemprotan air dari puncak gedung sebagai langkah menurunkan polusi udara. Penerapan alat itu jauh lebih efektif dibandingkan penyemprotan air di jalanan Ibu Kota.
Butuh kerja sama
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meminta kepala daerah Bodetabek turut bersama-sama mengatasi polusi udara di Jabodetabek. Menurut Heru, dampak polusi udara tidak bisa dituntaskan sendiri oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Heru menyampaikan, sebagian besar kendaraan bermotor yang berlalu lalang di DKI Jakarta berasal dari masyarakat Bodetabek yang bekerja di Jakarta. Adapun kendaraan bermotor dinyatakan sebagai penyumbang emisi tertinggi di Jakarta.
”Berdasarkan informasi dari Dinas Perhubungan, kendaraan yang masuk dari Bodetabek ke Jakarta itu sekitar 997.000 per hari. Itu menjadi perhatian kita bersama,” ujar Heru.
Terkait solusi, Heru menyebut bahwa Pemprov DKI Jakarta telah melakukan penegakan hukum melalui razia emisi yang harus memenuhi baku mutu pada emisi bergerak, yakni kendaraan bermotor. Selain itu, melakukan penertiban kepada industri yang tidak melakukan perawatan dan pengelolaan cerobong untuk emisi tidak bergerak.
Menanggapi hal tersebut, praktisi sekaligus pengamat kualitas udara, Dollaris Suhadi, menyarankan agar Pemprov DKI mengurangi penggunaan kendaraan roda dua dengan memaksimalkan penyediaan transportasi umum.
Dollaris juga lebih menyarankan adanya pembatasan kendaraan ketimbang uji emisi. Sebab, uji emisi dinilai tidak mampu menekan volume kendaraan yang melintasi Jakarta.
Menurut Dollaris, pemerintah perlu membenahi transportasi publik yang dinilai masih banyak kekurangan. Sebab, berdasarkan pengalamannya, ia harus menunggu lama untuk berpindah lokasi saat menggunakan transportasi umum.