Kehadiran sejumlah tempat yang menyajikan teh artisan di Kota Bogor menaikkan kembali pamor teh sebagai minuman rakyat. Kini, semua orang bisa menikmati teh anak negeri berkualitas tinggi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Di jalan berbatu dan menanjak, kaki Muaik (64) cekatan menuju Perkebunan Teh Maleber, Ciherang, Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/8/2023) pagi. Di perkebunan teh yang dikelola oleh PT Tenggara itu, Muaik selama 40 tahun memetik daun teh.
Emak Muaik mencintai pekerjaannya. Teh dan orang-orang yang berkecimpung di kebun teh itu adalah bagian dari hidupnya. Ia percaya, jika bekerja dengan hati, teh juga akan memberikan kehidupan kepada orang lain. Bahkan, ia juga percaya, jika panen teh dalam suasana hati yang baik dan senang, teh pun akan ikut senang.
”Emak suka dan mau. Alhamdulillah, hidup dari pekerjaan ini. Kalau semangat, tehnya ikut semangat. Kalau Emak kerja baik, tehnya ikut baik. Emak doa semoga kebunnya tetap subur hijau sehingga kami panen dan rezeki lancar,” katanya.
Di Perkebunan Teh Maleber itu hanya ada 25 pemetik, termasuk Muaik. Dalam sehari, mereka bisa memanen 3-5 karung pucuk teh atau rata-rata 100 kilogram per hari. Dari hasil panen itu, Muaik menerima upah Rp 65.000. Jika pucuk teh sedang bagus dan ada permintaan pucuk kualitas 1 atau 2, ia bisa menerima upah Rp 70.000-Rp 100.000.
Semangat untuk memetik teh juga ditunjukkan oleh Esih Suryati (60). Kendati baru sepekan suaminya berpulang, Esih tetap kembali ke kebun teh. Ia merasa lebih tenang berada di hamparan hijau Perkebunan Teh Maleber.
”Di sini Mimi enggak berasa kesepian. Bisa kumpul bersama teman-teman dan beraktivitas. Mimi lebih tenang di sini meski masih berduka,” ujarnya yang memetik teh selama 34 tahun.
Esih bersyukur karena lingkungan pekerjaannya nyaman. Ia belum lama ini dirawat di rumah sakit. Biaya rumah sakit ditanggung oleh perusahaan. ”Enggak kebayang jika Mimi harus bayar sendiri. Mimi terima kasih kepada perusahaan. Perasaan Mimi, enggak tahu ya, seperti kebun ini pun kasih sesuatu ke Mimi. Makanya, Mimi perlakukan juga teh ini dengan baik,” tuturnya.
Kehidupan Muaik dan Esih adalah gambaran industri teh nasional. Hal itu disadari Manajer Perkebunan Teh Maleber PT Tenggara Hendri Adrianto. Di lahan sekitar 73 hektar itu, saat ini ada 25 pemetik teh. Padahal, idealnya dibutuhkan 50 pemetik. Tidak mungkin perkebunan teh bertahan dengan pemetik berusia tua.
”Sementara pekerjaan di sektor teh tidak banyak dilirik generasi muda. Mungkin karena upah, juga karena dinilai tidak menjanjikan, bahkan menganggap pekerjaan ini tidak cocok atau sesuai dengan mereka sehingga tidak dilirik,” ungkap Hendri.
Jika terus seperti ini, bukan tidak mungkin perkebunan teh di Indonesia akan ditinggalkan. Alih fungsi lahan teh juga terus terjadi karena teh dianggap tidak lagi menjanjikan secara ekonomi. Banyak kebun teh berubah menjadi kebun sayur dan bangunan. Kondisi ini sudah terjadi di kawasan Puncak Bogor-Cianjur. Alih fungsi lahan itu pun berpotensi menimbulkan longsor.
Tantangan lain yang harus diatasi industri teh ialah bagaimana memperluas pangsa pasar dan menaikkan kembali pamor teh sebagai minuman rakyat yang berkualitas.
”Kita bersama harus mengembalikan teh sebagai emas hijau. Dari hulu dan hilir memiliki peran penting. Kami di hulu menjaga kualitas baku teh, tetapi di hilir, yaitu pemangku kepentingan, harus menciptakan pasar dan ekosistem yang mengapresiasi dan menghargai teh dengan layak sehingga teh tidak terus ditinggal dan terus berlanjut,” paparnya.
Menurut Hendri, sektor hulu selama ini selalu mengikuti permintaan pasar dengan kualitas teh di bawah standar atau jelek. Sementara teh kualitas bagus diekspor. Itu pun harga jualnya kalah bersaing dengan India, China, Jepang, dan Vietnam.
Dengan situasi pasar saat ini, industri teh terancam gulung tikar. Pabrik dilematis. Sebab, mempertahankan hasil panen akan berisiko rugi, tetapi menutup pabrik akan menghilangkan lapangan kerja. Mau tak mau, agar pekerja tidak kehilangan penghasilan, pabrik tidak memikirkan kualitas dan tetap mengikuti pasar yang meminta teh kualitas rendah.
”Minuman teh dianggap minuman murahan, bahkan gratisan. Pokoknya, asal ada rasa sepet, berwarna coklat, dan masih bisa dikonsumsi, itu layak jual, disajikan, dan diminum. Kami mau tak mau harus mengikuti selera pasar seperti itu,” tutur Hendri.
Teh artisan
Angin segar mulai berembus dengan kehadiran kafe-kafe yang mengusung teh artisan. Teh artisan ini dibuat dari bahan dasar teh alami yang berkualitas tinggi sehingga karakter otentik teh tersebut terlihat. Salah satu yang mengusung teh artisan ini ialah Rumah Teh Indonesia oleh Sila Tea House di Kota Bogor. Rumah Teh digagas oleh Redha T Ardias dan pegiat teh Iriana Ekasari yang sekaligus pendiri Sila Tea House.
Rumah Teh Indonesia mengumpulkan teh-teh terbaik dari seluruh Indonesia, termasuk teh dari Maleber. Terobosan ini, menurut Hendri, menjadi napas bagi pekerja karena teh kembali bernilai dan diapresiasi.
”Adanya teh artisan seperti ini tentu berdampak bagi pekerja. Para pemetik tahu bahwa kerja mereka dihargai. Bahwa memetik panen pucuk teh dihargai lebih. Hanya, memang, permintaan bahan baku untuk teh artisan dan single origin belum banyak. Tapi, tren permintaan teh berkualitas perlahan naik. Geliat itu mulai terlihat. Awalnya permintaan 5 kilogram, naik 10 kilogram, dan seterusnya, dan semoga terus naik,” katanya.
Sudah saatnya teh berkualitas tidak hanya dikirim ke luar negeri. Rakyat sendiri juga layak menikmati teh dari tangan pemetik yang memanen teh dengan cinta dan suka hati.
”Sejak awal, tanaman teh yang dibawa ke Indonesia ini sarat dengan feodal dan kolonialnya. Kita hanya membudidayakan untuk dinikmati oleh para bangsawan dan kaum kelas atas. Apakah feodal itu masih harus dipertahankan dengan menjual kualitas terbaik dikirim ke luar dan yang rendah untuk rakyat?” kata Hendri.